TKW Dipancung – Sebuah Kebiadaban Berkedok Agama

02 Jul 2011 TKW Dipancung – Sebuah Kebiadaban Berkedok Agama

Sejak dulu kita selalu dihebohkan oleh kasus TKW disiksa, diperkosa dan bahkan dibunuh. Hari-hari ini kita sedang dilanda kehebohan TKW kita dihukum pancung di Arab Saudi. Apa yang hendak kita perbuat? Apakah hukuman pancung sampai mati sudah adil buat TKW Indonesia di Saudi Arabia? Konon hukum pancung (penggal kepala) adalah eksekusi mati gaya Islam karena diyakini cara mati yang paling tidak menyiksa adalah dipenggal kepalanya.

Setelah hadir teknologi elektrik, senapan dll, sebagian orang mengatakan kursi listrik lebih tidak menyiksa. Ada sebagian lain yang berpendapat ditembak jantungnya lebih tidak menyiksa. Apakah eksekusi penggal perlu digantikan dengan kursi listrik atau tembak jantunng? Rasanya tidak ada larangan selama diyakini oleh mereka yang berkompeten bahwa itu yang terbaik. Namun yang merasa berkompeten juga jangan keburu ge-er, karena mereka toh belum pernah merasakan dipancung, distroom listrik, digantung maupun ditembank janutngnya. Yang telah merasakan pun selain tidak bisa lagi mengemukakan apa yang dirasakannya, juga mereka hanya kebagian salah satu, sehingga tidak bisa membandingkan.

Al Quran memang melarang penyiksaan bagi orang yang akan diexekusi mati. Dalam Quran memang ada hukuman siksa, tapi hanya untuk menimbulkan efek jera. Jadi pasti tidak sampai mati. Misalnya hukuman dera bagi pezinah, 100 kali bagi yang sudah berkeluarga atau 50 kali bagi yang masih bujangan. Hukuman potong tangan bagi pencuri. Hukuman-hukuman tersebut bukan eksekusi mati. Tidak ada ketentuan detil alat dan targetnya. Cambuk seperti apa yang digunakan untuk mendera. Apa cukup dengan lidi? Rotan? Ataukah besi berlilitkan kawat berduri? Apakah targetnya punggung? Kaki? Kemaluan? Demikian pula dengan potong tangan. Targetnya memang tangan. Tapi tidak ada ketentuan detial apa harus di pangkal lengan? Sikut? Jari? Atau cukup kuku jari? Alatnya juga demikian. Apakah harus dengan pisau? Pedang? Atau bahkan gergaji? Semua itu memberi kelonggaran kepada penghukum untuk disesuaikan dengan tingkat kesalahannya dan akurasi bukti dan saksinya. Tentu harus terlebih dulu dimusyawarahkan secara cerdas jasmani dan rohani oleh para pakar yang berakhlak mulia demi terselenggaranya keadilan yang hak. Tidak boleh ada unsur dendam apalagi keji. Semua dilaksanakan semata mengikuti perintah Allah. Kalo pun si terhukum akhirnya mati, adalah sebuah kecelakaan.

Sedangkan hukuman mati, karena targetnya adalah mematikan si terhukum, maka tidak boleh ada penyiksaan, apalagi dengan cara keji. Hukuman mati yang mengandung kekejian seperti hukuman salib, picis, rajam dll pasti tidak ada dalam Quran.

Kebiadaban Berkedok Agama

TKW dipancung karena membunuh majikannya. Apa sudah adil? Saya rasa ini hanya kebiadaban berkedok agama. TKW adalah orang miskin. Jauh-jauh dari Tanah Air mengembara ke Arab Saudi menjadi gedibal adalah mencari nafkah. Pasti semua orang yakin bahwa mereka tidak ada niatan untuk bikin onar apalagi sampai membunuh. Kalo toh mereka membunuh, pasti ada alasan mendasar. Apalagi mereka kaum hawa yang lemah dan tidak memiliki naluri tempur seperti kaum adam. Bisa dibayangkan, mereka membunuh pasti sebuah langkah membabibuta karena ketakutan yang luar biasa. Boleh jadi karena akan diperkosa. Mungkin karena jemu disiksa. Sedangkan mereka tidak memiliki wawasan yang cukup dewasa bagaimana caranya lari dari majikan. Berbahasa pun mungkin menjadi kendala karena keterbatasannya. Terlebih jika paspor mereka ditahan majikan. Akhirnya mereka menemui jalan buntu dan keputusasaan. Apakah orang semacam ini patut dihukum mati?

Kekonyolan antara majikan dan TKW bisa saja terjadi, tidak melulu berlatarbelakang pemerkosaan. TKW umumnya berasal dari keluarga miskin di pelosok Tanah Air yang minim pendidikan. Meskipun sudah dilatih, tidak menjamin di tempat kerja mampu melaksanakan tugasnya seperti yang diharapkan. Pernah kawan saya dari Malaysia juga mengeluh karena pembantunya (TKW) sering melakukan kesalahan untuk hal-hal yang beresiko tinggi karena ketidaktahuan. Biasanya berkaitan dengan elektrik atau gas. Diajarin tapi masih saja sering lupa. Maklumlah, ijazah SD saja tidak punya. Hal-hal seperti ini sangat memerlukan kesabaran majikan. Sementara di negara-negara pengimpor TKW tidak pernah ada pelatihan majikan. Majikan yang tidak penyabar tidak mustahil mengajari TKW sambil marah-marah, bahkan tidak mustahil pula melakukan tindakan kasar. Jika hal ini berlangsung setiap saat, tentu sang TKW bukannya menjadi cerdas, malah sebaliknya, menjadi ketakutan dan berusaha mengelak atas semua tuduhan kesalahan. Majikan yang temperamen bisa semakin kalap. Sang TKW pun melihat majikannya kalap, akan semakin buntu dan akhirnya membabibuta untuk beladiri. Nah.. mestinya sirkumtansi psikis semacam ini perlu dicermati oleh aparat hukum disana jika tidak ingin membuat vonis biadab.

Agama Islam adalah agama yang mengutamakan keadilan di atas segalanya. Bila anda membunuh seseorang dengan sengaja dan direncana, maka anda pun harus dibunuh. Adil kan? Bila anda mengkhianati bangsa/negara semisal korupsi, artinya anda menumpas banyak orang, maka anda harus dibunuh. Adil kan? Namun hukuman apa yang harus anda jalankan jika anda tidak sengaja menabrak orang hingga tewas? Hukuman apa yang harus anda jalankan jika anda membunuh karena merasa terancam keselamatan atau kehormatan anda? Apakah anda harus dibunuh juga?

Menyebabkan kematian seseorang karena ketidaksengajaan seperti dalam kecelakaan berlalulintas, tentu tidak dihukum mati seperti pembunuhan berencana. Tentu yang harus diberlakukan adalah hukum pelanggaran lalulintas. Mungkin tidak ada dalam kitab suci AlQuran. Sehingga para ulama hukum harus bermusyawarah merumuskannya. Sedangkan membunuh karena perkelahian, hukumnya sudah ada, yaitu qisas. Sangat berlebihan jika seorang TKW terlibat perkelahian dengan majikan. Artinya, sangat berlebihan pula jika seorang TKW yang lemah divonis qisas akibat perkelahian dengan majikan dan menyebabkan majikannya tewas. Sangat sulit dicermati logikanya seorang TKW segusar itu hingga berani berkelahi dengan majikan kalo bukan karena kebuntuan pikir dan ketakutan yang berlebihan. Dan sangat tidak masuk akal juga jika sebuah pengadilan yang konon berazaskan syariah agama Islam yang rahmatan lil alamin segegabah itu memvonis mati atau qisas kepada seorang TKW dalam situasi seperti itu.

Qisas

Ada 2 macam pembunuhan yang diancam hukuman mati. Yang pertama adalah pembunuhan berencana. Mungkin karena benci atau ada tujuan tertentu (misal merampok), seseorang boleh jadi merencanakan untuk membunuh orang lain. Pembunuhan semacam ini tidak ada celah untuk menghindar dari hukuman mati. Andaikan pihak keluarga korban memaafkan pun, hukum tidak boleh memaafkannya. Si pembunuh harus dimatikan.

Yang kedua, pembunuhan tak berencana. Membunuh karena perkelahian akibat kasus persengketaan tertentu, jika semula tidak ada unsur ancam-mengancam, berarti tidak direncanakan. Perkelahiannya boleh jadi direncanakan. Tetapi pembunuhannya tidak. Tentu harus dibuktikan oleh mahkamah dalam persidangan. Ciri-cirinya secara awam barangkali tidak terlalu sulit. Seandainya salah satu pihak mau mengalah atau melapor kepada pihak keamanan, mungkin tidak ada yang terbunuh. Setelah salah satu terbunuh, maka si pembunuh diancam hukuman mati, tetapi tidak harus benar-benar mati.

Untuk kasus semacam ini, Al Quran memvonisnya dengan hukum qisas. Artinya, si pembunuh tetap divonis mati demi hukum. Namun pihak keluarga korban boleh memaafkan. Jika tidak memaafkan, maka si pembunuh harus dihukum mati. Namun jika pihak keluarga si korban bersedia memaafkan, maka si pembunuh berkewajiban membayar qisas. Ada rinciannya berapa yg harus dibayarkan, yang jelas banyak sekali. Gampangannya, jika anda hanya termasuk ekonomi menengah ke bawah, anda harus membayarkan seluruh harta anda untuk qisas, hingga anda menjadi fakir. Pihak si korban yang menerima harta denda qisas, tentu kena hukum zakat 10% bak panen tanaman tanpa merawat. Untuk tahun-tahun selanjutnya terkena zakat harta (maal) 2.5% setiap tahun. Zakat-zakat tersebut diberikan kepada si penyandang hukum qisas yang telah fakir. Disitulah letak indahnya keadilan. Catatan: Terbunuhnya korban dalam kasus perampokan tidak termasuk kasus qisas ini.

Membunuh Karena Beladiri

Membunuh karena hendak dibunuh atau diperkosa tentu tidak termasuk pembunuhan berencana maupun qisas. Siapapun tahu bahwa kerbau adalah mangsa singa atau harimau. Tapi bukan berarti tidak ada singa atau harimau tewas oleh kerbau. Dari sekian banyak kerbau mungkin ada kerbau yang pada saat stress bukannya lumpuh, tetapi malah membabi buta. Nah singa yang meremehkan, bisa jebol waduknya kena tanduk sang kerbau yang ketakutan. Namun hal ini tidak boleh dianggap sebagai perkelahian antara kerbau dan singa. Hanya orang tolol yang menganggapnya demikian. Ini hanya efek dari kerbau yang ketakutan dan singa yang kurang hati-hati.

Perkelahian TKW dengan majikan bisa diibaratkan kerbau melawan singa. TKW adalah orang miskin yang bodoh yang mendambakan nafkah dari majikan atas layanannya. Mustahil TKW merasa seimbang dan berani ceksok lawan majikannya. Dalam bayangan saya, pasti si TKW sudah berkali-kali mengalah dan ketakutan. Akhirnya, yang sekian kalinya, dia kalap lupa daratan membabibuta karena syaraf takutnya putus, dan terjadilah perlawanan yang mengakibatkan sang majikan tewas. Ini membunuh karena beladiri karena dianggap tidak ada jalan lain. Si pembunuh tidak bisa dihukum mati maupun qisas.

Memang pengadilan tidak boleh serta merta mempercayai kasus ini sebagai beladiri. Diperlukan saksi dan bukti yang cukup. Kasus semacam ini akan menjadi sangat rumit jika tidak ada saksi. Kasus semacam itu sering terjadi. Misalnya kasus pemerkosaan. Orang mau memperkosa umumnya mencari suasana sepi agar tidak ada saksi. Sehingga memang benar2 tidak ada saksi. Bukti pun bisa sulit. Karena orang meronta melawan karena diperkosa tidak harus menunggu hingga klimaks pemerkosaan terlampaui.

Tanpa saksi dan bukti, juga tidak serta merta mengesahkan dakwaan. Pengadilan tidak boleh memvonisnya sebagai pembunuhan berencana maupun perkelahian seimbang gara-gara terdakwa tidak mampu menghadirkan saksi maupun bukti. Sehingga, kasus ini bisa menjadi remis. Yang berbahaya jika salah satu pihak menghadirkan saksi maupun bukti palsu. Nah .. disinilah citra hukum agama dipertaruhkan. Jika saksi dan/atau bukti palsu yang dirancang sangat cerdas mampu memutarbalik fakta, lantas dimana kelebihan hukum Islam dibanding hukum biasa?

Ada perbedaan mendasar yang umumnya kurang disadari antara basis agama (Islam) dan sekuler. Agama mencakup 2 dunia, lahiriah dan rohaniah. Para ulama hukum Islam dituntut untuk mencapai tingkat makrifat agar rohaninya tajam untuk membedakan mana saksi dan/atau bukti yang palsu dan mana yang asli. Imam Ghozali menegur rekannya telah melirik cewek cantik padahal melakukannya di tempat lain. Namun sang rekan yang ditegurnya tidak mampu memungkirinya. Kenapa demikian?

Umar bin Khatab menyelamatkan orang Yahudi yang tanahnya dijarah untuk dibangun masjid cukup dengan memberinya tulang yang digores pedang. Si pemimpin penjarah begitu melihat tulang yang dibawa si Yahudi, tanpa ba bi bu langsung percaya dan memerintahkan merobohkan bangunan masjid setengah jadi tersebut serta mengembalikan tanahnya kepada si Yahudi. Padahal hanya tulang dengan luka goresan pendang. Tidak ada instruksi tertulis, tidak ada stempel khalifah maupun otentikasi lainnya. Kenapa bisa sedemikian efektif?

Sunan Kalijaga tidak pernah kuliah teknik sipil mampu membuat pilar dengan serpihan kayu. Untuk mengajak penjudi sabung ayam masuk Islam, Sunan Kalijaga bisa menjadikan ayam mereka tak terkalahkan jika mereka sholat sebelum sabung ayam. Meskipun akhirnya Sunan Kalijaga mengatakan bahwa sholat mereka sia-sia jika mereka tetap menyabung ayam. Tetapi bukannya membuat mereka kecewa, malah mereka meninggalkan kebiasaan sabung ayam dan justru mempeng sholatnya. Kenapa demikian?

Semua ini adalah contoh bahwa dalam agama (Islam) ada kekuatan 2 dimensi yang harus beriringan, lahiriah dan rohaniah. Untuk menegakkan Islam, bukan jubah, cadar maupun jenggot yang diperlukan. Tetapi kecerdasan lahiriah dan rohaniah yang seimbang.

Pentingnya Kecerdasan Lahiriah dan Rohaniah

Kecerdasan lahiriah dalam menelaah hukum adalah kecedasan logika matematis. Misalnya, dalam hukumnya dinyatakan dera 100 kali. Tentu tidak sah jika baru 70 kali si terhukum sudah tewas. Namun menderanya juga tidak boleh sambil pringas-pringis tidak serius karena nggak tega. Maka harus dipilih alat dan sasaran sedemikian rupa agar pelaksanaannya sah, yaitu mendera 100 kali dengan serius dan membuat si terpidana benar-benar kapok pitulikur tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama.

Tidak hanya untuk lingkup sempit penegakan keadilan saja, kecerdasan lahiriah dalam mengkaji Quran di jaman Rasul dan kekhalifahan sudah terbukti mampu menghadirkan berbagai ilmu modern seperti matematika, algoritma komputasi, kedokteran, kimia, fisika, ekonomi, hukum, tatanegara dll. Mungkin karena waktu itu mengkaji Quran tidak melulu aspek syariahnya saja, melainkan semua aspek kehidupan. Ada sebagian yang fokus pada ayat-ayat yang berkaitan dengan zakat dan riba. Maka hadirlah ilmu ekonomi, tataniaga dan perpajakan. Sebagian lagi fokus pada ayat-ayat yang berkaitan dengan alam dan falaq, dan hadirlah berbagai cabang fisika, kimia, matematika dan biologi.

Kecerdasan rohaniah tidak kalah pentingnya. Terutama dalam mencari solusi untuk kasus-kasus yang sudah mencapai ambang batas daya pikir manusia. Misalnya untuk memusyawarahkan dan memutuskan siapa yang paling pantas menjadi pemimpin. Ghaib memang milik Allah, dan logika manusia tidak akan mencapainya. Tapi tidak mustahil Allah memberitahu hal-hal ghaib kepada manusia yang dipilihNYA dalam bentuk kharomah. Mereka penerimah kharomah inilah yang sering kita sebut sebagai kelompok makrifat. Mereka lantas memiliki feeling yang kuat dan tajam termasuk dalam mengevaluasi kejujuran dan bahkan pikiran orang lain.

Dalam kaitannya dengan judul tulisan ini, kegunaan ketajaman rohani misalnya dalam menghadapi pengadilan orang-orang yang terancam hukuman berat, baik hukuman mati maupun siksa, misalnya kasus pembunuhan untuk hukuman mati dan kasus perzinahan atau pencurian untuk hukuman siksa. Hukuman mati sudah sangat jelas, apabila salah vonis maka disana setan menang telak. Tidak ada yang bisa dikompensasi dari sisi apapun, karena si terhukum sudah mati oleh vonis yang salah. Namun bukan berarti gara-gara takut salah lantas hukuman mati ditiadakan. Demi keadilan, hukuman mati harus ada. Karena ada kasus-kasus kejahatan yang tidak ada sanksi apapun yang setimpal selain selain hukuman mati.

Hukuman siksa selain menyakitkan fisik, juga menjatuhkan psikis. Hukuman semacam ini juga harus ada, setidaknya dalam sistem syariah, untuk membuat orang jahat menjadi kapok dan yang lain tidak berani mencobanya. Di sistem non-syariah pun ada, meskipun siksanya implisit. Dari filem-filem atau cerita orang-orang yang sudah pernah masuk penjara, rasanya sudah bukan rahasia umum lagi. Namun alangkah malangnya jika si terhukum hanya korban fitnah. Disinilah pihak mahkamah dituntut kecerdasan rohani dalam mengadilinya.

Orang yang merasa bersalah, tentu berupaya memungkiri kesalahannya untuk menghindari setidaknya mengurangi hukuman. Misalnya kasus pemerkosaan. Ancaman hukumnya adalah mati bagi si pemerkosa, dan tidak ada kebijakan denda qisas. Dalam upayanya mengurangi hukuman, boleh jadi menggiringnya pada kasus perzinahan. Mungkin dengan merekayasa bukti dan/atau saksi palsu. Seandainya mahkamah mempercayai, si pemerkosa untung, karena tidak jadi mati, hanya kena dera 100 kali. Namun bagi si korban akan berlaku sebaliknya. Dia yang mustinya dapat perlindungan dan kompensasi malah dihukum sama dengan si pemerkosa, karena berzinah adalah kejahatan bersama. Dalam hal ini hukum akan menjadi sangat tidak adil. Disinilah pihak mahkamah dituntut kecerdasan rohani dalam mengadilinya.

Meskipun mencambuknya dengan bantal untuk hukuman dera, atau yang dipotong cuma kuku untuk hukuman potong tangan, akan menjadi sangat tidak adil jika si terpidana sebenarnya tidak bersalah. Sakitnya tidak seberapa. Tapi rasa malunya tidak bisa dibeli dengan apapun. Padahal faktor penting yang diandalkan secara tersurat dalam hukum hanyalah saksi dan bukti. Namun yang harus ditegakkan sebenarnya bukan hukum semata, melainkan keadilan. Sementara, orang culas yang cerdas dan kaya bisa saja membuat saksi dan bukti palsu dengan sangat jitu. Kalo pihak mahkamah hanya menggunakan kecerdasan lahiriah, hukum bisa menjadi tidak adil. Fitnah bisa mengalahkan kebenaran.

Sulit untuk menjelaskan kecerdasan rohani secara detil. Karena saya juga muslim jaman sekarang yang cenderung hanya dari sisi lahiriahnya saja. Tetapi saya percaya bahwa sisi rohaniah tidak kalah pentingnya. Saya percaya ketajaman rohani yang dimiliki para Rasul, para sahabat rasul hingga para ulama kesohor seperti Imam Ghozali, Shekh Abdul Kadir Jaelani hingga para Walisongo bahkan Pangeran Diponegoro. Saya juga yakin bahwa untuk mencapai tingkat makrifat merupakan kuwajiban (upayanya), meskipun negeri kita tidak menyelenggarakan hukum syariah Islam. Karena banyak gejolak sosial yang lebih mempan dikendalikan oleh tokoh masyarakat ketimbang pemerintah dan aparatnya. Akan sangat optimal dalam membawa masyarakat ke iklim kondusif jika sang tokoh memiliki dan mengandalkan kecerdasan lahiriah dan rohaniah secara berimbang.

Perlukah Kecerdasan Lahiriah dan Rohaniah di Negeri Kita?

Negeri kita bukan negeri syariah. Namun kecerdasan lahiriah dan rohaniah tetap sangat diperlukan. Jika para pejabatnya cerdas lahiriah dan rohaniah secara berimbang, tentu negeri ini tidak terpuruk menjadi negeri paling korup. Jika para penegak hukumnya cerdas lahiriah dan rohaniah, tentu tidak terjadi kasus-kasus hukum yang menggelikan seperti “koin untuk Prita”, Dian alumni ITB diadili karena jual iPad tanpa manual berbahasa Indonesia, dll. Dakwaan dan rujukan hukumnya memang menyudutkan Prita maupun Dian sebagai pihak yang bersalah. Tetapi jika evaluasinya dilakukan dengan kecerdasan yuridis (lahiriah) yang diiringi kecerdasan rohani, bisa jadi tututannya atau vonisnya tidak seperti yang telah dan sedang beredar saat ini.

Apa lagi di negeri ini konon lebih baik tidak menghukum orang bersalah ketimbang menghukum orang tak bersalah. Dari kalimat tersebut sebenarnya menyiratkan sebuah kehari-hatian dan kesadaran bahwa supremasi keadilan lebih penting ketimbang supremasi hukum. Sebenarnya sudah sangat Islami. Ini merupakan tantangan bagi para pakar dan penegak hukum untuk menyempurnakannya agar jangan sampai menghukum orang yang tak bersalah, tapi jangan sampai pula melepaskan orang yang bersalah. Supremasi keadilan juga tercermin dalam kesetimpalan antara bobot hukuman dan bobot kesalahan. Jangan sampai paling-paling maling ayam yang cuman merugikan satu dua orang tetangga dihukum setara dengan koruptor yang mengkhianati sumpah jabatannya (alias mengkhianati negara), atau sebaliknya.

Hukum Islam di Arab Saudi

Apakah Arab Saudi menganut hukum Islam? Saya bukan expert soal Arab Saudi. Dilihat dari judulnya memang iya. Namun kita bisa mencermatinya dari sisi konsistensi logiknya. Negara yang menganut hukum syariah Islam, adalah negara yang penyelenggaraan pemerintahan dan hukumnya benar-benar mengikuti ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Apakah Arab Saudi tampak seperti negara yang dipimpin oleh Rasul dan para sahabatnya? Sepertinya tidak. Rasul mencontohkan negara Islam adalah negara demokratis yang dipimpin oleh khalifah. Yang jelas, khalifah bukan raja seperti yang memimpin Arab Saudi saat ini. Dan negara kekhalifahan bukan monerkhi seperti Arab Saudi saat ini. Khalifah adalah pemimpin yang dipilih berdasarkan musyawarah para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Yang diutamakan kebenaran, bukan adu banyak seperti voting. Karena kebenaran tidak selalu berbanding lurus dengan banyaknya suara. Oleh karena itu yang ikut bermusyawarah hanya para ulama (orang yang telah mumpuni keilmuan) yang telah ditokohkan masyarakat karena berakhlak mulia. Selain itu, cara mengevaluasi kasus juga tidak melulu dari sisi lahiriah, tetapi juga menggunakan kekuatan rohaniah. Dari sana akan terpilih seorang khalifah yang benar-benar pemberani, patriotis, tegas, jujur dan amanah serta cerdas jasmani dan cerdas rohani. Apakah Saudi seperti itu? Apakah hukum Islam kompatibel dengan negara monarkhi? Rasanya semua orang tahu 🙂

Judulnya boleh saja hukum syariah. Tapi syariah bukan hanya hukum, melainkan sebuah sistem yang terpadu, antara hukum, pemerintahan dan parlemen. Yang jelas, Arab Saudi tidak seperti negara kekhalifahan. Sehingga memungkinkan pengkajian dan pelaksanaan hukum dan hukuman disana tidak semurni hukum Islam yang mengandallan kebenaran Quran dan kecerdasan lahiriah dan rohaniah para pejabatnya. Kalo gitu, alangkah bijaknya jika azasnya lebih baik tidak menghukum orang bersalah ketimbang menghukum orang tak bersalah. Apalagi hukumannya exekusi mati.

Stop Expor TKW dan TKI Rendahan

Sebuah negara berdaulat seperti NKRI seharusnya memikirkan martabat bangsa. Kita sudah didera berbagai pengalaman pahit yang menjebloskan martabat bangsa dengan mengexpor TKW dan TKI rendahan. Apakah kita bisa menghentikannya? Bagaimana cara mengentikannya? Padahal satu-satunya cara adalah menghentikannya. Tidak ada cara lain!!! Kita bukan gedibal bangsa lain. Kecerdasan kita tidak kalah dengan bangsa lain. Di jaman Majapahit, kita juga pernah menjadi bangsa yang disegani bangsa lain. Kita bangsa pemberani. Kita dulu kalah dengan Belanda bukan karena kita lemah. Tetapi karena kita lugu dan Belanda culas mengadudomba antar kita sendiri. Namun sifat sejati sebagai bangsa pemberani dan kuat telah kita buktikan berulang kali. Untung Surapati hanya seorang budak belian dari Bali, mampu membuat penjajah kocar-kacir karena didukung rakyat. Pangeran Diponegoro mampu membuat VOC dan Nederland nyaris bangkrut hanya karena didukung rakyat. Dan bukti yang terbaru adalah kemampuan kita merebut kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hari itu adalah sebuah bukti sejarah yang nyata bahwa kita pemberani dan cerdas. Keberanian kita dibuktikan dengan berbagai pertumpahan darah bambu runcing melawan senapan. Kecerdasan kita dibuktikan dengan berbagai upaya diplomatis internasional yang mengiringi pertumpahan darah di Tanah Air. Bahkan kita pernah menjadi pelopor gerakan non-blok dan pemimpin Asia Afrika. Dr.Ir. Soekarno, Dr. Mochammad Hatta dkk bukan sekedar pemimpin nasional, melainkan diakui sebagai pemimpin revolusi dunia.

Hari ini Bumi Pertiwi memang sedang duka dan lara. Karena ulah kita sendiri. Sebagian dari kita tidak jujur dan tidak patriotis. Sebagian dari kita korup, culas dan rakus. Bahkan sebagaian dari kita tega menggadaikan martabat bangsa demi perut pribadi dan keluarganya. Jika kita berhenti korupsi dan eker-ekeran berebut kesempatan berkuasa, saya yakin kita mampu membangun kembali bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri dari sisi ekonomi. Generasi anak-anak kita sudah banyak yang cerdas. Sayang sekali keterbatasan kapasitas dan mahalnya tiket masuk pendidikan, terutama pendidikan tinggi yang membatasi hanya mereka anak-anak orang mampu saja yang beruntung dapat mengenyam pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Padahal pendidikan merupakan modal utama untuk membangun bangsa.

Selain itu, harus mulai dikampanyekan untuk mempercayai kepakaran dan karya bangsa sendiri. Karena nampaknya hal ini masih jauh panggang dari api. Di kalangan intelektual pun masih dibelenggu oleh pola pikir western/foreign minded. Mungkin ini warisan dari sebagian ortu dan kakek/nenek yang mengalami hidup di masa kolonial. Sudah waktunya kita mempercayai bangsa kita sendiri. Sudah waktunya kita tidak memandang remeh pada hasil karya bangsa sendiri.

Catatan:

Mohon maaf jika ada kekeliruan dalam tulisan ini. Pasti karena kekurangan saya pribadi. Mungkin kecerdasan lahiriah saya belum seberapa. Tapi yang jelas, kecerdasan rohani saya masih nol besar 🙂

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
2 Comments
  • Anonymous
    Posted at 03:53h, 02 August Reply

    DUA Jempol KEATAS,…apalagi kalau benar2 fokus, bisa menjadi bbrp judul tulisan lho….
    MSA

  • Deru Sudibyo
    Posted at 20:38h, 27 September Reply

    Thanks MSA

Post A Comment