Tatanan Negeri Salah Kaprah

27 Aug 2014 Tatanan Negeri Salah Kaprah

kempoDi lingkungan tempat tinggal saya di kawasan Bogor Timur, saya langganan di”vonis” sebagai seksi koordinator keamanan (korkam). Sejak awal saya bermukim disana di awal 1990an hingga menjelang tahun 2000, para pengurus RW, siapapun mereka, rupanya hobi menjatuhkan vonis itu kepada saya. Nama-nama ketua RW, para ketua RT dan seksi-seksi lain silih berganti. Tetapi yang tertera di kolom korkam selalu nama saya. Tahun 1999 hingga 2011 jeda karena kehidupan saya mobile. Namun sejak awal 2012, saya kembali stationary di rumah. Sejak itu pula vonis serupa datang kembali.

Saya katakan vonis karena hampir semua posisi di kepengurusan RT/RW adalah pekerja sukarela. Boro-boro dibayar, malah tidak jarang nombok. Pengurus juga mbayar K3 maupun iuran-iuran lain persis seperti warga yang lain. Nomboknya manakala ada rapat pengurus atau pertemuan dengan warga, tentu ada makanan kecil dan minuman. Uang dari mana untuk membelinya? Tidak lain dari para pengurus yang kebetulan ada rejeki. Memang para ketua RT dan RW mendapat semacam biaya operasi dari kelurahan, kalau nggak salah Rp 600,000 per tahun. Tapi saya yakin sekali rapat saja selesai uang segitu.

Sehingga sebenarnya tidak ada yang senang ditunjuk menjadi pengurus, apapun posisinya. Kesadaran kebersamaan lah satu-satunya alasan kenapa mau divonis menjadi pengurus. Ketua RW dan para ketua RT divonis oleh suara warga langsung melalui pemilihan diam-diam. Para pengurus lain divonis oleh ketua RW dan para ketua RT terpilih. Tentu akan sangat sungkan seseorang menolak manakala ditunjuk oleh ketua RW atau ketua RT untuk menjadi pembantunya, kecuali punya alasan yang sangat kuat. Karena semua tahu menjadi ketua RW atau ketua RT adalah pengorbanan. Demikianlah aturan mainnya.

Korkam dan Satpam

Korkam adalah pembantu ketua RW dalam bidang koordinasi keamanan. Rata-rata komplex perumahan di kota-kota besar seperti Bogor sangatlah tidak aman. Tidak mungkin hanya mengandalkan peronda atau siskamling warga yang hanya bisa dilakukan malam hari dan itupun tidak sampai pagi. Sedangkan aksi kriminalitas mengancam setiap detik selama 24 jam setiap harinya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain mempekerjakan satpam dalam jumlah yang cukup dan beredar secara dinamis menyebar ke segala penjuru wilayah selama 24 jam sehari. Tentu, satpam bukan pekerja sukarela seperti korkam dan para pengurus lainnya. Satpam RW adalah tenaga upahan seperti layaknya satpam atau karyawan perusahaan. Upah mereka diambil dari hasil koleksi iuran K3 setiap bulan.

 

Iuran K3 adalah iuran sukarela warga yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan semua warga. Dikatakan sukarela karena tidak ada yang berwenang menjatuhkan sanksi manakala ada warga yang bandel tidak mau membayar. Selain itu, ada pula warga yang dengan berbagai alasan mengajukan peringanan atau bahkan pembebasan iuran K3. Maka mustahil K3 pernah mencapai 100%.

 

Karena bersumber dari K3, tidak saja sulit untuk memenuhi UMR. Tetapi juga kurang menjamin retensi keberlangsungannya. Terlebih RW hanyalah sebuah lembaga paguyuban yang organiknya hanya berbasis tenaga sukarela silih berganti, yang tidak memungkinkan terkait secara permanen dengan pekerja tetap. Oleh karena itu satpam RW, meskipun tenaga upahan (profesional), namun bekerja dengan model kontrak tahunan dan upahnya hanya berdasarkan butuh sama butuh. Tentu saja yang didapat bukan personil satpam yang siap pakai seperti satpam perusahaan. Mereka hanyalah orang-orang yang memiliki kesanggupan menjadi petugas keamanan dan tahu baca-tulis tanpa persyaratan sebagaimana umumnya menjadi satpam. Disinilah peran korkam diperlukan untuk melatih mulai baris-berbaris, olahraga beladiri, serta menyusun, mensosialisasikan dan memantau strategi keamanan dan pengamanan hingga tata tertib dan komunikasi baik dengan warga maupun tamu.

 

Satpam RW, meskipun berseragam gagah, namun tetap saja ada yang penakut, tidak suka menyediri di sudut-sudut rawan. Umumnya senang ngumpul dan ngrumpi di pos. Bahkan kalau mungkin ya merem sejenak untuk mengurangi kantuk. Namanya juga manusia, tentu ingin enaknya saja. Di saat seperti itulah peran korkam diperlukan. Korkam juga mengatur dan memantau kinerja para satpam serta menjatuhkan sanksi kepada satpam yang melanggar disiplin. Selain itu, korkam juga mengurusi kepersonaliaan satpam.

Selain dianggap mampu melakukan tugas-tugas korkam, kebetulan saya tukang begadang. Itulah pasalnya kenapa vonis korkam cenderung ke diri saya. Juga barangkali karena dulunya saya weton kampung yang biasa bergaul dengan masyarakat kelas bawah, sehingga sepertinya tampak luwes-luwes saja saya berada di tengah para satpam.

Yang benar-benar saya jaga adalah pengertian bahwa tugas satpam ini bukan untuk bela mati melawan penjahat. Mereka bukan polisi yang dididik, dipersenjatai, dibayar dan diasuransikan bahkan disediakan jalur karir (kepangkatan) dan pensiun oleh negara untuk memerangi kriminalitas. Mereka hanyalah peronda yang berseragam dan hanya bersenjatakan pentungan. Tidak adil jika mereka mati atau cedera padahal tidak ada pensiun maupun asuransi. Oleh karena itu saya tegaskan berulangkali bahwa tugas mereka hanya mencegah kesenyapan sekedar membikin penjahat segan. Mereka juga saya bekali olahraga beladiri praktis semampu saya. Meski kecil kemungkinannya untuk berharap mereka menjadi mahir dan pemberani seperti atlet kempo, namun setidaknya ada pengetahuan dan kelincahan untuk menyelamatkan diri manakala situasi genting. Bahkan boleh jadi sebagian dari mereka merasa terpaksa mengikuti latihan yang menyakitkan. Namun bagi saya yang paling penting, sebagai korkam, saya sudah berusaha maksimal untuk keselamatan mereka. Manakala terjadi kejahatan, tugas utama mereka adalah membangunkan warga (termasuk korkam) dan menghubungi kepolisian terdekat, serta mengkordinasi warga untuk melakukan pengejaran sebelum polisi datang.

 

Peristiwa istimewa

Lamanya menggeluti dunia keamanan lingkungan tentu baik saya maupun teman-teman satpam sudah puluhan kali mengalami berbagai kejadian. Beberapa kali berhasil mengatasi. Namun tetap lebih banyak yang tak teratasi. Maklumlah… namanya juga peronda berseragam satpam, bukan satpam beneran, apalagi polisi. Dan umumnya, pihak korban menolak perkaranya dilaporkan ke polisi. Alasannya ribet lah … itulah… bahkan sering ada yang bilang “sudah kehilangan ayam jangan kehilangan kerbau”. Wuiiiih serem amat yak?

Di antara sekian kejadian yang pernah kami alami, kejadian Jumat 3 Mei 2013 merupakan persitiwa yang paling istimewa. Salah satu rumah warga kebobolan dan sejumlah barang elektronik amblas. Entah jam berapa bobolnya, satpam mendapat laporan korban sekitar jam 20, pas korban baru pulang. Konon korban sekeluarga meninggalkan rumah sekitar jam 16 dan pulang sekitar jam 20. Sesampainya di rumah mendapati pintu gerbang dan pintu depan rumah sudah tak terkunci meski masih dalam keadaan tertutup. Saya pun segera meluncur ke TKP setelah dikontak satpam. Setelah saya cermati, memang tidak seperti rumah kebobolan pada umumnya. Sungguh istimewa, tidak ada tanda-tanda buka paksa. Semua pintu, jendela, pagar depan dan belakang tampak rapih tanpa ada cacat yang berarti. Sepertinya pelaku memiliki kunci duplikat, atau korban lupa mengunci pintu sebelum pergi. Saya pun menyampaikan dugaan itu kepada korban dan rupanya pihak korban sependapat.

Yang lebih istimewa lagi… mulai jam 21 polisi berdatangan. Rupanya si korban menghubungi kepolisian. Awalnya datang 3 orang polisi. Lantas beberapa lagi menyusul hadir. Makin malam makin rame layaknya orang hajatan. Tapi semua itu polisi, baik yang berseragam maupun yang berpakaian preman. Istimewa bukan? Tidak biasanya seperti itu. Ada selentingan si korban ada kaitan dengan pejabat tinggi negara. Saya tidak tahu persis. Yang saya tahu, pemilik rumah itu seorang jenderal TNI-AL. Korban hanya mengontrak rumah itu. Rupanya sekitar jam 23, kapolsek pun hadir. Sayangnya, pada saat yang sama saya ditelpon dari rumah karena adik saya dari Bekasi datang. Maka saya pun pulang.

Di rumah, saya ngobrol dengan adik saya sampai pagi. Jangankan ada yang ngajak ngobrol, sendirian pun memang saya tidak tidur malam karena ada kewajiban sebagai level-2 support untuk NSI. Namun demikian, saya tidak datang lagi ke TKP seperti biasanya. Saya pikir tidak terlalu penting, karena sudah banyak polisi, yang tentunya lebih berwenang dan berkewajiban.

Malam berikutnya, seperti biasanya, saya ngrumpi di pos utama menemani satpam dari jam 21 hingga tengah malam. Di saat itulah kepala regu satpam melaporkan bahwa kemaren kapolsek marah-marah mencari korkam. “Dimana korkamnya nih? Kawasan sini sangat rawan… sudah berkali-kali kebobolan. Tapi tidak pernah ada korkam yang melapor”, demikian keluh kapolsek ditirukan salah satu satpam. Tetapi tidak ada satupun satpam yang mengontak apalagi menjemput saya. Rupanya para satpam nyadar betul bahwa korkam adalah warga, bukan aparat negara seperti polisi maupun petugas keamanan swasta yang profesional (dibayar). Rupanya para satpam juga tahu betul bahwa saya/korkam bukan bawahan sang kapolsek. Padahal andaikan saya tahu, tentu saya akan datang.

Saya jadi mikir… Andaikan saya datang ketika itu, apakah saya akan dimarahi layaknya seorang bawahan yang tidak disiplin ya? Andaikan iya dan saya melawan, apakah saya dihukum seperti layaknya seorang aparat yang melawan pimpinan ya? Andaikan iya… kok bodoh amat saya mau menjadi korkam. Sementara warga lain yang tidak menjadi korkam aman-aman saja. Weleh-weleh… bener-bener “legan golek momongan”.

Saya juga mikir lagi…. Sebenarnya setiap ada kejadian kebobolan, baik korkam maupun satpam selalu menawarkan untuk melapor kepada polisi. Tetapi umumnya pihak korban menolak. Apakah korkam yang notabene sesama warga punya kewenangan untuk memaksakan setiap ada kejadian melapor kepada polisi? Tentu korkam maupun satpam akan melapor polisi tanpa menunggu persetujuan korban manakala ada korban cedera atau nyawa.

Sejujurnya, hati kecil saya juga berharap warga tidak melaporkan perkaranya ke polisi. Karena bukan saja korban yang tersita waktunya untuk bolak-balik ke kepolisian, korkam pun demikian. Pernah saya terpaksa tidak masuk kerja untuk ngurusi kayak ginian dan hasilnya nihil. Satu perkara saja bisa memakan waktu beberapa kali menghadap ke kepolisian. Tak kebayang jika setiap kali kebobolan harus melapor ke polisi dan korkam harus mendampingi, bisa-bisa habis jatah cutinya atau bahkan nambah mbolos dan dipecat. Ketimbang dipecat dari pekerjaan, mending berhenti jadi korkam. Apakah pihak kepolisian tidak memikirkan hal ini? Polisi memang harus mengutamakan keamanan dan pengamanan untuk mengayomi rakyat. Karena itu memang pekerjaan utama polisi untuk menafkahi keluarganya. Tapi korkam tidak!!! Pekerjaan utama korkam adalah pekerjaan di kantornya atau di bisnisnya untuk menafkahi keluarganya. Sedangkan peran korkam hanyalah aktivitas sampingan sebagai bentuk kepedulian pada lingkungan. Tentu tidak boleh mengganggu pekerjaan utama. Polisi dan aparat negara lainnya harus nalar akan hal itu.

Yang menimbulkan tandatanya… kenapa harus melapor ya? Apakah polisi bekerja hanya berdasarkan laporan? Saya rasa tidak. Buktinya, setiap ada pelanggaran lalulintas, tidak ada pihak yang melapor pun bisa tertangkap. Tidak perlu bantuan satpam maupun korkam pula… 🙂 Karena polisi siap memantau, bahkan kadang tidak kelihatan… tahu-tahu nongol begitu ada pelanggaran. Walaupun untuk penjambretan atau pencopaten tidak demikian… meski terjadinya sama-sama di jalan. Kenapa untuk keamanan lingkungan tidak pernah ada penangkapan instan seperti pelanggaran lalulintas?

Apa bedanya pengurus ke-RT/RW-an dengan preman?

Sejak kejadian 3 Mei lalu… saya terus merenung. Saya terus menerus membayangkan seolah sedang dimarahi kapolsek seperti memarahi bawahannya yang bandel atau tidak becus kerja. Terlebih belum lama berlalu, tetangga saya yang menjabat ketua RT juga pernah mengeluh pada saya. Dia bilang, lurah seenaknya memanggil dan memberi perintah. “Dikit-dikit manggil dan ngasih tugas … emangnya saya bawahannya… Lama-lama males … mending mundur aja”, gerutunya. Maklum, pak RT juga bukan pengangguran yang seluruh waktunya bisa diakses oleh kelurahan. Beliau komisaris di sebuah grup perusahaan besar di Jakarta. Di waktu kosongnya, beliau juga ngajar di perguruan tinggi swasta di Bogor sebagai dosen tamu enterpreunership dari kalangan praktisi.

Sebenarnya saya memaklumi kapolsek marah atau kecewa kepada korkam yang tidak melapor manakala terjadi kebobolan. Karena korkam seolah bisa dianggap kepanjangan tangan kepolisian. Dengan kata lain, korkam dan satpamnya merupakan aparat bawahan polsek. Tentu saja kapolsek merasa berhak memberi perintah. Saya juga memaklumi lurah sering memanggil dan memberi tugas ketua RT maupun ketua RW. Karena ketua RW dan ketua RT seolah bisa dianggap kepanjangan tangan kelurahan. Dengan kata lain, ketua RT/RW merupakan aparat bawahan kelurahan. Tentu saja lurah merasa berhak memberi perintah.

Namun di sisi lain saya juga memaklumi jika korkam tidak merasa sedang menjadi bawahan polsek. Saya pun memaklumi jika ketua RT/RW tidak merasa sedang menjadi bawahan kelurahan. Pasalnya sederhana. Ketua RT/RW, korkam dan pengurus RW lainnya adalah pekerja sukarela yang bahkan terpilihnya umumnya ada rasa sedikit terpaksa. Kami-kami ini orang yang memikul kewajiban mirip aparatur negara tetapi tidak mendapatkan hak dan kewenangan seperti aparatur negara. Tidak mustahil kami mengundurkan diri jika kami merasa diperlakukan tidak adil. Presiden pun tidak berhak melarang kami mundur. Siapapun tidak berhak memaksa siapapun menjadi pengurus RT/RW. Dari sisi agama pun, menjadi pengurus RT/RW bukan fardlu kifayah. Jadi… tidak ada satupun warga yang berdosa jika kepengurusan RT/RW kosong. Lantas, siapa yang salah donk?

Pernah suatu hari kami berkelakar soal ginian dengan beberapa warga yang cukup akrab. Ada yang nyeletuk bahwa munculnya ketua RT/RW dan pengurus lain adalah kebutuhan warga sendiri. “Kita butuh beberapa dari kita menjadi pengurus ke-RT/RW-an untuk menguruskan KTP, pernikahan, kelahiran, kematian, keamanan dan ketertiban lingkungan dsb”, katanya. “Itulah makanya sangat diharapkan kesadaran dari kita yang merasa punya kelebihan waktu untuk berkenan menjabatnya dengan sukarela”, sambung yang lain. Sementara yang lain lagi nimpali: “Jika tidak ada satupun yang berkenan dengan alasannya masing-masing… apakah KTP, pernikahan, kelahiran, kematian, kamtib lingkungan kita nggak ada yang ngurus? Apakah pemerintah buntu jika rakyat tidak sukarela membentuk paguyuban ke-RT/RW-an? Lantas kita ini jadi warga negara mana yaaa?”. Apakah organisasi pemerintah kita selamanya akan tergantung pada paguyuban sukarela ke-RT/RW-an? Adakah pemerintah negara lain yang juga seperti kita? Bukankah aparat ke-RT/RW-an sama juga preman? Bedanya, ketua RW dan ketua RT ada SKnya. Tapi seksi-seksi lain tanpa SK, mirip preman pasar, pangkalan dan terminal dsb. Goooong!!!

Pernahkan anda dengar sebuah komplex perumahan dikuasai preman? Bila semua pengurus RT/RW orang bayaran, tentu besar kemungkinannya suatu ketika mereka bertiwikrama menjadi preman yang dengan bebasnya memalak warga. Kuncinya adalah bersatu dengan para satpam. Caranya sangat mudah. Satu demi satu satpam lama dipecat dan diganti dengan orang bawaannya. Setelah semua satpam adalah orang-orang bawaannya, selanjutnya tinggal menikmati hasilnya.

Salah satu RW di komplex kami sudah mulai menuju kesana. Ketua RW orang bayaran, karena tidak ada satupun warga yang mau menjadi ketua RW. Beberapa satpam juga sudah mulai berani sama warga. Trotoar mereka sewakan untuk para pedagang kaki lima. Memang baru sampai tingkat itu. Mungkin karena para ketua RT masih tenaga sukarela dari warga, meski beberapa pekerjaan mereka dialihkan ke RW (mungkin kepalang mbayar). Untungnya lagi, satpam-satpamnya tidak respect kepada ketua RW karena sama-sama orang bayaran dan mereka sudah ada lebih dulu. Mereka ngegeng supaya ketua RW tidak berani semena-mena memecat mereka dan menggantinya dengan orang bawaannya.

Sebenarnya saya divonis menjabat korkam juga awalnya dalam rangka meredam suasana mirip seperti itu. Meskipun ketua RW masih tenaga sukarela salah satu warga, tetapi beberapa satpam mulai ngegeng. Ketua RW berkeyakinan para satpam masih respect kepada saya. Dan alhamdulillah memang benar, mereka masih mau tunduk aturan saya hingga detik ini.

Salah kaprah?

Saya tidak pernah belajar ketatanegaraan dan tidak memiliki latar belakang ilmu pengetahuan sosial (IPS) yang memadahi. Sehingga tidak mampu memberi penilaian yang pasti apakah keberadaan RT/RW dalam organisasi pemerintahan sudah benar atau salah secara ilmiah. Namun secara intuisi saya duga, sistem semacam itu berawal dari salah kaprah. Saya masih ingat, jaman dulu ketika masih kecil, dekade 1970an, semangat gotong-royong antar warga masih sangat nyata. Namun ada sisi negatifnya. Semangat gotong-royong tersebut terkontaminasi sistem kasta. Misal, ketika hujan akan turun dan terlihat ada jemuran telantar karena pemiliknya sedang tidak di rumah, maka tetangga dengan sigap mengamankan jemuran itu setelah terlebih dulu mengamankan jemurannya sendiri. Tetapi jika jemuran yang telantar tersebut milik pak lurah atau pak sinder, tetangga akan mendahulukannya ketimbang jemurannya sendiri.

Contoh lain… Jaman itu rata-rata dalam rumah tidak ada hiburan semacam TV, video dll. Paling-paling radio, dan itupun hanya satu dua orang yang memilikinya. Oleh karena itu sudah umum sehabis magrib orang-orang ngrumpi di salah satu rumah tetangga, kadang sampai tengah malam. Tentu tempat yang dipilih terutama yang penghuninya lebih hangat. Faktor pertimbangan lainnya antara lain ruangannya lebih lega, lampunya lebih terang dan kalau bisa ada makanan kecilnya.

Tetapi anehnya, rumah pak lurah tidak pernah sepi. Padahal mereka yang ngrumpi di rumah pak lurah saling ngobrol sendiri. Kadang pak lurah maupun bu lurah tidak sempat menyapanya sampai mereka pulang. Tapi besok malam mereka datang lagi. Jangan anda pikir pulang seperti pulang kondangan loh. Sebagian besar pulang lewat jam 2 pagi. Bahkan ada beberapa yang benar-benar pulang subuh. Mungkin ada rasa kehangatan sendiri begadang di rumah pak lurah, meskipun pak lurah tidak peduli. Terlebih jika pak lurah atau bu lurah sempat menyapanya, rasa puas dan bahagia mereka sangat jelas tersirat dalam senyumnya yang berbinar-binar. Terlebih lagi jika pak lurah atau bu lurah minta tolong mereka mengambilkan atau mengerjakan sesuatu, kontan semua berjingkrak semangat meskipun sebenarnya cukup salah satu saja. Rupanya disuruh-suruh tokoh atau pemuka merupakan sebuah kebanggaan. Entah ada pamrih apa dibalik itu. Namun yang jelas karakter semacam itulah yang dimanfaatkan pak lurah atau kades, setidaknya untuk menjaga rumah.

Tahukah anda tentang HANSIP atau pertahanan sipil? Sekarang namanya linmas, entah singkatan apa. Orang-orang berseragam pasukan tetapi bukan polisi maupun tentara. Tugasnya mirip satpam. Konon dulunya para relawan patriotis yang membentuk pasukan untuk melindungi rakyat dari gangguan para pembrontak. Di masa kecil saya di Jawa sudah tidak ada pembrontakan. Tetapi hansip masih ada dan anggotanya cukup banyak. Hampir setiap hari mereka ada di kantor kelurahan atau kades, layaknya satpam di jaman sekarang. Bedanya, mereka tidak dibayar dan tidak pula diberi makan. Satu-satunya yang mereka peroleh adalah pakaian seragam dari topi hingga sepatu.

Hansip bekerja sukarela dan tidak pernah protes. Fungsi mereka serbaguna, tetapi yang paling utama bidang keamanan. Dalam keseharian, mereka dikoordinasi oleh polisi desa (poldes), sebagai kepanjangan tangan ABRI. Ketika itu polisi dan tentara masih dalam satu payung bernama Angkatan Bersenjata RI (ABRI). Keamanan sipil tidak melulu ditangani polisi seperti sekarang, tentara juga ikutan. Manakala terjadi kasus gangguan keamanan, kadang ABRI turun tangan. Jika kinerja hansip dianggap mengecewakan, tidak segan-segan ABRI memberi hukuman layaknya menghukum pasukan mereka sendiri yang kerjanya digaji. Anehnya, para hansip juga sedemikian khidmad menjalani hukuman.

Saya masih ingat ketika itu rumah tetangga digasak kawanan perampok bersenjata bedil. Beberapa kali tembakan sengaja dilakukan untuk menggertak warga agar tidak keluar rumah. Semua hansip yang sedang berpatroli ngacir tak tersisa satupun. Maklum lah… mana mungkin pentungan melawan bedil. Lagi pula mereka rata-rata kurang gizi 🙁 jangankan lawan bedil.. mungkin tangan kosong pun nggak ada jaminan mereka mampu mengatasi.

Keesokannya, sekitar jam 3 siang datang beberapa tentara dari Koramil dan polisi dari Polsek setempat. Semua hansip dikumpulkan berbaris di halaman sekolah SD di dekat kantor kades dan diharuskan menanggalkan seragamnya, hingga yang tersisa hanya pakaian dalam. Banyak sekali warga, terutama ibu-ibu dan anak-anak (termasuk saya) yang nonton sambil ketawa cekikikan. Lnntas pasukan hansip yang hanya mengenakan pakaian dalam mirip tahanan itu disuruh push-up, scott-jump, lari-lari dan macam-macam hukuman fisik lainnya, dari jam4 sore hingga menjelang magrib. Setelah puas, lantas disuruh mengambil pakaiannya dan pulang.

Anehnya, begitu selesai menerima hukuman, rata-rata tampak ceria karena ternyata tidak dipecat. Sepertinya mereka tidak nyadar bahwa hansip hanyalah pekerjaan sukarela yang gajinya Rp 0 dan tanpa makan maupun minum. Beberapa dari mereka sekarang masih hidup dan kadang menemani saya begadang. Pernah saya ingatkan soal hukuman pelucutan seragam dulu. Waaaah… marah-marah dia. “Kami dulu goblog banget… kerja nggak dibayar kok dihukum keji nggak ada yang melawan ah”, katanya. “Coba kalau hal serupa dilakukan jaman sekarang…. bisa-bisa ABRI yang cuma 2 tentara dan 3 polisi kita gebukin rame-rame”, ungkapnya dengan kesal. Kenapa pasukan hansip yang 40an orang lebih ketika itu tidak ada satupun yang melawan? Jangankan melawan, protespun tidak. Memang begitulah karakter masyarakat ketika itu. Jangankan hansip yang diberi seragam…. lah wong yang tidak diberi seragam saja semangat tiap hari ngrumpi di rumah pak lurah 🙂

Mungkin dari karakter masyarakat yang seperti itulah lantas disimpulkan sebagai semangat pengabdian. Lantas muncul petugas sukarela yang berbasis semangat pengabdian seperti ketua RT, ketua RW dan para pembantunya.

Sampai kapan negeri ini mengandalkan aparat sukarela?

Konon negara kita adalah negara hukum. Hukum akan diterapkan kepada siapa saja tanpa pandang bulu? Bagi aparat, hukum juga berlaku manakala mereka melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas. Nah… apa hukumnya jika aparat ke-RT/RW-an melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya? Apakah juga diberi sanksi? Padahal mereka kerja sukarela lho! Apakah adil orang bekerja tidak dibayar harus dihukum manakala melakukan kesalahan dalam tugasnya?

Di jaman penjajahan Jepang, kata ibu saya tercinta, pernah ada jabatan semacam RT/RW. Namun ketika itu kan Tanah Air kita bukan negara, melainkan hanyalah wilayah jajahan. Tentu saja sang penjajah tidak peduli sisi hukumnya. Bahkan HAM pun tidak berlaku. Kita dianggap mirip budak atau hewan pekerja. Meski tidak dibayar, mereka harus bekerja lebih keras dan kalau salah tinggal diinjak-injak sampai lunglai lantas dijemur.

Di jaman Orde Lama, kata ibu saya tercinta, tidak ada jabatan semacam RT/RW. Tetapi ada banyak aparat sukarela, termasuk HANSIP, WANRA, OPR dan sebagainya. Ada yang murni semangat patriotis demi Tanah Air. Ada pula ormas di bawah bendera politik, seperti Banser, Pemoeda Rakyat, Pemoeda Marhaen dan sebagainya. Hal ini juga dimaklumi karena ketika itu negeri ini baru terbentuk (merdeka). Tentu semangat juang masih menggebu-gebu, sementara tatanan pemerintahan masih trial and error alias sedang berlatih bernegara.

Di jaman Orde Baru, kata ibu saya tercinta, itulah awal adanya jabatan RT/RW. Meniru apa yang dilakukan Jepang disini sebelum kita merdeka. Saya masih ingat istilah HANKAMRATA, pertahan dan keamanan rakyat semesta dalam pelajaran PMP di SMP. Barangkali Hansip, Wanra, OPR dan RT/RW salah satu implementasi HANKAMRATA. Namun itupun masih bisa dimaklumi. Orde Baru lahir dari sebuah peristiwa besar 30 September 1965. Nggak kebayang seperti apa tensi politik dan hebohnya propaganda dari berbagai pihak ketika itu…. Wong setelah 1968 saja, beberapa kerabat yang PNS kedapatan memasang gambar/foto Bung Karno saja langsung dipecat dan dicap PKI. Banyak orang PNI yang apes. Anehnya lagi ketika sudah menjadi PDI, saya lupa entah SD atau SMP, melihat orang dikejar-kejar ABRI dan Hansip gara-gara masang gambar PDI. Padahal ketika itu menjelang Pemilu. Jadi gambar-gambar partai yang beredar dimana hanya gambar beringin saja. Gambar banteng dan Ka’bah hanya berkibar di kantor sekretariat masing-masing saja. Saya yakin pembaca yang segenerasi saya pasti sepakat itu. Ka’bah masih beruntung karena tidak mungkin dicap PKI. Nah… situasi seperti itu, dimana pemerintah sepertinya dihantui ketakutan akan hadirnya kekuatan rakyat yang mendelegitimasinya, tentu memerlukan tambahan aparat untuk memperketat pengawasan. Namun karena dananya tidak cukup, maka lantas dibentuklah jabatan dalam struktur pemerintahan yang berbasis sukarela yaitu RT/RW.

Di jaman reformasi ini ternyata keberadaan RT/RW masih dipertahankan. Entah keteledoran atau karena sudah dianggap bagian dari budaya. Namun yang jelas semua pihak sudah menyadari bahwa adanya KTP ganda, teroris yang menyelinap menjadi warga dan bahkan orang asing bisa memperoleh KTP, penyebab utamanya adalah kelengahan pak/bu RT dan/atau pak/bu RW. Kenapa mereka lengah? Pertama, namanya punya tugas tapi tidak digaji tentu rentan terhadap iming-iming. Jangankan mereka yang sukarelawan, wong yang PNS saja masih ngiler iming-iming kok. Kedua, kebanyakan mereka menganggap pekerjaan RT/RW adalah sampingan, sehingga tidak diutamakan.

Apakah iklim seperti itu akan terus kita pertahankan? Yang perlu dicamkan, mereka yang bekerja dijagat profesional saja belum tentu mentalnya profesional. Lantas apa yang mau diharap untuk pekerja sukarela? Jangan disamakan dengan sukarelawan di daerah bencana atau perang. Mereka memang tulus dari hati nurani. Mereka benar-benar rela meninggalkan pekerjaan produktifnya demi panggilan kemanusiaan. Masa baktinya pun hanya sepanjang berlangsungnya bencana. Bahkan sebenarnya mereka juga bebas untuk mengakhiri masa baktinya kapan saja mereka mau.

Ini bukan sebuah sekedar usulan supaya jajaran RT/RW dibayar layak. Lebih dari itu, kaitannya dengan fungsinya yang merupakan ujung tombak pemerintah. Ini hanya sekedar mengingatkan apakah kita masih merasa nyaman hari gini dimana semua orang sudah nyadar bahwa pemerintah adalah organisasi mission-critical, di sisi lain masih mengandalkan tenaga paguyuban sukarela. Andaikan jajaran RT/RW dibayar layak dan dimasukkan sebagai karyawan organik pemerintah, tentu selain soliditas organisasi pemerintah menjadi mission-critical compliant, juga berdampak mengurangi pengangguran yang cukup signifikan. Bayangkan berapa banyaknya aparat jajaran RT/RW se Tanah Air. Jumlah desa/kelurahan se Nusantara sekitar 79,700. Anggap setiap desa/kelurahan terdiri dari 3 RW dan setiap RW mencakup 5 RT. Maka jumlah keseluruhan aparat jajaran RT/RW bisa mencapai di atas sejuta orang (1,195,500 orang). Tentu jumlah pengangguran akan direduksi secara signifikan. Itu belum termasuk seksi-seksi yang ada di tingkat RW maupun RT untuk kelurahan-kelurahan kota.

Mohon dicatat bahwa saya dan kawan-kawan pengurus RT/RW tidak sedang bermimpi mencari jabatan di desa/kelurahan. Namun setidaknya kesempatan ini akan sangat manis untuk menyerap tenaga muda yang tidak lulus kuliah. Selain mengurangi peluang menjadi preman, juga merupakan solusi berharga bagi lingkungan yang warganya tidak ada yang bersedia menjadi ketua RT/RW maupun seksi-seksi jajarannya seperti di lingkungan dimana saya tinggal.

***

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
No Comments

Post A Comment