Rupa Mencerminkan Watak?

29 Sep 2011 Rupa Mencerminkan Watak?

Ada petuah nenek moyang yang perlu dikoreksi. Di Jawa dan mungkin daerah lain ada semacam keyakinan bahwa rupa mencerminkan watak. Orang yang ganteng atau cantik wataknya baik. Orang yang buruk rupa wataknya jelek. Saking melekatnya klaim ini maka sering rupa buruk untuk menggambarkan iblis dan rupa mempesona untuk menggambarkan orang yang berhati mulia. Betulkah demikian?

Entah paham semacam ini keseleo alias sesat atau menyesatkan diri. Yang jelas, kadang meskipun kita sudah tahu dia buruk rupa, jika ternyata hatinya mulia dipantaskan dengan gambaran yang baik. Bahkan ada orang ganteng atau cantik yang diperkosa untuk digambarkan buruk rupa bila dianggap wataknya jelek atau jahat.

Gatotkaca dipaksa ganteng

Gatotkaca (Ghatothkach) anak Bima dalam cerita Mahabharata asli (India) adalah seorang raksasa berkepala gundul seperti kuwali. Raksasa adalah bangsa jin sehingga bisa tiwikrama menjadi sebesar bukit. Dalam keyakinan orang India, raksasa bersifat buas dan bisa memangsa manusia jika terpaksa. Tentu Gatotkaca pun demikian. Tetapi karena Gatotkaca anak Bima, ksatria pinunjul dan di akhir hayatnya tewas membela Pandawa, maka Gatotkaca dianggap pahlawan pembela kebenaran.

Nah, sebagai pahlawan pembela kebenaran tidaklah pantas jika raksasa dan buruk rupa. Oleh karena itu Gatotkaca “diperkosa” menjadi manusia yang rupawan dan sangat mempesona. Dibuatkan lakon khusus dimana Gatotkaca meskipun dilahirkan sebagai raksasa, tetapi oleh para Dewa, wajahnya ditutup dengan topeng ganteng yang menyatu dengan kulit dan hidup, yang disebut “topeng waja”. Namun kelupaan tidak dibuatkan lakon untuk mengkonversi dari species raksasa menjadi manusia.

Guru Drona dipaksa buruk rupa

Guru Drona (Dronacharya) bernasib sebaliknya. Drona adalah seorang pendekar berpostur tinggi besar berwibawa yang amat sakti dan ahli perang, baik dalam strategi tempur maupun teknik kombat. Kehebatan murid Parashurama ini diakui dan disegani oleh kawan dan lawan. Nama Drona sangat terkenal di kalangan manusia maupun kadewatan. Bhisma pun, ksatria paling sakti di Hastinapura, menghormati Drona. Bahkan oleh Bhisma, resi Drona dimohon untuk menjadi guru bagi Pandawa maupun Korawa.

Sayang sekali di akhir kisahnya, sang guru Drona harus berpihak pada Korawa berperang melawan Pandawa, muridnya sendiri. Mungkin memang maunya pengarang (Viyas) sengaja dibuat demikian. Akibatnya, di Jawa, Drona dianggap jahat karena membela Korawa. Jasanya mendidik ilmu kemiliteran dan kesaktian Pandawa hingga tuntas dilupakan. Lantas Drona dalam pawayangan digambarkan sebagai manusia ringkih dan buruk rupa.

Arjuna dipaksa menjadi manusia paling ganteng

Arjuna adalah anak ke 3 dalam Pandawa bersaudara. Dalam epik Mahabharata, Arjuna merupakan tokoh paling utama Mahabharata. Dia mewarisi hampir seluruh ilmu guru Drona dan kakeknya Bhisma. Sehingga Arjuna menjadi andalan penentu kemenangan Pandawa dalam perang Bharatayuda. Lagi pula secara kerohanian Hindu, Arjuna adalah orang yang paling bertakwa kepada Khrisna, sang Mahadewa (Tuhan dalam Mahabharata). Karena Khrisna merupakan ujud kesatuan dari Brahma, Visnhu dan Shiva. Oleh karena itu Arjuna di Jawa dipaksakan menjadi orang yang paling ganteng di dunia. Padahal dalam Mahabharata versi India, Nakula lah yang paling ganteng. Bahkan Bhima lebih ganteng dari Arjuna.

Menak Jinggo dipaksa buruk rupa

Menak Jingga (baca: Menak Jinggo) adalah tokoh cerita rakyat yang berasal dari jaman Majapahit. Masa mudanya bernama Jaka Umbaran (baca: Joko Umbaran). Katika itu ada seorang pemberontak yang bernama Marcuet dan berhasil menguasai wilayah Grati (sekarang Banyuwangi) dan membunuh bupatinya yang bernama Bandar Sobali. Marcuet terus mbalelo mengibarkan bendera kemerdekaan tidak tunduk pada kedaulatan Majapahit. Tentara Majapahit pun dikerahkan untuk menggempurnya, tetapi Marcuet tak terkalahkan. Raja Majapahit ketika itu, Prabu Brotunjung, bingung. Lantas pasang sayembara: “Barang siapa bisa membunuh Marcuet akan dikawinkan dengan anaknya”.

Jaka Umbaran merasa terpanggil dan majulah ke medan laga. Jaka Umbaran memang seorang pendekar yang sangat mumpuni. Semua lapisan keamanan mulai dari perbatasan Grati hingga pengawal di istana dibabatnya ludes oleh Jaka Umbaran. Akhirnya Marcuet turun sendiri berhadapan langsung dengan Jaka Umbaran. Perang tanding satu lawan satu berlangsung berhari-hari karena keduanya sama-sama pendekar mumpuni. Namun akhirnya keberuntungan berpihak pada Jaka Umbaran, dan Marcuet tewas. Darah Marcuet menyembur ke tubuh Jaka Umbaran sehingga sekujur badan tampak merah. Sorak sorai rakyat pun gemuruh mengelu-elukan Jaka Umbaran dengan menyebutnya “Menak Jingga” yang artinya ksatria merah. Sisa pasukan Marcuet pun ikut mengelu-elukan Umbaran dan dengan sukarela bergabung mendukung Umbaran. Jaka Umbaran merasa senang disebut Menak Jingga dan berhubung lantai pendopo bersimah darah mblambang-mblambang, maka Jaka Umbaran mengganti nama Grati menjadi Blambangan.

Segera setelah datanglah utusan dari Majapahit untuk menobatkan Jaka Umbaran menjadi bupati Grati alias Blambangan dan mengukuhkan gelarnya Kangjeng Adipati Menak Jingga. Dalam hati Menak Jingga bertanya-tanya, kenapa tidak menyingung masalah dikawinkan dengan puteri raja. Namun pikiran tersebut ditepisnya sendiri, mungkin belum waktunya.

Seperti layaknya para bupati yang lain, Menak Jingga pun setiap tahun sowan menghadap raja pada hari pasowanan agung sambil membawa upeti (baca: pajak). Namun setiap kali sowan, sang raja tidak pernah menyebutkan perihal janjinya seperti dalam sayembara bahwa Menak Jingga (pemenang) akan dikawinkan dengan puteri raja. Menak Jingga harus bersabar.

Setelah beberapa tahun rupanya kesabaran Menak Jingga habis dan akhirnya memutuskan untuk tidak sowan lagi, alias tidak bayar upeti lagi. Tindakan ini rupanya tidak ditanggapi oleh pemerintah pusat Majapahit. Sepertinya Menak Jingga dibebaskan. Setelah beberapa tahun bebas, tiba-tiba datang utusan membawa titah raja bahwa Menak Jingga harus segera menghadap. Menak Jingga pun bergegas berangkat dari Blambangan menuju Mojokerto untuk menghadap raja.

Alangkah kagetnya, yang duduk di singgasana bukan lagi Prabu Brotunjung, tetapi seorang remaja puteri yang berparas cantik jelita bak bidadari mangejawantah. Ternyata Prabu Brotunjung telah meninggal dan tahta dilengserkan kepada anak satu-satunya yang bernama Sri Subasiti Kencanawungu. Maklum kala itu belum ada koran, TV, HP maupun radio, sehingga berita besar itu tidak sampai ke Blambangan.

Dalam pasowanan itu sang Patih Logender sambil agak marah menanyakan kepada Menak Jingga perihal absensinya yang merah terus beberapa tahun terakhir. Menak Jingga tidak menjawab malah menanya balik mengenai janji raja untuk mengawinkannya dengan puteri raja. Patih Logender marah besar dan memerintahkan pengawal untuk menangkap dan menghukum Menak Jingga. Menak Jingga beladiri dan lolos dari tangkapan pengawal. Namun karena dikejar terus, akhirnya para pengawalpun dibantai habis oleh Menak Jingga. Menak Jingga frustrasi dan bergegas pulang ke Blambangan.

Di Blambangan, Menak Jingga makin frustrasi. Akhirnya bertekad bulat untuk mbalelo melawan Majapahit. Katika itu wilayah kabupaten Blambangan mencakup hingga Jember, Bondowoso dan Probolinggo. Menak JIngga memindahkan istananya ke Probolinggo dan memproklamirkan diri sebagai kerajaan merdeka bernama Probolinggo dan dirinya sebagai raja dengan jejuluk Prabu Hurubhisma.

Nah … mulai di titik inilah Jaka Umbaran dianggap sebagai penjahat. Kebetulan baralias Menak Jingga, maka dalam ketoprak wajah Prabu Hurubhisma dicat merah dan dipoles sedemikian rupa seperti wajah anjing.

Harapan penulis

Kentalnya keyakinan bahwa rupa mencerminkan watak, sampai-sampai terjadi pemaksaan tokoh-tokoh menjadi ganteng atau buruk rupa disesuaikan dengan wataknya. Hemat saya ini adalah paham yang keliru. Barangkali ini menjadi pelajaran penting bagi rakyat Nusantara untuk menyudahi keyakinan sesat tersebut. Tidak selamanya ganteng itu sakti, pemberani dan mumpuni seperti Arjuna. Karena Arjuna pun gantengnya dipaksakan untuk menyesuaikan dengan kesaktian dan keberaniannya. Tidak selamanya pula buruk rupa itu jahat seperti Menak Jingga, karena kejahatan Menak Jingga hanyalah penilaian sepihak (penguasa) dan buruknya rupa juga hanya rekayasa. Sehingga di lain hari, dalam pergaulan maupun memilih tokoh, sebaiknya kita tidak terkecoh dengan rupa seseorang.

Topik-topik terkait pewayangan

  1. Ajaran KeTuhanan dalam Lakon BIMA SUCI
  2. Wayang tidak Sepenuhnya Teladan
  3. Yudhistira bukan Pemimpin Baik
  4. Pemerintah Kera untuk Negeri Kere
  5. Bagaspati – Gambaran Kasih Sayang Seorang Ayah
  6. Raja Gemar Mengeluh, Raja Demen Curhat
wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
No Comments

Post A Comment