Riwayat NSI

17 Jan 2011 Riwayat NSI

Semula Nusantara Software Industry (NSI) hanyalah sebuah wacana. Diawali saat saya mulai menyukai programming semasa kuliah di Dept Statistika Komputasi IPB dekade 80an. Awalnya seneng main akal-akalan bikin program statistika, baik dengan Fortran, Basic maupun Pascal. Anehnya, meskipun fungsi-fungsi matematika sudah disediakan dalam compiler tersebut, saya malah tertarik untuk bikin sendiri. Tujuannya sih sangat sederhana, bagaimana caranya agar bisa lepas dari ketergantungan dengan bahasa komputer. Karena tidak setiap bahasa menyediakan fungsi-fungsi matematika dan statistika lengkap. Cobol misalnya, saat itu sama sekali tidak menyediakan fungsi apapun selain tambah, kurang, kali dan bagi. Basic dan Fortran meskipun menyediakan fungsi-fungsi tersebut, kelengkapannya juga tidak sama untuk tiap-tiap platform yang berbeda. Dari sana saya rajin menelusuri berbagai algoritma yang berkaitan dengan metoda numerik untuk membuat fungsi sendiri yang hanya berbahan baku aritmetik sederhana dan iterasi. “Ndilalah” sering berhasil, a.l fungsi membalik matrix yang digunakan untuk analisis regresi multivariate dan hampir seluruh fungsi-fungsi berbasis skalar. Dari sana muncul khayalan untuk lebih menekuni programming untuk bekal kelak setelah lulus bisa membangun sebuah industri software.

Yang aneh, dulu saya bukan termasuk mahasiswa yang rajin dan tekun. Jangan dibayangkan saya ini mahasiswa berkacamata yang kemana-mana bawa buku dan ucapan-ucapannya serba ilmiah. Jauuuh banget deh. Dulu saya mahasiswa berkalung taring dan bergelang akar bahar. Bahkan pergaulan saya lebih banyak dengan preman ketimbang sesama mahasiswa. Bukan saya yang mendekati mereka, tapi merekalah yang sok akrab pada saya. Waktu saya sebagian besar untuk olahraga kempo dan jarang masuk kuliah. Namun anehnya khusus untuk pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan komputasi dan numerik, saya lumayan nyangkut.

Selepas kuliah, di pekerjaan, ketemu dengan berbagai kasus yang berkaitan dengan database. Padahal platform ketika itu PC XT dengan OS Microsoft DOS yang belum ada dukungan database dari vendor manapun. Entah kenapa menjadi tertarik berkutet bikin database engine sendiri dengan bahasa Basic. Padahal dari kampus hanya dimodali struktur data. Untuk indexing, saya kawinkan relative record number dengan field yang ditunjuk sebagai key dan dikumpulkan dalam file (kecil) terpisah yang ditandai dengan filetype .IDX. Belum sempurna banget sih dan belum diberi nama, tapi sudah bisa dipakai. Sayangnya 2 tahun kemudian muncul produk database engine bernama dBASE II yang lebih siap pakai. Anehnya, ternyata dBASE-II juga menggunakan numenklatur filetype yang sama dengan database saya, yaitu DAT dan IDX. Meskipun database tanpa nama itu akhirnya digusur oleh dBASE-II, namun kejadian itu setidaknya membuktikan bahwa pikiran yang masih fresh graduate ketika itu sejalan dengan dunia industri software. Hal tersebut semakin menguatkan inspirasi saya untuk membangun industri software.

Dua tahun kemudian pindah kerja ke Bank BRI yang ketika itu menggunakan supermini IBM 4361 dengan OS VM/SP dan DOS/VSE. Arsitektur supermini ini sangat mirip dengan arsitektur mainframe S/370. Bedanya, tidak dilengkapi dengan teknologi multiple virtual storage, sehingga tidak bisa dioperasikan dengan OS MVS. Di BRI, tugas saya tidak lagi di bagian aplikasi seperti di tempat-tempat sebelumnya, melainkan di bagian operasi sebagai support engineer. Di bagian ini ternyata saya merasa lebih menyukai, terutama karena ada VM/SP, sebuah OS yang mem-virtualisasi mesin. Karena pegangan saya OS dan hardware, maka langsung saja cari buku-buku panduannya yang berkaitan dengan arsitektur dan assembler, dan mulailah menggeber ngaji siang malam untuk segera menguasainya. Waktu itu operasi IT BRI belum 24 jam. Tetapi saya sering begadang sampai pagi hanya untuk mempraktekkan apa yang saya pelajari. Berkat masih muda, kondisi masih sangat prima dan masih aktif olahraga, dalam 2 bulan hampir seluruh isi buku arsitektur yang ukurannya mirip batako sudah saya praktekkan. Tentu dengan assembly yang baru saya pelajari juga. Semakin optimis rasanya untuk membangun industri software. Bahkan sudah mulai terfokus ke arah system-level software yang terasa lebih menarik.

Selanjutnya, saya menemukan apa yang dibutuhkan saat itu untuk meningkatkan efisiensi operasi, yaitu otomasi. Saat itu masih belum terdengar ada produk otomasi. Tahun pertama di BRI, saya sudah wujudkan 2 produk, yaitu SPICO untuk otomasi dan DRX MathPac, sebuah add-on untuk Rexx agar mampu menggarap fungsi-fungsi matematika. SPICO mengubah total wajah sistem BRI ketika itu yang cukup bikin kaget kalangan manajemen karena pembuatannya dilakukan dengan diam-diam dan tanpa diawali oleh perintah siapapun. Sedangkan DRX MathPac tidak ada yang tahu. Semua tahunya Rexx memang memiliki fungsi-fungsi matematika. Sekali lagi apa yang saya pikirkan sebelumnya ternyata muncul juga, yaitu Rexx, sebuah bahasa terstruktur yang cukup canggih ketika itu tetapi tidak memiliki fungsi-fungsi matematika. DRX MathPac bersifat plug-and-play, karena di dalamnya adalah sebuah event handler yang saya bikin khusus untuk merespon manakala exekusi program Rexx mengalami error dalam pemanggilan fungsi. Residensinya di kernel (nucleus) melalui soft hook, terpisah dari Rexx processor.

Selanjutnya saya berpindah lagi ke Metrodata dan kemudian SDD. Selalu saja ada kesempatan untuk membuat produk OS-level meskipun semuanya tidak menjadi milik pribadi. Lebih jauh dapat disimak dalam catatan perjalanan saya ini. Ada beberapa sourcecodes yang masih tersimpan lantas saya kontribusikan dalam situs Nusantara Freeware maupun di CBT Tape file #535, #536 dan #770.

Bimbang di Persimpangan Jalan

Sepanjang perjalanan hingga tahun 2002 ada saja tantangan untuk membangun OS-level software, baik resmi sebagai layanan profesional maupun sekedar iseng. Namun semua itu bukan milik pribadi selain yang saya kontribusikan di Nusantara Freeware maupun di CBT Tape. Dan itupun tidak saya komersilkan, melainkan dibagi gratis kepada siapa saja yang membutuhkan.

Sementara, keinginan untuk membangun industri software semakin menggebu bahkan sudah ada rasa kekhawatiran gagasan ini telantar mengingat usia katika itu (2003) sudah melangkahi kepala empat. Di sisi lain, juga sangat menyadari bahwa mandiri apa lagi membangun software butuh waktu yang cukup panjang dan selama itu tentu nggak bisa nyambi ngompreng agar dapur tetep ngebul. Rupanya kerja sebagai TKI pun (1997-2002) tetap saja merasa tidak memiliki “beras cadangan” yang cukup untuk segera mandiri. Terus menerus berada di persimpangan antara tetap menjadi TKI kerja dengan CA Singapura, atau mandiri dan membangun software.

Pada bulan Juni 2002, lagi sibuk-sibuknya nggarap proyek CA di Malaysia, mendadak dapat pemberitahuan bahwa status kontrak saya per 1 Juli 2002 dialihkan dari CA Singapura ke CA Indonesia yang baru diresmikan beberapa bulan. Pekerjaannya pun berubah, semua engineer menjadi tenaga bantuan di sales team. Cukup kaget karena ujug-ujug banget. Setelah nanya kanan kiri baru lah saya tahu bahwa CA Asia Tenggara sedang mengalami krisis. Tidak ada new deal selama 2 tahun. Semua regional team dikandangin ke kampung masing-masing dan harus membantu sales team tanpa kecuali.

Menyamar di Pelosok

Semua terima keputusan itu meskipun ndongkol. Tapi saya tidak. Pindah kemana saja oke. Tapi merubah status profesi pantang bagi saya. Lagi pula saya merasa tidak memiliki bakat menjual. Saya menjadi sadar lagi … inilah akibatnya kalo pikiran penuh keraguan. Krisis berarti sakit, dan bisa saja sembuh, tapi bisa juga bablas mati. Akhirnya tibalah saatnya menentukan sikap.. Pada bulan Agustus 2002 saya menyatakan putus. Memang sempat godot, tapi akhirnya putus beneran Januari 2003.

Sejak itu saya kembali pada mimpi industri software. Kali ini bukan mimpi lagi, sehingga harus serius mempersiapkan segala sesuatunya. Untuk urusan keseharian, saya beli angkot yang beroperasi di Bogor dan membangun kilang penyulingan minyak nilam di Pemalang. Soal angkot sangat sederhana, diurus isteri seminggu langsung bisa meluncur di jalanan. Saya fokus mengurus persiapan kilang, mulai dari mencari lokasi, merancang bentuk bangunan bedengnya dan merancang mesin distiller-nya. Semuanya akan memakan waktu 6 bulan setelah menemukan lokasi dan membebaskannya. Berarti “topo broto” membangun software baru bisa dimulai setelah kilang benar-benar beroperasi lancar. Saya juga tidak pernah bicara pada siapapun bahwa saya berencana membangun industri software. Takut nggak kejadian. Lagian software apa yang akan dibikin juga belum jelas. Sementara, CA masih sering memanggil untuk kerjaan-kerjaan kecil seputar troubleshooting. Lumayan buat beli lauk. Namun itu hanya sepanjang 2003. Karena awal 2004 CA Indonesia tutp dan setahun kemudian CA Asia Tenggara benar-benar tutup.

Klimaks Sebuah Khayalan

Rupanya mimpi membangun industri software diberi jalan dari langit untuk pernah terwujud. Kembali ke awal tahun 2003 (lokasi kilang belum ditemukan), saya dipanggil BNI dalam rangka untuk mengatasi masalah teknis pada produk CA (yaitu CA-Dispatch) yang ngadat sejak BNI meng-upgrade OS dari OS/390 ke z/OS. Memanggil saya karena pihak BNI tahu saya pernah di CA. Sebelum menyanggupi, saya sudah bisa melihat masalah yang terjadi dan saya tahu solusinya tidak ada karena masalahnya adalah kompatibilitas, saat itu sedang digarap oleh CA Pusat dan belum ada satu patch pun yang dirilis. Tapi pihak BNI tidak bisa lagi bersabar menunggu, karena kasus tersebut ternyata sudah setahun lebih dan tidak ada perubahan. Namun demikian saya tetap tidak menyanggupi, karena itu product error, berarti urusan orang R-n-D, bukan support lapangan.

September 2003 saya dipanggil BNI lagi. Masih membahas perkara CA-Dispatch. Kali ini lebih serius. Saya coba akses update status CA-Dispatch di situs CA. Ternyata masih sama, belum ada info apapun. Saya bingung sekaligus kasihan. Tiba-tiba teringat pernah mengatasi masalah yang mirip untuk produk yang sama pada tahun 1998 di BII. Ketika itu CA salah memberikan solusi spool distribution system, kolektornya dengan CA-Dispatch dan transmitter-nya CA-Xcom. Tentu saja tidak jalan karena CA-Dispatch dan CA-Xcom tidak dirancang untuk bekerjasama. Sehingga kerjaan yang mestinya cukup 30 menit menjadi beberapa jam karena harus disetir manual oleh operator. Akhirnya saya diturunkan ke BII dan beres.

Yang saya lakukan di BII ketika itu adalah membuat otomasi kecil untuk menyetir CA-Dispatch dan CA-Xcom persis seperti yang dilakukan operator. Benda itu saya namai Xcom-Dispatch Interface (XDI). Trigger-nya adalah kehadiran spool output. Begitu ada spool output datang CA-Dispatch ketrigger dan XDI juga ketrigger. XDI sengaja jeda beberapa milidetik untuk memberi waktu CA-Dispatch menangkapnya, lantas XDI memberi perintah (seperti yg dilakukan operator) untuk melemparkan hasil tangkapannya itu kepada CA-Xcom. BII tidak tahu detilnya. Tahunya CA-Dispatch dan CA-Xcom menjadi bisa bekerjasama mulus.

Akhirnya saya coba pasang XDI di sistem development BNI. Di BNI CA-Dispatch tidak dikawinkan dengan CA-Xcom seperti di BII ketika itu (1998), melainkan pakai fitur transmitter-nya sendiri yang juga kurang stabil. Dan di PC penerima harus dipasang CA-Dispatch-PC versi Windows. Tapi di BNI juga ada CA-Xcom, sehingga bisa diaktifkan sekedar ujicoba.

Ternyata kali ini tidak semulus ketika di BII. Karena inti masalahnya bukan CA-Dispatch dan CA-Xcom yang tidak mau kerjasama, tetapi karena CA-Dispatch jatuh-bangun akibat soal kompatibilitas. Setelah saya cermati, toh aktivitas XDI juga trigger-nya kehadiran output di spool, sama persis dengan CA-Dispatch. Berarti XDI juga bisa untuk menangkapnya. Ngapain pakai CA-Dispatch..? Lantas saya modifikasi XDI agar pada saat ketrigger oleh kehadiran output bukan menyetir CA-Dispatch untuk memberikan ke CA-Xcom, tapi menangkap output tersebut dan memberikannya kepada CA-Xcom. Berarti tabel alamat (IP) penerima yang semula dalam database CA-Dispatch harus diboyong ke XDI dan CA-Disptach harus dimatikan agar tidak berebut dengan XDI. Berarti XDI juga harus dilengkapi database untuk menyalin tabel alamat (IP) penerima.

Masih belum cukup… Saya masih khawatir bagaimana jika CA-Xcom pun suatu hari bermasalah dengan kompatibilitas. Jangan sampai XDI gagal gara-gara CA-Xcom. Lagi pula saya tidak tahu status CA-Xcom di BNI. Akhirnya XDI saya lengkapi dengan interface ke 2 transmitter lain yang paling populer saat itu, yaitu FTP dan Connect:Direct. Pengguna bisa memilih on the fly salah satu, salah dua atau tiga-tiganya. Default-nya saya pilih FTP yang merupakan komponen standard z/OS. Dalam 2 minggu semua modifikasi dan tambahan rampung. Lantas diujicoba oleh BNI.

Dalam ujicoba, tentu CA-Dispatch harus dimatikan. BNI kaget.. “loh.. jadi kita nggak pake CA-Dispatch lagi nih… putus donk kontrak tahunannya he he”. Transmitternya pakai default, yaitu FTP. Jadi CA-Xcom nggak perlu diaktifkan. Setelah diumpan dengan output dari spool, yang nungguin PC penerima bilang: “loh.. mana nih? kok Dispatch-PC diem aja?”. Lantas saya jelaskan, Dispatch-PC juga tidak dipakai. Dengan cekatan dia memeriksa folder FTP server. Tiba-tiba teriak .. “Horee nyampek nih”. Akhirnya .. semua senang dan bersalam-salaman, lantas saya pamit pulang dan esok harinya kembali ke Pemalang untuk melanjutkan mencari lokasi untuk kilang minyak nilam.

Rupanya BNI langsung menggelar UAT dan seminggu kemudian XDI dimasukkan ke sistem produksi. Saya tidak melihat langsung, hanya diberitahu lewat telpon dan sms. Tiap malam menulis manualnya. Karena XDI yang di BNI sudah beda, maka dalam manual saya nami XDI2 atau XDI versi 2. Bukan lagi singkatan Xcom-Dispatch Interface, tapi saya tulis “EXternal Data Interface”. Detilnya dapat disimak disini.

Pada awal 2004 BNI memutuskan menerima XDI2 sebagai solusi alternatif setelah menikmati selama 3 bulan lebih di sistem produksi. Panggilan kali ini BNI menanyakan harus membayar berapa untuk semua jasa mewujudkan XDI2. Kalau dihitung jasa, berarti basisnya tentu mandays. Total mandays yang sebenarnya adalah mandays untuk pembuatan XDI dari nol hingga XDI2, sekitar 90an mandays. Dari nol sampai XDI (di BII) 5 minggu, tapi 18-20 jam sehari dan tidak ada hari libur. Berarti setara dengan 52 mandays. Dari XDI sampai XDI2 2 minggu dengan cara yang sama, maka setara dengan 21 mandays. Bikin manual 10 hari dengan jam kerja yang sama, maka setara dengan 15 mandays. Totalnya 88 mandays dan semuanya kerja di rumah. Meeting, presentasi, persiapan, pemasangan, pelatihan dll yang di BNI saja 3 hari. Yang di BII saya lupa. Sehingga total keseluruhan 91 mandays.

Mandays untuk OS-level software engineering/development di Indonesia tidak ada patokannya. Kalo ngikut patokan internasional di atas USD125/jam atau di atas USD1000/hari. Di Indonesia yang saya tahu harga mandays yang mirip itu adalah ngajar (profession coaching) untuk kelas-kelas skill berbobot seperti capacity planning, system tuning, assembler dan OS internals dll.

Semua itu hanya saya paparkan dengan coretan-coretan tangan agar saya tahu kemungkinannya BNI mau membayar seberapa, pakai patokan mandays yang mana, saya sendiri juga bingung. Ternyata BNI juga bingung. Bukan soal total nilainya. Tetapi karena ternyata semua pekerjaan tersebut belum pernah dideklarasikan kapan mulainya, berapa lama dan berapa biayanya. Lawan bicara saya adalah bos Unit Operasi yang dulunya sahabat saya dan saya kenal betul orangnya sangat bersih dan lempeng. Sehingga saya yakin bahwa dia berhadapan dengan masalah. Oleh karena itu langsung saja saya jawab: “Oke lah kalo gitu nggak usah dibayar, dari pada lu ntar kenapa-kenapa. Lagian itu dah gua post sebagai freeware kok”. Karena dulunya temen deket, dia tahu kata-kata saya bukan sindiran. Dia langsung mengucapkan terimakasih, dan saya pamitan pulang.

Pucuk Dicinta Ulam Tiba

Selang 2-3 bulan kemudian, saya dipanggil lagi oleh bos tadi. Rupanya dia nggak enak saya nggak dapat apa-apa. Kali ini dia menyarankan untuk mengajukan XDI2 sebagai produk, bukan jasa layanan. Tapi ada syaratnya, yaitu harus melalui tender pengadaan. Waaahh… pucuk dicinta ulam tiba. Saya setuju banget. Tanpa saya sadari, inilah gerbang awal menuju industri software yang saya impikan. Padahal saya belum mulai “topo broto”, sedang asyik membangun distiller untuk kilang nilam. Ternyata tanpa sengaja saya sudah punya produk. Bayi industri sudah lahir. Memang Tuhan Maha Pengkabul hambanya yang berusaha dengan sungguh-sungguh.

BNI lantas mengumumkan lelang pengadaan software untuk spool distribution. Saya juga mulai mencari mitra untuk menjadi distributor karena belum punya perusahaan sendiri. Juga mendaftarkan hak cipta atas XDI2 tersebut. Segeralah berdatangan para vendor dari segala penjuru yang semuanya membawa produk asing. XDI2 dibawakan oleh PT MTP sebagai distributor. Tender digelar Agustus 2004 dan dimenangkan oleh PT MTP dan langsung disusul penandatangan kontrak karena XDI2 sebenarnya sudah hampir setahun di mesin produksi. Sepanjang perjalanannya, XDI2 tidak pernah ada masalah yang berarti. Pertengahan 2005 BNI minta penambahan fitur dan saya dikabulkan.

Sementara sejak kemenangan tender Agustus 2004 di BNI, saya terus mulai “topo broto”. Siang hari bersama tukang las ngurusin pembuatan distiller, malamnya menengadah ke atas menghayal software apa yang harus saya bikin. Akhirnya saya pilih membuat otomasi. Alasannya, selama melayani nasabah CA (1997-2002), saya sering mendapat kritik tentang kekurangan otomasi CA, baik system automation maupun jobs scheduler-nya. Bahkan pernah saya terpaksa harus menambahkan “sesuatu” pada produk-produk tersebut demi menyumbat mulut-mulut kritikus. Ya mirip dengan XDI ketika di BII dulu. Dalam hati, inilah saatnya saya wujudkan teknologi yang lebih sempurna.

“Topobroto” Proyek Sinting zJOS Dimulai…

Maka mulailah “topobroto” dengan membangun 2 produk baru sekaligus, system automation dan jobs scheduler. Selain ukuran tiap produknya jauh lebih besar dari XDI2, tingkat teknologinya juga jauh lebih tinggi kemana-mana. Karena harus mengikuti kerja OS sekaligus beraksi menjadi operator dan technical support. Resikonya pun sangat tinggi, karena ada kesalahan sedikit saja, operasi akan berantakan. Karena dia bukan manusia yang memiliki perasaan dan bisa berhenti sejenak saat ada yang terasa aneh. Dia hanyalah software yang bekerja mengikuti sinyal-sinyal event dari OS dan beraksi berdasarkan parameter dan tabel-tabel yang dirancang khusus agar strukturnya jika dikombinasikan dengan isinya dan diinterpretasi dengan algoritma tertentu akan membangkitkan serangkaian aksi dengan alur logika yang meniru cara kerja operator dan teknisi. Bedanya, tentu lebih cepat (seketika), tanpa jeda dan tak mungkin ada salah ketik. Tabel-tabel tersebut harus diisi oleh pengguna dengan informasi jadwal operasi dari runbook serta tindakan-tindakan teknis yang bisa dipasok lewat console, terminal maupun program untuk merespon masalah-masalah teknis yang populer dan semi populer. Tentu tabel-tabel ini tidak tampil apa adanya saat diisi oleh pengguna, melainkan dengan interaksi seramah mungkin agar tidak salah isi.

Benar-benar sebuah proyek gila alias sinting. Software berskala milyaran rupiah yang di CA Pusat saja ditangani oleh ratusan expert, yang ini digarap seorang diri dengan sarana yang amat sangat sederhana. Sinting kan? Asal tahu saja, harga pakai gabungan fungsi system automation dan jobs scheduler weton CA ketika itu tidak kurang dari Rp 5 milyar yang harus dibayarkan pada kontrak awal. Masih harus ditambah setoran 10%-18% (tergantung negonya) setiap tahun sebagai biaya perawatan. Vendor lain pun tidak akan jauh-jauh dari angka itu. Angka yang gurih bukan? Nah.. proyek kenthir tersebut saya namai “Jawaban Otomasi System z” dan disingkat menjadi zJOS. Produk yang dibangun adalah system automation dan jobs scheduler.

System automation adalah otomasi bebas, yaitu jenis otomasi yang tidak mengenal siklus. Misalnya, kapan saja ada message ABCD muncul, maka jalankan aksi atau respon XYZ. Jika msg ABCD muncul 2 kali dalam satu detik, maka XYZ juga harus jalan 2 kali pula. Namun demikian masih bisa juga dikekang dengan waktu dan/atau kalender. Misalnya aksi XYZ harus dilakukan otomatis untuk merespon munculnya msg ABCD, tetapi hanya di jam 9:00 s/d 13:00, atau hanya di setiap tanggal 10, atau di setiap tanggal 1 sampai 10 Januari saja, atau di setiap tanggal 2 s/d 15 setiap bulan mulai jam 20:00 hingga jam 0:00 saja. Otomasi jenis ini sering disebut system-events manager atau events management system (EMS) EMS ini lantas dinamakan “Sekar”, mengambil nama putri sulung saya, Dewi Sekarsari Candraningsih. Diharapkan berkahnya kelak menjadi keberuntungan sang putri sulung. Penulisan nama resmi produk Sekar adalah “zJOS/Sekar”. Detilnya dapat disimak disini.

Sedangkan jobs scheduler adalah otomasi terjadwal, yaitu otomasi yang dibatasi dengan siklus jadwal kalender operasi. Misalnya, aksi XYZ harus dilakukan otomatis untuk merespon munculnya msg ABCD pada operasi siklus harian. Maka jika di hari yang sama muncul msg ABCD beberapa kali, aksi XYZ hanya dilakukan sekali ya itu di saat kemunculan msg ABCD yang pertama. Bisa juga ditambah batasan waktu dan / atau kalendar. Misalnya aksi XYZ harus dilakukan otomatis untuk merespon munculnya msg ABCD pada siklus operasi harian, tetapi hanya di jam 9:00 s/d 13:00, atau hanya di setiap tanggal 10 atau di setiap tanggal 1 s/d 10 Januari atau di setiap tanggal 2 s/d 15 setiap bulan mulai jam 20:00 s/d 0:00. Aksi XYZ tetap hanya dilakukan sekali dalam sehari, yaitu pada kemunculan partama msg ABCD yang sudah memasuki selang waktu dan/atau kalendar yang ditentukan. Otomasi jenis ini juga sering disebut event-driven workloads scheduler atau singkat saja scheduler. Produk ini lantas dinamakan “Puspa”, mengambil nama putri bungsu (putri ke 2), Dyah Puspasari Wijayanti. Diharapkan berkahnya kelak menjadi keberuntungan sang putri bungsu. Penulisan nama resmi produk Puspa adalah “zJOS/Puspa”. Detilnya dapat disimak disini.

Meskipun hanya di tangan satu orang, tingkat software engineering proyek zJOS saya yakin lebih tinggi dibanding produk-produk vendor besar. Mereka umumnya setaip satu produk ditangani oleh tim terpisah yang dipimpin oleh arsitek terpisah. Sehingga tiap produk memiliki pondasi sendiri-sendiri. Sedangkan zJOS karena hanya ditangani oleh satu orang, maka setiap komponen diupayakan sebisa mungkin dipakai bersama, bukan saja di tingkat sourcecode seperti macro dan template, tapi juga ditingkat binary seperti control block, event-listener/handler, resource/data manager, network interface dll. Sehingga total modul binarinya jauh lebih kecil dari yang seharusnya, terlebih lagi optimasi logiknya yang sangat maximum, sehingga total ukurannya (gabungan semua produk) hanya sekitar 10MB, lebih kecil dari produk vendor lain yang terkecil. Kemasanya juga gabungan dalam satu paket. Sekali install, semua produk terpasang. Kuncinya saja yang sendiri-sendiri. Yang tidak diberi kunci tidak bisa jalan. Bahkan sampai exekusinya pun pengguna bisa memilih apakah digabung menjadi satu system task (STC) yang hanya menggunakan satu address space atau dipisahkan. Peringkasan ini bukan saja antar 2 produk yang sedang dibangun (Sekar dan Puspa), tetapi juga dengan XDI2 yang sudah ada. Jadi dalam paket sudah termasuk zJOS dan XDI2. Maka dari itu paketnya saya namai zJOS-XDI.

Sekar dan Puspa Lahir dari Rahim zJOS

Setelah kerja keras 18-20 jam setiap hari tanpa ada hari libur sejak akhir 2004, alhamdulillah Juli 2006 proyek zJOS rampung. Karena paket tunggal yang terpadu ditingkat sourcecode dan binary, maka maintenance-nya pun digabung. Maka untuk menyederhanakan, versi, rilis dan levelnya pun mengikuti XDI2 yang sudah terbit lebih dulu, yaitu 2.1.1. Namun tak lama setelah peluncuran katahuan ada kekurangan lantas ditambahkan, sehingga menjadi 2.1.2, dan barulah diluncurkan.

Segera setelah peluncuran zJOS-XDI 2.1.2, distributor membawanya kemana-mana untuk didemonstrasikan. Namun rata-rata tutup pintu. Yang mempersilakan demo hanya BNI, BII dan KPTI DKI. Saat itu distributornya bukan lagi PT MTP, melainkan PT SSH, karena MTP tidak bisa menyediakan tenaga technical support yang memadahi.

Di BII dan BNI, zJOS-XDI dibandingkan dengan produk-produk asing yang dipakainya saat itu. Sedangkan KPTI DKI tidak ada pembanding karena belum diotomasikan, bahkan hingga hari ini. Awalnya ketiga instansi tersebut tertarik setelah 6 bulan mengujicobanya. Namun BII keburu ada reorganisasi karena saat itu dibeli oleh investor dari Korea. KPTI DKI juga merasa kuatir sebagian besar operatornya harus PHK karena sistem bisa jalan sendiri.

IBM Berani Rugi Untuk Mengalahkan NSI

Rupanya hanya BNI yang berlanjut dengan pengumuman lelang untuk pengadaan software otomasi. Vendor yang datang tidak banyak, karena vendor yang memiliki produk otomasi hanya CA, IBM, ASG dan BMC. ASG dan BMC tidak memiliki perwakilan di Indonesia. CA tidak termasuk karena saat itu produk CA sudah dipakai di BNI dan justeru akan digantikan. Satu-satunya rival hanya IBM. Tender digelar November 2007. Sebenarnya ada 2 poin penting dalam TOR yang tidak dipenuhi IBM. Tetapi tidak diskualifikasi untuk menghindari tender dengan peserta tunggal.

PT SSH (distributor) optimis bakal menang telak. Karena dari technical benchmark sudah jelas menang telak. Sedangkan harga tentu lebih mudah. Harga zJOS-XDI sudah disetel hanya sekitar 1/4 harga CA, dengan harapan setara dengan 1/4 harga IBM. Maklum tahunya hanya harga CA karena pernah kerja disana. Tapi saya yakin harga produk IBM tak akan jauh-jauh dari angkanya CA, karena mereka bersaing ketat.

Ternyata benar-benar di luar dugaan. IBM membanting harganya hampir persis dengan harga zJOS-XDI. Hanya terpaut Rp 20juta lebih mahal. Meskipun demikian, BNI tidak berani memenangkan zJOS-XDI karena nama besar IBM. Ketika itu berbagai alasan dikemukakan BNI, yang semuanya berdalih peraturan internal. Namun saya sudah cek dengan teman-teman dari BUMN lain, semuanya menjawab plek persis jibles dengan dugaan saya. Bagusnya, BNI juga tidak berani memenangkan IBM, karena selain sudah tahu secara teknis ada 2 poin utama yang tidak dipenuhi oleh produk IBM, juga harganya meskipun hanya terpaut 20juta, tetap saja namanya lebih mahal. Mungkin itulah pertolongan dari langit. Pasti rekan-rekan di BNI yang nasionalisme-nya tinggi melihat kasus tersebut dalam hati pasti tidak terima, meskipun lahirnya harus tampil seragam dengan yang lain. Akhirnya BNI membatalkan hasil tender.

Bayi zJOS-XDI Mengusir Kakek CA dari Sistem Produksi BNI

Tender baru diulang Juli 2008. Kali itu IBM menaikkan harga 2 kali nilai semula. Apesnya, SSH malah menurunkan harga zJOS-XDI 30% dari nilai semula. Sehingga bedanya cukup jauh, dan tentu dimenangkan SSH. Setelah 2 bulan persiapan, termasuk konversi runbook ke zJOS database dan uji kualitas (UAT), akhirnya Oktober 2008 segalanya siap dan zJOS-XDI yang masih bayi itu resmi masuk sistem produksi BNI, dan kontrak ditandatangani oleh pihak BNI. Versi zJOS-XDI ketika itu sudah naik menjadi v2.1.3.

Serta-merta fungsi otomasi kawakan CA-OPS/MVS-II dari CA sepenuhnya diambilalih oleh zJOS/Sekar yang baru berusia 2 tahun. Bahkan dalam beberapa hari saja, otomasi sistem yang dilakukan zJOS/Sekar sudah berkembang lebih luas. Entah karena zJOS/Sekar lebih mumpuni atau karena tenaga support SSH lebih kreatif atau karena dua-duanya… yang jelas zJOS/Sekar pasti lebih mudah dikembangkan ketimbang produk CA yang disingkirkannya.

Sedangkan zJOS/Puspa tidak mengusir siapa-siapa karena ketika itu BNI belum menggunakan jobs scheduler. Jadi Puspa hanya menggantikan sistem penjawalan operasi manual menjadi otomatis. Tapi Puspa lah yang sebenarnya mengalahkan telak IBM dari sisi teknis. Dan Puspa lah yang sebenarnya menjadi obyek utama dari tender 2007 dan 2008 di BNI. Kemampuan Puspa menangani otomasi sistem penjadwalan operasi sistem BNI yang mission-critical merupakan bukti ketangguhan produk NSI.

SSH Menyerah, NSI Tampil

SSH memasarkan zJOS-XDI sejak peluncuran resminya, Juli 2006. Hingga memasuki tahun 2010 hanya memperoleh satu nasabah, yaitu BNI. Memang sangat logis. Di satu sisi, memasarkan produk lokal kelas berat seperti zJOS-XDI memang sangat sulit. Karena pasarnya cenderung memihak produk asing. Retorika sejumlah orang sih boleh-boleh saja. Tapi kami mengalami sendiri, kenyataan di lapangan memang sangat menyakitkan. Seperti yang dilontarkan oleh pimpinan IT BRI: “kami mau pake zJOS-XDI asalkan gratis-tis.. baik pengadaannya maupun perawatan tahunannya. Tapi harus mendapat layanan sama persis dengan nasabah yang membayar”. Institusi lain memang tidak sekeji BRI, tapi tetap saja tutup pintu rapat-rapat.

Di sisi lain, sales team SSH memang tidak profesional. Personilnya hanya tenaga sambilan (part time). Di negeri ini sangat tidak lazim jualan produk IT kelas di atas Rp 500juta dilakukan oleh tenaga paruh waktu. Tentu daya juangnya akan jauh berbeda. Hal ini bisa dilihat bagaimana mereka menangani presales di BII. Di luar BNI, BII adalah satu-satunya institusi yang benar-benar welcome untuk presentasi dan demo zJOS-XDI. Bahkan untuk demo, mereka sendiri yang memasangnya, berhubung SSH tidak ada waktu saat itu (aneh!). Bukan main! Dari tahun 2006 sampai 2009, SSH beberapa kali diundang BII untuk diskusi membahas produk-produk zJOS-XDI. Saya sendiri pernah 2 kali ikut dilibatkan. Tetapi ternyata tidak pernah mencapai deal apapun. Saya memang tidak bisa menilai seperti apa sales yang piawai. Tetapi dari yang saya tahu (saya ikut), sales SSH memang tidak banyak bicara, baik teknis, non teknis maupun sekedar intermezo. Entah apa ini merupakan kelebihan atau kekurangan dalam profesi sales, saya tidak tahu. Tetapi feeling saya mengatakan tidak seharusnya sales seperti itu.

Karena tidak nambah deal, sementara SSH harus menggaji personil support (level-1), tentu lama-lama SSH menjadi tekor. Karena hanya mengharapkan pendapatan tahunan dari satu nasabah (BNI) yang nilainya hanya 10% dari kontrak awal. Dengan tingkat harga dan model kontrak seperti yang berlaku di BNI, supaya ada keuntungan setidaknya harus mendapatkan 2 nasabah. Dari hitungan kasar, jika personil support hanya untuk melayani zJOS-XDI, tahun pertama SSH untung. Tahun kedua tekor tapi masih impas ditutup keuntungan tahun pertama. Tahun ketiga tekor. Akhirnya… 30 September 2010 SSH menyerah. Personil support-nya diberhentikan dan mengundurkan diri tidak lagi menjadi distributor zJOS-XDI.

Pengunduran diri SSH ini ternyata membawa hikmah. Saya merasa tidak mungkin lagi ada perusahaan yang melamar untuk menjadi distributor seperti yang dilakukan SSH pada tahun 2006 dulu. Berarti NSI yang semula hanya label dan wacan, kini harus mempersiapkan diri menjadi sebuah perusahaan beneran untuk memasarkan produknya sendiri. Kebetulan juga ada kawan yang siap bergabung menjadi tenaga administrasi agar saya bisa fokus menangani teknologi dan support-nya. Saya pun sudah siap nekad menangani pengembangan sambil memegang support untuk semua level sendirian. Tetapi BNI tidak mungkin mau bermitra dengan NSI yang baru lahir. Ndilalah, ada perusahaan IT milik kawan juga yang siap memayungi NSI, yaitu PT Agrisoft Citra Buana yang berlokasi di Bogor. Agrisoft merupakan perusahaan IT yang sudah cukup umur dan bisnisnya lumayan berhasil. Akhirnya kami sepakat untuk terbit di bawah payung Agrisoft sebagai unit usaha terpisah. Pengelolaan NSI beserta seluruh isinya sepenuhnya kami tangani sendiri. Korespondensi keluar tetap mengatasnamakan Agrisoft.

Industri Software Terwujud, Tuhan Maha Pengkabul

Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa Tuhan Allah memang benar-benar Maha Pengkabul bagi hambanya yang bersungguh-sungguh. Bagaimana tidak? Akhirnya cita-cita saya untuk membangun industri software benar-benar terwujud. NSI kini sudah hadir di permukaan. Meskipun benderanya masih numpang (di PT Agrisoft), tapi toh dikenal publik. Website z-mainframe.com setidaknya sudah dikunjungi masyarakat dari 33 negara. Produknya bahkan sudah hadir duluan (sejak tahun 2004) dan dalam perjalanannya sempat mengalahkan produk dari vendor kawakan. Kini ketiga produknya yang tergabung dalam paket zJOS-XDI resmi berstatus certified products karena sudah terbukti kemumpuniannya dalam sistem produksi di atas 2 tahun tanpa mengalami product error sekalipun.

Jika dinalari uraian di atas dengan cermat, perjalanan produk-produk zJOS-XDI dan wadahnya NSI penuh dengan keajaiban dan “ndilalah”. Berbekal kemauan keras plus nekat setengah sinting untuk membangun industri software, ternyata bisa terwujud. Meskipun NSI masih tampil ecek-ecek dan pendapatannya juga masih icik-icik, namun produk-produknya tidak bisa dianggap remeh, baik dari nilai teknologinya maupun bisnisnya, terutama Sekar dan Puspa. Nilai teknologinya termasuk kelas super serius. Vendor kelas kakap pun belum mampu mewujudkannya. Hanya 4 vendor kelas paus dari 300an lebih vendor kelas kakap ke atas yang bermain di segmen otomasi mission-critical ini.

Nilai bisnisnya cukup serius. Skalanya milyaran rupiah. Jika disetarakan dengan produk-produk CA, nilai gabungan fungsi Sekar dan Puspa di atas Rp 5 milyar untuk setiap install base. BMC mungkin lebih mahal lagi. IBM dan ASG setidaknya juga sekitar angka itu.

Akhirnya dapat saya simpulkan bahwa… disini, di negeri ini, industri software yang saya cita-citakan sudah pernah lahir. Sudah pernah terwujud dan terbukti. Tuhan Maha Pengkabul. Maturnuwun Gusti.

Apakah NSI dan zJOS-XDI akan tumbuh berkembang hingga pasar global atau tidak, sama sekali di luar kapasitas saya. Saya dan mungkin beberapa orang lain hanya bisa berharap. Bisa iya bisa tidak. Bahkan bisa juga iya tapi harus boyong ke negeri lain. Kita tidak tahu. Yang jelas, perjalanan ini belum berakhir. Perjalanan kehidupan alam ini ada OS-nya yang sangat sempurna tak pernah error. Kita ini hanyalah ibarat program kecil yang tidak cukup privilege untuk menembusnya.

wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
1Comment
  • guzz
    Posted at 10:25h, 06 May Reply

    Speechless..luar biasa kemampuan Pak Deru..

Post A Comment