Joko Umbaran vs Kebo Siluman

18 Dec 2011 Joko Umbaran vs Kebo Siluman

“Ngger JOKO, siro tumuliyo medhun soko pertapan kene, sowano noto Mojopahit, minongko sarono nggoniro ngupadi dalaning kamulyan… Nanging sing gedhe pangati-atiniro marang KEBO, amargo bejo lan cilakaniro bakal ono sambung rapete karo bangsane KEBO”, demikian pesan Ki Hajar Pamengger kepada sang murid. Terjemahnya; “Nak JOKO, kamu harus segera turun dari padepokan ini, menghadaplah kepada raja Majapahit, sebagai sarana bagimu mencari jalan menuju kemuliaan… Tetapi sangatlah berhati-hati terhadap KERBAU, karena kemujuran maupun kemalanganmu akan ada kaitan dengan jenis KERBAU”.

Tanpa berpikir panjang, Joko Umbaran, sang murid menjawab: “Sendiko bopo beghawan”. Setelah menyungkemi kaki sang guru, Joko pun berpamitan dan segera meloncat ke punggung kudanya yang langsung “mamprung” bak dikejar macan. Kuda Joko Umbaran memang sengaja dilatih sebagai kuda kavaleri sesuai cita-cita tuannya ingin menjadi tentara Majapahit yang perkasa.

Akhirnya Joko pun sampailah di gerbang istana Majapahit. Bukannya disambut ramah, melainkan sebatang panah beracun meluncur bak kilat dari arah samping dan langsung membabat leher Joko. Siapapun akan mengira Joko pasti terpenggal. Joko pun segera bersalto di udara seraya menangkap panah beracun tersebut dengan mulutnya. Bukan Sang Pandekar Joko Umbaran jika tidak memiliki gerak reflex sejitu dan seindah itu. Bak burung walet dia meliuk beberapa kali sambil mendarat kembali duduk di punggung kudanya, tahu-tahu tangan kanannya sudah memegang “kanten” (keris kecil seperti obeng) dan tangan kirinya memegang anak panah yang ditangkapnya. Lantas secepat kilat kanten digoreskan pada pangkal anak panah.

Mendadak seorang prajurit keluar dari persembunyiannya berguling-guling sambil teriak sejadi-jadinya “wadaaauuuh tanganku kebakar… tanganku kebakaaaaarrrrrr….”. Ujung jari dan jempol tangan kananmya berasap. Joko Umbaran pun secepat kilat meloncat ke arah prajurit tersebut sambil menghunus keris… lantas cresss… jari telunjuk dan jempol yang berasap putus seketika oleh sabetan keris sakti Umbaran. “Kenapa begini..?”, tanya sang prajurit. “Kalau tidak kuputus, sekujur tubuhmu lumat seperti jarimu itu”, jawab Joko. “Waduh tega amat kisanak… saya hanya diperintah untuk menguji ndiko”, sahut sang prajurit sambil meringis kesakitan. “Oleh karena itu aku ampuni dengan memotong jarimu. Jika seranganmu tadi atas prakarsamu sendiri, tentu aku biarkan sekujur tubuhmu lumat oleh khasiat kantenku”, jawab Joko lagi. Begitulah khasiat kanten, jika ditorehkan pada sebuah obyek, maka siapapun yang telah melakukan kontak fisik terakhir dengan obyek tersebut akan segera membusuk.

Ternyata istana sedang menyelenggarakan sayembara mencari pendekar yang berani melawan Kebo Marcuet, raja siluman kerbau yang sedang bercokol di kabupaten Grati setelah terlebih dulu membunuh bupati Bandar Sobali. Akhirnya Joko dipertemukan dengan Manggala Yuda yang memimpin sayembara. Joko segera teringat pesan gurunya, bahwa mujur atau malang nasibnya berkaitan dengan kerbau. Lantas muncul semangatnya dan dengan penuh keyakinan Joko pun mendaftarkan diri.

Tahap demi tahap berhasil diselesaikan oleh Joko dengan cara yang amat sangat mengagumkan, mulai dari menghadapi perangkap dan serangan rahasia, menaklukkan serangan keroyokan, menaklukkan serangan harimau lapar dan yang terakhir adalah memenangkan perang tanding melawan sang Manggala Yuda yang terkenal kesaktiannya. Saking memukaunya, sang Raja pun dikabari untuk menyaksikannya langsung.

Ternyata sang Prabu Bhratunjung sangat terpukau oleh kepiawaian pendekar Joko Umbaran. Oleh karena itu, giliran mengalungkan bunga, sang raja membisikkan sebuah janji yang teramat mengejutkan. Joko Umbaran bak dibakar semangatnya… setelah sungkem mencium kaki sang raja, kontan loncat ke punggung kuda dan berangkat ke Grati, meski hari sudah menjelang malam dan sebenarnya ditawari untuk istirahat semalam dulu. Saking semangatnya, Joko menampik segala tawaran yang dianggapnya menghambat. Bahkan satu peleton prajurit yang telah disiapkan untuk mengawalnya pun ditinggalkannya pula.

Sesampainya di Grati memang hawanya menjadi lain. Grati yang semula ramai semarak dan ramah penduduknya, berubah menjadi seperti kota mati. Tidak ada satu pun manusia tampak batang hidungnya. Angin berhembus perlahan dan terasa aneh ketika menyentuh kulit, membuat sekujur tubuh merinding meski di siang bolong. Di sana sini hanya terdengar lolongan serigala dan lenguhan kerbau yang semakin membuat suasana mencekam.

Dasar pendekar teladan, Joko segera sadar harus segera mengatasi kegundahan hatinya. Lantas Joko memberi pengabaran resmi kehadirannya dengan menggetarkan tali busurnya yang bergema dahsyat bak auman macan gembong. Rupanya isyarat ini diterima oleh Kebo Marcuet dan sang raja siluman itu pun jleggg… sekonyong-konyong menampakkan diri di hadapan sang pandekar.

Ada sedikit keanahan, Kebo siluman ganas yang biasanya langsung menyerang siapapun yang menantangnya, kali ini hanya berdiri di luar jarak serang. Rupanya aura sang pendekar lumayan tajam membuat sang siluman kurang pe-de untuk langsung menyerang. Sang Kebo siluman itu hanya menggertak dengan ancaman seram berharap Joko takut dan mundur. Meski agak sedikit gundah, Joko tetap mampu mengendalikan diri, lantas menjawab gertakan siluman Kebo itu dengan serangan kejut bak sambaran petir ke arah wajah sang siluman. Si Kebo pun kaget dan kejengkang beberapa meter ke belakang. Maka… pertempuran pun tak terelakkan lagi.

Konon pertempuran berlangsung berhari-hari. Joko dikeroyok oleh ratusan kerbau siluman anak buah Kebo Marcuet. Akhirnya Joko Umbaran menang dan Kebo Marcuet tewas. Selain kemenangan, Joko juga mendapatkan senjata sakti berupa gada dan pedang berbahan “wesi kuning” yang berasal dari tanduk Kebo Marcuet. Dengan senjata wesi kuning tersebut, Joko menjadi pendekar tak terkalahkan seantero Majapahit ketika itu.

Namun demikian, akibat pertempurannya dengan siluman kerbau, Joko menjadi cacat buruk rupa seumur hidup. Suaranya juga cadel pelo mbengung seperti suara tawon terbang. Warna kulitnya menjadi merah jingga karena mengelupas hampir sekujur tubuh. Pendek kata, ibu yang melahirkannya pun tidak mungkin mengenalinya lagi. Saking buruknya rupa, Joko seolah menyembunyikan diri dengan berganti nama menjadi Menak Jingga (baca: Menak Jinggo) dan tidak kembali ke Majapahit layaknya seorang duta yang telah memenangkan perang untuk melaporkan hasil kemenangannya. Ambisinya untuk memperoleh kemahsyuran setelah kemenangannya atas siluman kerbau itu pun pupus lenyap tak berbekas di benaknya. Yang ada hanya rasa penyesalan dan kegundahan serta upaya untuk mengenali dirinya yang baru yang telah berubah ujud tersebut. Untuk kurun waktu yang cukup panjang dia tidak kemana-mana. Dia hanya bercokol di Grati menggantikan kedudukan Kebo Marcuet sebagai bupati dan mengganti nama kabupaten Grati menjadi Blambangan.

Ternyata benar apa yang diucapkan gurunya, bahwa nasibnya akan terkait dengan makluk sebangsa kerbau. Semula bingung menghayalkan apa hubungannya dengan kerbau. Ternyata harus bertempur melawan kerbau siluman dan akhirnya menjadi seseorang yang benar-benar baru yang tidak bisa dikenali lagi sebagai JOKO Umbaran, baik dari ujud, suara, warna maupun baunya. Karena pupus harapan dan menjadi manusia baru yang buruk rupa, maka Menak Jingga (Joko Umbaran baru) akhirnya tersudut menjadi pemberontak. Namun demikian, meskipun kesaktiannya tak terkalahkan, tindakannya yang sudah telanjur salah langkah tersebut akhirnya mengantarkannya kepada kekalahan yang sangat tragis, yaitu pengkhianatan isteri-isterinya yang berujung maut. Kepala Menak Jingga dipenggal di hadapan kedua istri cantiknya yang tengah bercengkerama dengan sang pemenggal. Cerita selengkapnya dapat disimak disini.

Berikut ini ditambahkan pada 2 Feb 2015

Hikmah apa?

Ada yang menarik dari dongeng ini yang perlu disusulkan, siapa tahu ada manfaatnya. Joko Umbaran (mestinya ditulis Jaka Umbaran) adalah orang baik. Jika anda telah membaca cerita lengkap Menak Jingga, tentu anda akan tahu bahwa segala yang dilakukan Joko Umbaran berawal dari kebenaran. Menjadi pemberontak pun bukan karena diawali niat jahat maupun keserakahan. Dia memberontak karena dihina dan dianiaya, semata-mata karena buruknya rupa. Padahal dia menjadi buruk rupa karena melakukan kewajiban bela negara. Hadiah yang dia tanyakan juga bukan semata-mata pamrih, melainkan karena dijanjikan. Tetapi apa mau dikata… perjalanan nasibnya memang seperti itu. Nah… hikmah apa yang kira-kira bisa kita cermati dari dongeng ini?

Mungkinkah orang baik yang sedang melakukan hal baik, terjerumus ke dalam nasib yang seburuk Joko Umbaran? Hemat saya, mungkin saja. Ir. Soekarno, pahlawan Proklamator Kemerdekaan kita, adalah orang baik dan pintar. Proklamator Kemerdekaan adalah “duta bangsa yang luar biasa”, karena Proklamasi Kemerdekaan hanya terjadi sekali saja, kecuali kita ingin dijajah lagi. Namun kenyataannya beliau wafat masih dalam status tahanan. Artinya, di akhir hidupnya, yang beliau rasakan adalah kemalangan. Bukankah nasib Ir. Soekarno mirip dengan dongeng Joko Umbaran?

Seikh Siti Jenar adalah seorang wali. Tentu orang baik, setidaknya lebih baik ketimbang saya. Melakukan syiar agama juga merupakan perjuangan suci bagi agama yang dibawakannya. Namun, meski sejarahnya masih simpang siur, banyak pihak yang meyakini beliau dihukum mati oleh Wali Songo karena mengajarkan kesesatan. Bahkan ada dongeng yang beredar di kampung-kampung yang menceritakan bahwa Seikh Siti Jenar berasal dari seekor cacing dari tanah merah. Lebih hina lagi kan? Padahal yang dimaksud sesat bukan substansi materi ajarannya, melainkan metodanya, yaitu tidak mengikuti tahapan yang runut. Andaikan cerita itu benar, maka kesesatan ajaran Seikh Siti Jenar bukan sebuah kesengajaan untuk menyesatkan orang. Melainkan hanyalah kesalahan kurikulum. Andaikan semua ini benar, bukankah nasib Seikh Siti Jenar mirip dengan dongeng Joko Umbaran?

Kolonel TNI Abdul Latief, anak buah Soeharto ketika menjabat Panglima Kostrad, menulis buku tentang dirinya. Buku itu saya baca ketika masih dilarang beredar. Akibat dilarang menjadikan semangat untuk mencari dan membacanya he he 🙂 Menjadi kolonel tentu orang baik, setidaknya normal. Dalam buku itu diceritakan bahwa Abdul Latief bukan anggota maupun simpatisan PKI. Beliau mencari Soeharto (bosnya) karena hendak melaporkan bahwa akan terjadi penculikan terhadap para jenderal TNI. Tetapi oleh Soeharto dianggap hendak menculik atau membunuhnya. Sehingga Abdul Latief akhirnya ditangkap dan dipenjarakan hingga 1999 (33 tahun). Meski sebelum ajal menjemput, beliau sempat menjadi orang bebas, tetapi yang tersisa hanyalah penyakit stroke. Ketika diwawancara di TV suaranya sudah tidak jelas. Andaikan apa yang dituturkan dalam bukunya maupun dalam wawancara TV benar, maka Abdul Latief juga merupakan Joko Umbaran di jaman Orde Baru.

Mungkin masih banyak contoh lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan orang-orang yang sekarang masih berkiprah akan menyusul kelak. Semuanya itu menimbulkan sebuah pertanyaan, kenapa orang baik dan sedang melaksanakan kebaikan justru bernasib seburuk itu? Kadang terpikir untuk mencermati apakah ada kesalahan langkah yang menjerumuskan seseorang yang sedang berbuat baik menuju jurang kesengsaraan yang unrecoverable.

Apa kesalahan langkah yang telah dilakukan Joko Umbaran? Andaikan dia tidak bertarung melawan Kebo siluman, mungkin dia tetap menjadi Joko Umbaran yang perkasa. Tetapi hanya sebatas di kalangan para pendekar. Tidak menaklukkan Kebo siluman tidak menurunkan derajatnya sebagai seorang pendekar. Karena dia bukan tentara. Selain itu, siluman memang bukan lawan yang timbang bagi manusia pada umumnya. Lagi pula jarak antara Gambir Sakethi dan istana Majapahit dan antara istana Majapahit dan Grati adalah jarak yang teramat sangat jauh ketika itu. Dan sebenarnya dia pun tidak pernah tahu apakah bertarung melawan Kebo siluman satu-satunya jalan menuju kemuliaan. Bagi orang yang seksama menimbang resiko, tentu akan menghindari interaksi apapun dengan kerbau dan sejenisnya, mengingat wejang terakhir dari gurunya. Tetapi tidak berani menentang resiko bukan ciri orang yang patut mendapat kemuliaan. Lantas harus bagaimanakah Joko Umbaran supaya tidak menjadi Menak Jingga?

Demikian pula Ir. Soekarno. Apa penyebab utama kehancurannya? Apakah sikap “berdikari”-nya yang membawa bangsa ini ketika itu mengalami krisis ekonomi? Bukankah “berdikari” merupakan konsekuensi logis dari sebuah negara yang baru merebut kemerdekaannya ketika itu? Apakah gara-gara Nasakom? Bukankah melindungi dan mempersatukan bangsa merupakan misi utama seorang negarawan? Bisa saja Soekarno ketika itu membuka diri untuk mendapat pinjaman asing. Tetapi tentu akan mendapat kecaman karena tidak konsisten dengan slogan “berdikari”-nya. Bisa saja Soekarno ketika itu tidak bikin Nasakom. Namun apa yang terjadi kira-kira? Apa kata orang nantinya wong pemimpin kok diam saja bangsanya bertikai! Lantas harus bagaimanakah kira-kira Soekarno supaya tidak berakhir tragis menjadi tahanan sampai ajal menjemput?

Seikh Siti Jenar, Kol Abdul Latief dan Ir Soekarno sudah meninggal. Andaikan Joko Umbaran ada beneran, sekarang juga sudah meninggal. Apakah mereka itu menyesal ketika rekaman perjalanan hidupnya diputar ulang dan ditunjukkan berbagai alternatifnya ya? Yang sudah meninggal memang tidak bisa memberitahukan kepada yang masih hidup. Namun kisah perjalanan hidupnya setidaknya menjadi contoh bagi yang masih hidup untuk dicermati, meski kadang hanya berakhir dengan tanda tanya besar.

Lambang kerbau dan sebangsanya

Di kalangan masyarakat Jawa, jika seseorang mimpi melihat kerbau, konon akan mengalami keapesan. Ada yang bilang kerbau memang lambang keterjerumusan, yang dalam bahasa Jawa, “KEBOngganan”. Bonggan artinya caution. Sehingga kebongganan artinya sial karena ulahmu sendiri. Ini pastilah sekedar thuk gathuk. Memang thuk gathuk kebanyakan hanya iseng atau ngibul. Tapi jangan meremehkan thuk gathuk, karena ada yang disusun untuk memudahkan mengingat. Menurut penjelasan sejarah memang banyak yang berkaitan dengan kebo atau kerbau berakhir dengan keapesan.  Namun setidaknya ada dua kebo yang saya tahu, yaitu Kebo Ijo dan Kebo Kenanga.

KEBO Ijo, orang baik dan tidak pernah bermusuhan dengan siapapun, apalagi membunuh. Tapi karena tabiatnya yang seneng pamer dimanfaatkan Ken Arok dan akhirnya ditangkap dan dihukum mati karena dituduh membunuh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Kebo Ijo tidak bisa menyangkal tuduhan itu karena keris yang menancap pada jenazah Tunggul Ametung adalah keris yang sering dipamerkannya kemana-mana sebagai senjata kebanggaannya. Padahal dia hanya dipinjami oleh Ken Arok, yang memang merupakan bagian dari rencana pembunuhan Tunggal Ametung.

KEBO Kenanga, ayah Joko Tingkir (Karebet) adalah orang baik dan menjabat sebagai manggala yuda di kerajaan Demak era Sultan Raden Fatah. Dia hanya mengambil cuti katika isterinya melahirkan Karebet di Tingkir, cukup jauh dari Demak ketika itu. Namun begitu si anak lahir, dia menjadi malas untuk kembali ke Demak. Dia memilih untuk bertafakur bersama keluarga dan teman-teman masa kecilnya. Mungkin karena si mungil Karebet sangat menggemaskan. Maklum, Kebo Kenanga ketika itu sudah cukup tua. Kelahiran Karebet adalah akhir dari sebuah penantian panjang. Ternyata apa yang dilakukannya itu dianggap upaya makar dan riwayat Kebo Kenanga berakhir dengan hukuman mati.

Barangkali pakar sejarah masih bisa menambahkan contoh lain. Tetapi setidaknya ada kebo yang berpotensi menggelincirkan keimanan orang-orang kampung di seputar Solo-Yogya, bahkan hingga hari ini, yaitu KEBO Kyai Slamet.

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
No Comments

Post A Comment