Yudhistira bukan Pemimpin Baik

18 Oct 2011 Yudhistira bukan Pemimpin Baik

Bagi pesuka epik Mahabharata, pasti kenal tokoh Yudhistira. Dia adalah yang tertua dalam Pandhawa bersaudara. Baik dalam epik Mahabharata versi India maupun versi Jawa, Yudhistira digambarkan sebagai suri tauladan yang paling utama. Yudhistira merupakan lambang keikhlasan, ketulusan dan kesantunan. Apa saja yang dimilikinya, jika diminta akan diberikan dengan tulus dan penuh kesantunan. Jangankan harta benda, isteri atau tahta, nyawapun akan diberikan dengan tulus dan santun jika ada yang memintanya. Demikian yang digambarkan ki dalang setiap kali menampilkan tokoh Yudhistira. Dia juga bernama Samiaji, yang artinya persamaan harga. Memang Yudhistira kepada siapa saja menghargai tanpa membedakan trah, derajat dan pangkat. Brahmana, raja dan ksatria dia hormati. Wesia, sudra dan kere pun dia hormati pula. Keluarga dan sanak saudara dia sayangi. Orang lain juga dia sayangi. Bahkan musuh pun dia sayangi. Namun kata dalang konon dia nggak punya musuh. Mungkin dalang yang bombastis karena nyatanya Korawa adalah musuh bebuyutannya.

Yudhistira juga pantang bohong. Sekecil apapun kebohongan, pantang baginya untuk melakukannya. Semua yang dia alami, dia lihat maupun dia dengar, akan dia sampaikan persis apa adanya manakala ada yang mempertanyakan, apapun resikonya.

Mengalah tapi egois?

Hari gini sudah bukan waktunya untuk menelan mentah apa yang diungkapkan oleh para pakar. Meskipun sudah berabad-abad Yudhistira menjadi simbol suri tauladan, terutama dalam filsafat Jawa, ada baiknya kita kupas secara logika agar kita mendapatkan nilai baiknya saja. Kita mencoba telusuri jejak Yudhistira sejak usia muda hingga akhir hayatnya sesuai yang diuraikan dalam Mahabharata.

Sejak anak-anak memang Yudhistira paling menonjol dalam soal mengalah. Namun Yudhistira juga tidak memiliki keinginan yang aneh-aneh, sehingga tidak terlalu perlu mengalah. Misalnya, ketika sedang jalan-jalan bersama adik-adiknya di taman Hastinapura, melihat ada buah mangga ranum yang menggiurkan. Yudhistira tidak pernah tergiur, sehingga tidak dipetiknya mangga tersebut. Sayangnya dalam keluarga Pandhawa ada semacam ajaran bahwa adik-adik Yudhistira tidak boleh melakukan apapun tanpa seijin Yudhistira. Sehingga meskipun Bima dan Arjuna sebenarnya ngiler melihat mangga yang mlodong tersebut, tidak bisa serta merta melompat untuk memetiknya. Harus minta ijin Yudhistira dulu. Yudhistira pun selalu menimbang njlimet dulu sebelum mengijinkan. Dia hitung dulu mangga tersebut mengingat yang berhak atas mangga tersebut selain Pandhawa juga Korawa. Karena Pandhawa 5 anak dan Korawa 100 anak, maka masing-masing anak harus mendapat 1/105 dari jumlah buah yang ada.

Sementara Yudhistira belum selesai menghitung, dari jauh Korawa yang juga melihat mangga tersebut.segera berlarian menuju pohon tanpa ba bi bu langsung memanjatnya rame-rame. Bima dan Arjuna pun menyusul ikutan memanjat setelah diijinkan Yudhistira. Baru saja Bima merangkul batang pohon, belum sempat memanjatnya, Duryudana dan Dussasana (Korawa) melemparkan kulit dan biji mangga yang sudah disedot dagingnya ke muka Bima sambil teriak melarang Bima dan Arjuna memanjat. Sang pemarah Bima langsung geram merah padam menunjukkan rasa tidak terimanya. Maklum namanya juga anak-anak. Tetapi Yudhistira langsung tanggap lalu memanggil Bima untuk diajak menyingkir.

Nah, disinilah letak egois sang suri tauladan. Gara-gara dia suka mengalah, dia juga menganggap adik-adiknya sama dengan dirinya, harus mengalah. Dari usia, Yudhistira tertua di antara Pandhawa dan Korawa, sudah sepantasnya mengalah. Tapi Bima dan Arjuna lebih muda dari Korawa, sehingga adilnya Korawa yang mengalah. Korawa lahir jauh setelah Yudhistira sebelum Bima. Usia Korawa rata sama karena konon 100 anak lahir bareng brol seperti anak tikus.

Bima yang sebenarnya cerdik dan sedikit nakal, tidak mau mengalah. Tapi dia juga tidak mau dikatakan tidak menghormati kakaknya. Maka Bima pun menyingkir, tetapi sambil melangkah dikibaskannya kakinya ke pohon mangga tersebut, sehingga Korawa berjatuhan bersama buah mangganya. Maklum, Bima konon sebenarnya putra Batara Bayu, sehingga meskipun masih kecil sudah memiliki tenaga yang luar biasa, 80 kali kekuatan gajah.

Sesaji Rajasuya, nyaris jadi korban

Semakin dewasa, kecemburuan Korawa semakin menjadi-jadi. Bersama Sakuni mereka mencari akal bagaimana caranya melenyapkan Pandhawa agar tahta Hastinapura jatuh ke tangan mereka kelak setelah ayahnya, Dristarastra lengser. Akhirnya dalam acara sukan Bale Sigala-gala di Waranawata, rekayasa Sakuni sepertinya berhasil. Pandhawa lenyap dibumihangus bersama bangunan sukan. Karena Pandhawa lenyap bertahun-tahun, maka pada acara penetapan putera mahkota, Dristarastra menetapkan Duryudana, anaknya sendiri sebagai calon pengganti raja. Bhisma sang pelindung negara dan Drona sang guru kemiliteran tidak setuju keputusan tersebut, tapi tidak bisa berbuat banyak karena kenyataannya Pandhawa tidak ada.

Namun sebenarnya Pandhawa menyelinap melalui terowongan dan pergi mengembara tidak pulang ke istana (keraton) Hastinapura hingga bertahun-tahun. Akhirnya Pandhawa berhasil membangun sebuah negara baru dari hutan Amarta dan diberinama kerajaan Indraprastha yang istananya cukup jauh dari istana Hastinapura.

Suatu hari datang laporan dari badan intelijen Indraprastha mengatakan ada ancaman besar dari negeri Magada. Negeri itu begitu tahta jatuh ke tangan Jarasanda, program utamanya langsung expansi. Tetangga demi tetangga ditaklukkannya dengan cara menculik menyandra rajanya. Selama rajanya tersandra, seluruh kekuatan militer negeri itu menjadi kekuatan Magada. Maklum, jaman itu umumnya kedaulatan negara adalah milik keluarga alias nepotisme. Jadi semua pejabat dan pimpinan militer adalah saudara sang raja. Maka dari itu ketika raja disandera, mereka sanggup melakukan apapun asal raja jangan dibunuh. Sehingga makin banyak raja diculik dan disandera, makin kuat militer Magada dan makin ganas expansinya.

Bima dan Arjuna sangat prihatin menanggapi peringatan intelijennya. Mereka berdua mengusulkan untuk segera menumpas habis Magada mumpung belum terlalu kuat. Tetapi Yudhistira bersikukuh pada prinsipnya, tidak akan menyerang siapapun, tidak akan menyakiti siapapun. Sementara makin hari makin banyak raja diculik Jarasanda. Bima dan Arjuna makin kuatir karena kekuatan militer Magada makin hari makin meningkat. “Kakak prabu, aku bersikeras untuk menggempur Magada”, kata Bima. Yudhistira menjawab: “Adikku Bima, jangan menyakiti orang lain”. Arjuna nyahut: “Tapi mereka menyiksa banyak raja kakak prabu… saya dan kakak Bima harus segera menghentikannya”. Yudhistira menjawab: “Jangan adikku, itu bukan urusan kita. Kalo toh Jarasanda kesini, saya relakan mengambil apa saja yang dia mau, termasuk diri saya”. Bima kesel: “Kakak prabu, kalo kamu menyerah, kami semua tersiksa. Anak-isteri kami juga tersiksa menjadi budak Jarasanda.”. Yudhistira: “Bima, jadi ksatria harus tahan siksaan, karena dari sanalah kamu akan memahami hakikat kehidupan”. Bima: “Kalo kita mampu menghentikan seseorang menyiksa orang lain, tapi tidak kita lakukan, maka sama saja kita menyetujui penyiksaan”. Yudhistira: “Itu kan menurut pendapatmu, padune orang takut sakit, takut sengsara, inginnya senengnya saja”. Akhirnya Bima dan Arjuna meninggalkan kakaknya dengan langkah lesu. Hatinya jengkel tapi terkekang kode etik tidak boleh melawan saudara tua apalagi berkedudukan sebagai raja.

Sementara kekuatan Jarasanda semakin berkembang. Kini sudah berhasil menyandera 97 raja. Sehingga kekuatan militer gabungan Magada dan 97 negara sudah tidak mungkin terkalahkan oleh negara manapun saat itu. Yang sedang diinceer hari ini adalah kerajaan Mathura, Hastinapura dan Indraprastha agar genap 100 sebagai syarat untuk menggelar upaca sesaji rajasuya menobatkan Jarasanda menjadi rajanya 100 raja, atau raja diraja, atau maharaja. Bisa dipastikan dalam beberapa hari 3 kerajaan tersebut pasti takluk oleh Magada.

Suatu hari Krishna datang tergopoh-gopoh ke Indraprastha menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk menghentikan Jarasada raja Magada. Yudhistira tetap menyoal dengan alasan tidak akan menyakiti siapapun. Namun kali ini Bima dan Arjuna sudah tidak sanggup lagi untuk memenuhi kode etik. Bima berkata lantang kepada Yudhistira: “Kakakku, kamu tinggal merem saja di situ. Dari dulu apapun adalah aku dan Arjuna yang berbuat dan bertanggungjawab. Kamu hanya tahu hasil akhir. Termasuk membangun Indraprastha inipun aku dan Arjuna. Tidak ada setetes pun keringatmu. Kami berdua mendudukanmu di singgasana, tapi rupanya kamu tidak tahu artinya. Maka ijinkanlah aku menentangmu hari ini. Bila ada dosaku, hukumlah aku sepulang dari Magada, jika aku dan Arjuna berjaya.”. Yudhistira diam.

Di luar istana, Bima, Arjuna dan Krishna berunding. Menurut Krishna tidak mungkin lagi ditempuh melalui perang. Militer Magada sudah terlalu kuiat. Satu-satunya cara adalah menyelinap masuk istana dan membunuh Jarasanda. Kebetulan Jarasanda meskipun jahat tapi sangat menghormati brahmana. Maka Bima, Arjuna dan Krishna menyamar sebagai brahmana. Mereka pun diterima Jarasanda masuk dalam istana. Brahmana samaran itupun segera buka kedok. Mereka ksatria pinunjul tidak mungkin membokong membunuh Jarasanda dari belakang. Maka ditantanglah Jarasanda untuk memilih satu dari 3 ksatria itu. Dipilihnya Bima yang posturnya imbang dengan Jarasanda. Akhirnya duel maut pun terjadi. Bima yang masa kanak-kanaknya saja kekuatannya sudah 80 kali gajah, sebenarnya bukan lawannya bagi Jarasanda. Maka dalam sekejap Jarasanda sudah dirobek menjadi 2 bagian dari kepala hingga selangkangan.

Akhirnya Jarasanda tewas mengenaskan. Tawanan 97 raja pun dibebaskan. Saking senengnya, 97 raja tersebut dengan sukarela menyerahkan diri kepada Bima sebagai taklukan atau jajahannya. Magada otomatis juga menjadi jajahan Bima. Jadi seluruhnya Bima membawa pulang 98 bendera jajahan. Sebenarnya Bima juga sudah punya 2 bendera jajahan lainnya, yaitu bendera Pringgondani yang diperolehnya setelah mengalahkan Prabu Hidimba dan bendera Ekacakra yang diperolehnya setelah mengalahkan Prabu Baka. Jadi keseluruhan Bima sudah mengantongi 100 bendera jajahan. Sesampainya di Indraprastha, Krishna lantas menggelar upacara sesaji rajasuya untuk menobatkan Yudhistira sebagai raja diraja sesuai dengan koleksi Bima yang sudah mencapai 100 negara jajahan.

Jika kita renungi, apa yang terjadi kira-kira jika Bima tidak menentang sang suri tauladan? Lantas pantaskah sikap Yudhistira dijadikan suri tauladan para ksatria?

Sukan dadu, akhir yang tragis

Dalam rangka menyenangkan orang lain, nyawapun diserahkannya jika diminta, apalagi sekedar main dadu. Demikian prisnsip Yudistira sang suri tauladan. Rupanya gara-gara upacara Rajasuya yang heboh itu, Hastinapura pun akhirnya tahu bahwa Pandhawa masih hidup, bahkan berjaya memiliki negara Indraprastha dengan 100 negara jajahan. Duryudana dan para ksatria Hastinapura memang diundang untuk ikut menyaksikan.

Namun rupanya Duryudana ngiri karena istana Indraprastha lebih megah dari istana Hastinapura. Apa lagi sempat diledek Draupadi isteri Pandhawa gara-gara kecemplung kolam yang dikiranya taman bunga. Sepulangnya dari Indraprastha, Duryudana berembug dengan Sakuni untuk mencari cara bagaimana merebut Indraprastha. Sakuni yang pakar sukan dadu mengusulkan untuk ditantang sukan dadu dengan alasan sebagai syukuran saking senangnya Pandhawa ternyata selamat dari kebakaran di Waranawata. Undangan sukan dadu pun dikirimkan ke Indraprastha.

Di Indraprastha, Bima dan Arjuna tidak setuju memenuhi undangan sukan dadu. Tapi Yudhistira ngotot dengan alasan membuat mereka senang adalah sebuah kenikmatan. Seperti biasa, Bima dan Arjuna pun ngalah. Pergilah kelima Pandhawa beserta isterinya, Draupadi ke Hastinapura untuk memenuhi undangan sukan dadu. Sukan pun segera dimulai disaksikan oleh para pinisepuh, Bhisma, Drona dan Dristrarastra. Korawa diwakili Sakuni dan Pandhawa diwakili Yudhistira.

Mula-mula tarohannya sekedar iseng, paling-paling cincin, gelang, kalung. Karena Sakuni main.wajar-wajar saja, kemenangan jatuh ke tangan Yudhistira. Duryudana dikode supaya pura-pura sewot. Sambil berteriak marah (pura-pura) Duryudana langsung pasang tarohan negara Hastinapura dan meminta agar Yudhistira juga pasang Indraprastha sebagai tarohan. Para sesepuh terperanjat dan sambil terbata-bata mengingatkan Duryudana agar mengurungkan niatnya tarohan negara. Duryudana bersikukuh dengan dalih ingin menyaksikan kehebatan 2 pemain ulung sambil mengatakan jika kalah dia akan ikhlaskan, karena toh jadi milik saudara yang dicintainya. . .

Sang suri tauladan Yudhistira memaklumkan niat Duryudana sebagai saudara yang sedang manja. Bima dan Arjuna yang sudah mulai gerah dan mencium gelagat tidak beres lantas berbisik ke Yudhistira untuk menyudahi permainan dan mengembalikan semua yang telah dimenangkannya. “Kak, yuk kita pulang saja. Berikan semua perhiasan yang sudah kamu menangkan. Gelagatnya nggak beres nih”. Yudhistira menjawab: “Kamu ini senengnya curiga saja.. Indraprastha kita peroleh dengan mudah. Sudah sepantasnya kita ikhlaskan jika itu bukan milik kita. Kamu takut kehilangan ya?”. Arjuna menyela: “Kak, mendapatkan Indraprastha dan 100 jajahannya tidak mudah. Tarohannya nyawa kak Bima dan saya. Kakak tidak tahu jadi tidak merasakan”. Yudhistira tidak menjawab Arjuna, tapi langsung menyatakan bahwa tarohannya adalah Indraprastha dan 100 jajahannya. Bima dan Arjuna langsung syok.

Dadu pun segera digelindingkan oleh Sakuni.. dan… byar… Korawa menang. Duryudana bersorak kegirangan sambil teriak…”Hei Pandhawa.. kamu sudah kembali jadi sudra kere.. tidak punya tempat. Hayo apa lagi yang mau kamu pasangkan?”. Bima berdiri mau menendang Duryudana, tapi keburu dicegah Yudhistira. Sakuni berteriak: “Aku pasangkan Hastinapura dan Indraprastha beserta 100 jajahannya. hayo Yudhistira, kamu mau pasang apa? Jangan lari .. saya masih menikmati nih”. Bima dan Arjuna bersikeras untuk meninggalkan tempat. Tapi dasar sang suri tauladan… untuk menyenangkan hati orang, nyawa pun diberikan jika dimintanya. Maka Yudhistira menjawab: “Saya sudah tidak punya apa-apa. Namun demi menyenangkan kamu, saya pasangkan badan saya berlima ditambah Draupadi”. Sebenarnya tahap final ini dilakukan dua putaran. Pertama yang dipertarohkan Draupadi, dan yang terakhir kelima Pandhawa. Namun untuk menyingkat cerita saya tulis menjadi satu 🙂

Begitu ucapan Yudhistira selesai, dadu langsung menggelinding dan byaaar.. Korawa menang lagi. Bima dan Arjuna bak kesambar petir. Duryudana berteriak kegirangan sambil berkata: “Hei Pandhawa… kalian sudah menjadi budakku. Harga kalian setara hewan piaraanku. Hei Dussasana, panggil Draupadi, kita telanjangi rame-rame disini…he he he”. Dussasana masuk ke taman dan Draupadi diseret keluar untuk ditelanjangi. Bima dan Arjuna dipegang erat-erat oleh Yudhistira agar tidak mengamuk sambil menyadarkan bahwa secara hukum salah karena memang permainannya kalah.

Para sesepuh sudah tidak tahan lagi melihat pesta sukan berubah menjadi tontonan biadab, akhirnya Bhisma dan Drona menyampaikan maklumat bahwa status Pandhawa dan draupadi harus dibebaskan dan Indraprastha dikembalikan meskipun jajahannya menjadi milik Duryudana. Korawa ngotot. Debat kusir antara Korawa dan sesepuh pun berlangsung seru. Akhirnya tercapai kesepakatan bahwa Pandhawa dan Draupadi dibebaskan dan Indraprastha beserta 100 jajahannya dikembalikan tetapi dengan syarat Pandhawa dan Draupadi harus mengungsi ke hutan 13 tahun dan tahun yang ke 13 harus bersembunyi. Jika pada tahun ke 13 Korawa berhasil menemukan persembunyian Pandhawa, maka Pandhawa harus mengungsi 13 tahun lagi dengan cara yang sama. Sebaliknya, jika persembunyian di tahun ke 13 berhasil, maka Pandhawa boleh kembali ke Indraprastha dan berhak atas tahta Indraprastha beserta seluruh jajahannya.

Baru beberapa hari menduduki singgasana Indraprastha, sudah harus kembali menjadi kere di hutan. Kelak di tahun ke 13 memang Pandhawa lolos dari pencarian. Tetapi Duryudana tidak memenuhi janjinya dan perangpun tak terelakkan. Perang besar Bharatayudha berlangsung 18 hari. Dalam perang besar ini, Arjuna lebih berperan karena keberhasilannya mengalahkan pasukan Bhisma yang amat sakti. Nanum peran utama dipegang oleh Ghatotkaca anak Bima. Karena berujud raksasa yang sangat besar, tewasnya pun membawa maut separoh lebih pasukan tentara Korawa ketimpa robohnya sang raksasa pencakar langit.

Akhirnya seluruh Korawa (99 bersaudara) tewas oleh Bima. Hanya tersisa satu, Dursila, karena perempuan dan tidak ikut perang. Tetapi suaminya, Jayadrata, raja Sindhu, tewas terpenggal kepalanya oleh panah Arjuna. Khususnya Dussasana dan Duryudana parah dibantai oleh Bima sesuai sumpahnya. Hastinapura, Indraprastha dan semua jajahannya hancur lebur. Anak-anak Pandhawa juga tumpas. Yang tersisa hanya Pandhawa berlima, Draupadi dan cucu Arjuna yang masih bayi bernama Parikesit. .

Inilah akhir yang tragis bagi perjalanan Pandhawa. Perjuangan keras sepanjang hidupnya ludes di meja sukan dadu. Tragisnya, belum sempat mengenyam nikmatnya hasil perjuangan, harus kembali sengsara 13 tahun menjadi orang buangan, dan diakhiri dengan perang. Meskipun Korawa ludes, tapi tidak ada lagi yang tersisa untuk dimenangkan selain kepedihan dan kepiluan. Siapa yang salah? Menurut saya Yudhistira lah biang malapetaka itu. Saking santunnya, saking ngalahnya, tanpa disadari dia telah mengorbankan adik-adiknya, isterinya, keluarganya, anak-anaknya, para pendukungnya, rakyatnya dan negaranya dengan sangat keji. Tidak benar jika Yudhistira dikatakan sebagai pemimpin yang baik. Dia bukan pemimpin!!!

Topik-topik terkait pewayangan

  1. Ajaran KeTuhanan dalam Lakon BIMA SUCI
  2. Wayang tidak Sepenuhnya Teladan
  3. Rupa Mencerminkan Watak
  4. Pemerintah Kera untuk Negeri Kere
  5. Bagaspati – Gambaran Kasih Sayang Seorang Ayah
  6. Raja Gemar Mengeluh, Raja Demen Curhat
mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
9 Comments
  • Dhyana Wonnie
    Posted at 03:57h, 17 May Reply

    Menurut saya itu tidak benar, mungkin anda salah membaca buku tentang Yudhistira.

  • Deru Sudibyo
    Posted at 04:36h, 17 May Reply

    Gampang. Sekarang kan ada tayangan serial Mahabharata di ANTV tiap malam jam 20:45-21:00. Ikuti terus aja 🙂

  • Rahardyan Al 'Aziz
    Posted at 23:32h, 25 May Reply

    Benar broo..
    Tapi mahabarata itu mengajarkan lebih jauh dari yang masbro katakan. Yaitu tentang kuasa “takdir”.
    “Kalo ndak dicegah dulu, kan ndak sampai 100 bendera.”
    “Kalo ndak begini, nanti ndak jadi begitu.” itulah pelajaran sebenarnya.

  • Deru Sudibyo
    Posted at 05:28h, 26 May Reply

    Iya… juga.. kalo tidak ikut sukan dadu, kurawa tidak tumpas. Apalagi kalo ditelusur lebih jauh, andaikan Bhisma tidak pernah lahir, raja Santanu tetap didampingi Dewi Gangga. Penggantinya adalah anak ke-9 Gangga, keturunan sah Santanu. Barangkali tidak pernah ada prahara Kuruksetra. Oleh karena itu Dewi Gangga sedianya menenggelamkan setiap bayi yang dilahirkannya sejak anak pertama hingga anak ke-8 (Bhisma) yang sebenarnya para wasu yang sedang dihukum oleh Mahadewa. Namun giliran Bhisma, keburu dicegah Santanu, sehingga hukumannya berdampak pada kehidupan rakyat dan pemerintahan Hastinapura.

    Nah.. itu semua namanya tafsir. Sah-sah saja kita mentafsir apa maksud pengarang menyusun cerita tsb. Toh di pengarang sudah tidak ada, tidak mungkin ada konfirmasi kebenaran tafsir kita.

    Yang saya maksudkan Yudhistira bukan pemimpin, bukan tafsir, melainkan menelusur sikap dan kebijakannya sebagai pemimpin. Andaikan hari ini ada pemimpin seperti Yudhistira, yang mengorbankan keluarga dan para menterinya demi menyenangkan negara lain, bahkan mengorbankan negaranya untuk tarohan judi, pasti dikecam bahkan dikudeta oleh rakyatnya.

  • Ade Leny Darta
    Posted at 07:02h, 22 August Reply

    Tapi tetap menurit saya Abang Yudhistira yang paling bijak… 😉

  • Deru Sudibyo
    Posted at 14:27h, 22 August Reply

    Bijak sebagai individu tidak selalu baik untuk seorang pemimpin. Makanya dalam kisah Mahabharata, meski dejure Yudhistira sempat menjadi raja setelah memenangkan perang besar Kuruksetra, tetapi defacto tidak pernah. Karena ga lama setelah dinobatkan, langsung digantikan dengan Parikhsit, cucu Arjuna yg masih kecil.

  • iman nur
    Posted at 04:59h, 23 December Reply

    Saya sependapat dengan penulis.. Karena pemimpin sejati tidak cukup hanya Bermodalkan kepribadian baik. Tp juga harus cerdik dan cerdas.. Korawa adalah contoh kecerdikan pemimpin tanpa diimbangi akhlak yg baik sehingga berbuah ketamakan.. Tp apakah diceritakan seorang duryudana seorang raja yg lalim??? Intinya kebaikan budi pekerti pandawa harus berimbang dengam kecerdikan yg dimiliki kurawa, maka pantaslah ia sebagai raja.. Satu hal lagi yg tdk boleh dilupakan yaitu sosok karna yg berada diantara korawa maupun pandawa sekaligus yg tertua diantara mereka. Jika bukam karena dosa ibunya, mungkin dia yg berhak menjadi raja hastinapura.

  • Cliwonds
    Posted at 12:24h, 21 August Reply

    Tetap Bima adalah yg utama dan dalang nya Sri Krisna

  • pak dhe
    Posted at 16:37h, 26 August Reply

    pandawa bertaruh itu 2 kali mas bro

    1. yang pertama ada 20 kali taruhan, dan yang ke 21 adalah drupadi

    lalu dikembalikan

    penelanjangan draupadi adalah karena status dia dan ke 5 pandawa adalah budak, dan budak tidak boleh pakai baju atasan

    draupadi mempertanyakan ke hadirin sekalian, apa yudistira mempertaruhkan dirinya sebelum atau sesudah dia jadi budak?
    bolehkan seorang budak mempertaruhkan seseorang yang sudah tidak dia miliki?

    2. yang kedua adalah yang kalah 12 tahun tinggal dihutan, di tahun ke 13 kalau ketahuan harus ulangi 12 tahun

    lalu yudistira memang tukang main dadu

    tercatat dia bermain dengan draupadi
    dengan duryudhana, 2 kali
    dan dengan raja wirata di penyamaran 1 tahun terakhir

Post A Reply to iman nur Cancel Reply