Raja Gemar Mengeluh, Raja Demen Curhat

18 Feb 2013 Raja Gemar Mengeluh, Raja Demen Curhat

Hi hi hi … wong pemimpin kok suka mengeluh… pemimpin kok demen curhat. Bukankah diajarkan dalam Hastabrata (baca: Hastobroto) bahwa pemimpin harus menunjukkan semangat yang membara, ketenangan, ketegaran, kejernihan berpikir, keberanian dan keoptimisan? Bukankah dalam Hastabrata justru pemimpin harus mampu meredam keluhan bawahan, menyemangati dan memberi harapan atas keputusasaan bawahan? Bukannya kebalik, pemimpin malah mengeluh dan curhat. Lebih-lebih mengeluh ketakutan…. atau bahkan curhat masalah keluarganya sendiri… Ha ha ha … itu sih manusia biasa… bukan pamor seorang pemimpin. Tentu tidak ada pemimpin semacam ini. Adanya di negeri dongeng yang rakyatnya tolol semua dan jenaka 🙂

Pernahkah anda nonton cerita asli pakem Mahabharata? Dalam pakem Mahabharata, raja Hastinapura terakhir sebelum dan selama perang besar Bharatayuda antara Pandawa melawan Korawa di Kuruksetra adalah Prabu Drestarastra, bukan Duryodana seperti yang sering ditayangkan dalam cerita wayang “carangan”. Duryodana hanyalah Korawa tertua yang dinobatkan menjadi putra mahkota calon pengganti ayahnya. Tahta ketika itu masih di tangan ayahnya, Drestarastra. Patih atau perdana menterinya pun bukan Sakuni seperti dalam pewayangan carangan, melainkan Yama Widhura, adik Drestarastra dari selir Citranggada. Sakuni hanyalah penasihat pribadi Duryodana sekaligus pamannya, adik kandung ibunya, Gandhari.

Nah kalau muncul adegan Drestarastra… udah deh… ngobrol aja sampai bosen nontonnya. Karena yang diobrolin melulu masalah pribadi dan keluarganya. Ngalor ngidul cuman meratapi nasibnya yang buta. Mencemaskan nasib keturunannya… itu-itu saja. Giliran harus mengambil tindakan, mbulet nggak kunjung tiba sampai beberapa episode. Bolak-balik cuman maju-mundur penuh keraguan… dan terakhir nol… tidak berbuat apapun.

Tukang mengeluh sejak muda

Terlahir sebagai pria buta, Drestarastra sangat menyesali keadaannya. Kepada siapa saja yang ditemuinya, sang buta selalu curhat meratapi cacatnya. Dia merasa iri dengan 2 adiknya, Pandhu dan Widhura yang normal. Terlebih Pandu yang sering dielu-elukan sebagai murid Bhisma yang paling jempolan. Bhisma sang pelindung Hastinapura dan pemegang komando tertinggi selama masa komplang sepeninggal Prabu Citranggada, sebenarnya sudah berusaha adil. Ketiga anak raja keponakannya tersebut diasuh dan diajari ilmu yang sama, mulai dari sastra, budaya, ketatanegaraan, kebhatinan hingga kesaktian dan kemiliteran. Namun pada kenyataannya sang murid itu sendirilah yang menentukan prestasinya. Pandhu mumpuni segalanya. Widhura hanya menguasai ketatanegaraan dan kebhatinan, karena sukanya memang itu. Sedangkan Drestarastra ingin seperti Pandhu. Tapi dia hanya menguasai kesaktian saja dengan alasan karena buta. Namun bukannya berusaha mengejar. Setiap hari hanya meratapi cacatnya.

Meskipun Drestarastra yang tertua, Bhisma tidak bisa memberikan tahta kepadanya. Bukan karena butanya, melainkan karena kemumpuniannya yang tidak memadahi. Akhirnya, pada saatnya, Bhisma terpaksa menobatkan Pandhu menjadi raja Hastinapura. Drestarastra semakin hancur hatinya. Dia pikir tidak dinobatkan karena buta. Dikatakannya; “cacatku ini tidak hanya menghukum diriku, melainkan hingga anak cucuku kelak”. Maksudnya, karena dia tidak menjadi raja, maka keturunannya pun tidak akan mendapat kesempatan menjadi raja, meskipun dia sebenarnya yang tertua dari keluarga bangsawan Hastinapura. Makin hari makin pedih dan makin putus asa.

Terlebih setelah mendapatkan isteri Gandhari, hadiah dari Bhisma, hatinya semakin hancur karena sang isteri harus menutupi matanya seumur hidup. Dia tahu Gandhari akan setia, karena putri boyongan memang tidak bisa meronta. Tapi dia juga tahu bahwa Gandhari tidak cinta kepadanya. Alasan Gandhari menutup mata seumur hidup karena setia konon untuk menunjukkan kesetiaannya kepada suami, sehingga harus ikut merasakan penderitaan suami. Tetapi Drestarsatra tidak percaya, meskipun tidak terucap, hatinya mengatakan karena tidak suka aau bahkan jijik melihat tampang suami yang buta dan mungkin juga jelek 🙂

Namun, meskipun dia tidak yakin cinta isterinya, Gandhari adalah teman terdekat setiap hari. Gandhari lah tempat penampungan curhat setiap menit. Nggak tahu bagaimana caranya, orang buta yang frustrasi dengan mengeluh setiap hari, mengawini wanita cantik yang menutup matanya seumur hidup kok bisa menghadirkan 99 anak.

Raja Cengeng yang lembam dalam ketidak-adilan

Singkat cerita, Prabu Pandhu Dewayana mati muda karena kutukan. Hastinapura kembali komplang tanpa raja. Anak-anak Pandhu, Pandawa, maupun anak-anak Drestarastra, Korawa, masih kecil-kecil. Sementara Yama Widhura, selain karena anak selir, dia juga tidak sanggup memegang tahta. Maka Bhisma yang sudah tua merasa kebingungan kalau harus merangkap menjalankan fungsi raja sekaligus panglima militer tertinggi seperti di masa kekomplangan Citranggada. Oleh karena itu Bhisma lantas menobatkan Drestarastra menjadi raja pengganti Pandhu.

Meskipun sudah menjadi raja, Drestarastra tetap rajanya mengeluh. Kini giliran mengeluhkan apakah anak-anaknya kelak berhak menggantikannya, padahal dia hanyalah raja PJS. Kecemburuannya bukan lagi kepada Pandhu yang sudah mati, melainkan kepada Pandawa yang terdengar lebih populer di hati masyarakat. Nyanyian harian kecemburuan terhadap Pandhawa ini tentu lama-kelamaan terekam oleh anak-anaknya, Korawa dan iparnya, Sakuni.

Akibatnya, Korawa juga ikutan benci dan dendam kepada Pandhawa. Sakuni merasa mendapat kesempatan untuk menjalankan misinya menghancurkan Hastinapura. Pasalnya, Sakuni sangat mendendam Bhisma yang menjodohkan Gandhari, kakaknya, dengan si buta Drestarastra. Aslinya Gandhari anak raja Kasi itu diharapkan mendapatkan suami yag terbaik. Oleh karena itu disayembarakan melalui adu kesaktian. Tapi justru karena itulah yang didapat Bhisma, manusia paling sakti pada jaman itu, dan yang tak mungkin absen manakala merasa kesaktiannya ditantang. Namun karena Bhisma sudah bersumpah tidak akan nikah, maka Gandhari diberikan kepada Drestarastra, keponakannya yang jomblo dan tidak berani mencari isterei sendiri. Gandhari sangat kecewa tetapi tidak berani menolak, meskipun harus menghukum dirinya dengan menutup matanya seumur hidup. Sakuni yang sangat menyayangi kakaknya tentu dendam kesumat dan bersumpah untuk mendampingi Gandhari seumur hidup sampai hancurnya negeri Hastina.

Kebencian Korawa kepada Pandhawa merupakan harapan bagi Sakuni. Banyak rekayasa adu domba dilakukan untuk menghancurkan kedua pihak. Sasaran yang paling empuk adalah Bima yang sangat doyan makan, pernah diracun dan dibuang ke sungai Yamuna, meskipun ternyata Bima tidak mati. Juga teror pembakaran pesta Bale Sigolo-golo di Waranawata untuk membakar hidup-hidup Pandhawa dan Kunti, ibunya. Dan yang terakhir adalah sukan dadu memanfaatkan ketololan dan egoisme Yudhistira.

Semua rekayasa kelicikan Sakuni tersebut diketahui oleh Drestarastra maupun para bangsawan Hastinapura. Namun si raja buta itu tetap lembam tidak tergerak untuk menghentikannya. Setiap ada laporan tentang siasat adudomba Sakuni, baik langsung dari tim intelijen negara maupun melalui perdana menteri Yama Widhura, selalu ditangkal dengan keluhan-keluhan lembek dan cengengnya tentang ketidakadilan yang akan diderita Korawa, anaknya. Meskipun para penasihat menjelaskan bahwa dampak kepukilan Sakuni sangat mengganggu stabilitas pemerintahan, sang raja cengeng itu tetap lembam dan lagi-lagi dibantah dengan ratapan akan nasib Korawa yang hanya anak raja pengganti (PJS).

Sukan dadu puncak pertunjukan kelembaman si Raja Cengeng

Yang paling seru adalah ketika penggelaran sukan dadu antara Pandhawa melawan Korawa. Ketika itu Pandhawa sudah memiliki negara sendiri, yaitu Amarta Indraprastha, bahkan Yudhistira telah menjadi raja unggulan melalui upacara Rajasuya setelah Bima membantai raja rakus Jarasandha dari Magada yang lalim dan ganas. Yudhistira sang raja diraja itu sebenarnya orang baik yang sangat santun dan penderma. Namun anehnya memiliki kelemahan selain suka judi juga egois dan diktator kepada adik-adiknya. Mungkin karena adik-adiknya dididik oleh ibunya maupun gurunya, Drona, selalu sangat mematuhi kakak tertuanya sebagai pengganti ayahnya, lantas membentuk kebiasaan baginya menjadi orang yang tak terbantahkan dalam segala hal. Kelemahan itulah lantas dimanfaatkan Sakuni untuk menjalankan misinya melalui permainan dadu. Judulnya pesta keakraban keluarga sekaligus antara negara, yaitu Hastinapura dan Indraprastha yang berasal dari dinasti Hastina juga.

Dalam penggelarannya, Hastinapura diwakili oleh Korawa yang didampingi Sakuni. Indraprastha diwakili oleh Pandhawa. Hadir dalam pesta raja Hastinapura sang buta Drestarastra yang diiringi seluruh sesepuh seperti Bhisma, Drona, Yama Widhura. Sedangkan Pandhawa hanya diiringi oleh isteri mereka sekaligus sang permaesuri Wara Draupadi. Krisnha tidak ikut karena tidak setuju dengan perjudian.

Sakuni yang bermain mengatasnamakan Korawa, menggunakan tipudaya akal bulusnya sehingga putaran demi putaran Pandhawa kalah. Akhirnya seluruh harta Pandhawa yang dibawanya ludes tanpa sisa. Tetapi karena harta tersebut memang sudah dicanangkan untuk judi malam itu, Pandhawa pun legowo saja. Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa mengisyaratkan bahwa seluruh harta bawaan sudah habis dan sudah saatnya permainan usai. Namun Sakuni belum puas dan memang misinya bukan sekedar memenangkan harta bawaan Pandhawa tersebut. Maka ditantangnya Yudhistra untuk tidak menyerah hanya karena kekalahan kecil. “Wahai Yudhistira sang raja penderma…. kenapa harus berhenti? Apakah takut penderma juga takut miskin? Apakah di Indraprastha sudah kehabisan harta untuk dipertaruhkan?”, demikian tantang Sakuni. Bima yang cerdas mengingatkan Yudhistira untuk tidak melanjutkan seraya membisikkan bahwa Sakuni culas. Yudhistira yang semula sudah siap-siap menyudahi permainan, demi mendengar tantangan Sakuni, mukanya menjadi merah padam dan duduk kembali. Bisikan Bima ditepisnya dengan alasan ksatria tidak boleh mundur dari tantangan. Bima menjawab: “Kak, ini permainan, bukan tantangan… saya sudah hancurkan ratusan tantangan yang sebenarnya”. Eh Yudhistira malah menasihati Bima sambil marah-marah; “Heh Bima, jangan mentang-mentang perkasa kamu menjadi sombong mengajari saudara tua. Semua kejadian yang kita alami adalah sudah menjadi kodrat, dan ksatria harus tunduk mengikut kodratnya”. Bima dan adik-adiknya pun duduk kembali meski sambil bersungut-sungut.

Di sisi lain, Bhisma dan Widhura juga mencium gelagat tidak beres dan segera mengingatkan Drestarastra untuk menghentikan karena bekal harta Pandhawa sudah habis. Lagi-lagi si raja cengeng ini bukannya bersikap tegas, eh malah mengeluhkan keadilan bagi Korawa. “Paman Bhisma…. Pandhawa itu lagi bahagia, telah mendapat kekuasaan besar di Indraprastha yang megah. Sedangkan Korawa… apa yang mereka nikmati? Mereka hanya anak orang buta. Sekarang mereka di istana Hastinapura karena ayahnya sedang menjadi raja pengganti. Bagaimana nasib mereka setelah saya lengser kelak? Kenapa kenikmatan sukan dadu sekejap saja harus saya hentikan? Lalu apakah saya juga harus buta keadilan bagi anak-anak saya?”, demikian jawaban si raja cengeng. Bhisma pun langsung membentak; “Heh Drestarastra…. bukankah kamu sudah wisuda Duryodana menjadi putra mahkota dan kami para sesepuh akhirnya menyetujuinya?”. Sang buta menjawab: “Ah itu kan karena kita menduga Pandhawa sudah mati ketika di Waranawata. Tapi ternyata Pandhawa masih hidup bahkan kini menjadi penguasa di negara besar Indraprastha. Apakah status mahkota Duryodana tidak akan digugat?”. Drona pun menimpali; “Tidak mungkin Pandhawa menggugat mahkota Duryodana. Jangankan kini Pandhawa sudah punya negara sendiri. Sedangkan tidak pun, kayaknya tidak mungkin Pandhawa gontok-gontokan soal warisan Hastinapura. Saya tahu sifat Pandhawa muridku”. Namun si buta raja lembam itu tetap pada pendirian dan keluhannya.

Permainan dadu pun berlanjut. Kali ini tarohannya adalah harta simpanan kerajaan yang ada di istana Indraprastha. Sekali goyang dadu, maka lenyaplah seluruh harta simpanan tersebut. Yudhistira makin napsu. Bima membisikkan lagi untuk menghentikan, malah diplototin tanpa dijawab. Tarohan selanjutnya adalah kedaulatan Indraprastha beserta 100 negara jajahannya. Lawannya tentu bukan kedaulatan, karena Duryodana belum menjadi raja. Lawannya hanya status putra mahkota Duryodana yang sebenarnya tidak sah karena diberikan dengan asumsi Pandhawa mati kebakar di Waranawata. Namun karena sudah dikuasai napsu, Yudhistira tidak cermat tentang tarohan lawannya. Bima dan Arjuna berusaha mencegah. Tapi yang didapat adalah pelototan mata sang kakak yang egois. Akhir dadu digoyang, dan….. horrreeeee …. lenyaplah kedaulatan Indraprastha dari tangan Pandhawa.

Duryodana lantas berdiri dengan sikap penuh kecongkakan sambil menuding Pandhawa seraya berkata: “Ha ha ha … heeii Pandhawa… sekarang kamu adalah rakyat biasa bahkan miskin tak punya apapun… Berarti kamu kaum sudra. Sedangkan saya sekarang ini adalah raja Indraprastha sekaligus pewaris tahta Hastinapura. Artinya…. kelak setelah saya juga bertahta di Hatinapura, saya menjadi raja di dua kerajaan besar, Indraprastha dan Hastinpura. Apa lagi yang akan kalian pertarohkan hah? Kalian harus bersimpuh mencium kaki saya sebelum saya usir. Karena istana Hastinapura ini bukan tempat bagi kaum sudra kere seperti kalian ha ha ha”.

Bima pun segera berdiri geram sambil matanya melotot ke arah Duryodana berkata: “Heeiii Duryodana manusia busuk… Meskipun kami kehilangan kedaulatan Indraprastha, kami tetap ksatria. Pengakuan rajasuya yang dijunjung oleh 100 negara tetap melekat pada kami, bukan kalian Korawa yang pengecut dan culas. Saya akan dengan mudah menaklukkan negara-negara lain yang rajanya jahat untuk memperoleh kedaulatan lagi”. Sakuni yang cerdas dalam hati membenarkan kata-kata Bima. Lantas mencari akal bagaimana menjatuhkan status Pandhawa agar menjadi sudra beneran supaya tidak mencari kedaulatan lagi. Akal bulusnya mendapatkan solusi seraya berkata: “Wahai Yudhistira dan Pandhawa ksatria yang gagah berani. Kalian memang masih ksatria meski sudah tidak memiliki negara. Kini urusannya sudah bukan sekedar sukan dadu, tetapi sudah menjadi perang urusan kekuasaan. Dan karena kalian ksatria, maka saya sarankan kalian tidak mundur. Pantang ksatria mundur dari peperangan, apalagi Pandhawa yang terkenal hebat. Perang tidak harus harus di medan laga yang banjir darah. Di meja ini pun kita bisa berperang. Masihkan kalian punya nyali untuk melanjutkan perang melawan kami? Jika masih, kami pertarohkan status mahkota Hastina, tahta Indraprastha beserta 100 negara bekas jajahan kalian”. Yudhistira menyahut: “Kami siap!”. “Apa lagi taruhanmu wahai ksatria miskin? Disini bukan tempat menyabung nyawa loh”, jawab Sakuni. “Kami sudah tak punya apa-apa. Maka demi menyenangkan kalian, tarohan kami adalah istri kami Draupadi”, kata Yudhistira. Bima pun kaget dan segera melangkah hendak menendang meja dadu. Tapi segera dicegah Yudhistira dan nurut.

Sementara di kalangan sesepuh, Bhisma berteriak; “hentikan!!! Ini benar-benar napsu iblis!!!”. Sakuni dengan santai menjawab; “Maaf sang Mahasakti Bhisma… yang berhak menghentikan kami hanya raja”. Bhisma pun dengan penuh gondok dan kekonyolan memohon kepada Drestarastra untuk menghentikan. Demikian pula Drona; “Duh sang raja… tolong hentikan. Ini akan sangat memalukan bagi selurh dinasti Hastinapura”. Namun sang raja lembam tetap lembam membisu. Dia tahu bahwa tingkah lakunya yang wagu dan sikapnya yang ganjen bikin sebel semua orang. Tapi dia berusaha tidak menggubrisnya, Sambil senyum di sudut bibir Sakuni menggumam; “Waaah …. mari kita teruskan…. sang raja merestui he he he”.

Sekali putar, maka dadu pun berpihak pada Korawa. Kali ini Draupadi sang permaesuri yang cantik “angujiwat” kini telah menjadi putri boyongan milik Korawa. Korawa pun bersorak sorai riuh redam menyambut kemenangan ini. Keriuhan seketika berhenti tatkala Duryodana menjambak rambut dan menekan kepala Draupadi di pahanya sambil meraung dengan suara lantang; “Wahai semua orang yang hadir disini…. saksikanlah… Draupadi sekarang telah menjadi boyonganku. Namun aku tidak sudi memperisteri pelacur yang tiap hari meladeni 5 pria gila. Silakan adik-adikku Korawa siapa saja yang ingin menikmati pelacur ini majulah ke depan sini. Nikmatilh sepuasnya ha ha ha ha ha”. Sementara Bima yang seluruh tubuhnya sudah bergetar tetap dipegangin Yudhistira supaya tidak mengamuk.

Maka majulah Dursasana atau Dussasana merangkul Draupadi. Ditariklah jarik dan kemben Draupadi dengan niat mau menelanjanginya di depan umum. Namun ketika itu sebenarnya Krishna sudah hadir meski tidak menampakkan diri. Draupadi berhenti teriak dan mulutnya cuman bergumam memohon bantuan Krishna. Krishna pun menampakkan diri hanya untuk Draupadi. Sementara Dussasana yang sedang menarik dan melepas pakaian Draupadi megap-megap karena tak kunjung rampung. Tumpukan pakaian sampai memenuhi alun-alun, tapi Draupadi tetap tidak telanjang, sampai akhirnya Dussasana jatuh pingsan saking lelahnya dan mabok kebanyakan ciu.

Para pinisepuh dan para undangan lainnya sudah sangat muak dan marah. Bhisma sudah tidak tahan lagi dan mencabut panahnya. Drona dan Widhura buru-buru merangkulnya dan pasang badan. Drona lantas berkata; “Wahai Ganggaputra yang sakti…. satu panahmu ini cukup untuk membumihanguskan istana Hastina beserta seluruh isinya. Jika masih ada yang tersisa, panahku siap membantumu melenyapkannya. Karena engkau adalah saudara seperguruanku, sesama murid Parashurama dan satu-satunya orang yang paling saya hormati disini. Tapi apakah engkau lupa sumpahmu bahwa engkaulah benteng terakhir Hastina? Apakah Hastina sudah ditakdirkan hancur oleh bentengnya sendiri?”. Bhisma pun nyadar lantas lunglai bagaikan kain basah tak berdaya. Sang raja cengeng memanfaatkan kebutaannya pura-pura tidak tahu; “Apa yang terjadi? Paman Bhisma… apa yang terjadi? Guru Drona…. apa yang terjadi? Widhura…. apa yang terjadi?”. Tidak ada satupun yang menjawab.

Yudhistira yang sudah keranjingan masih berteriak; “Paman Sakuni, saya masih punya tarohan…. jika kali ini kalah, maka kami berlima menjadi budak. Jika kami menang, kembalikan Draupadi pada kami”. Sakuni menjawab; “Yaaah kalau memang maunya begitu, kami pantang mundur dari tantangan he he he”. Dalam hati inilah yang ditunggu-tunggu. Bima dan adik-adiknya yang sudah konyol tidak bisa berbuat apa-apa. Hatinya membara penuh kemarahan. Tetapi kebiasaan menghormati dan patuh kepada saudara tua tetap mereka pertahankan. Akhirnya benar…. begitu dadu menggelinding, maka tamatlah riwayat Pandhawa sebagai ksatria. Seketika mereka berbah status menjadi budak.

Bima lantas berdiri menendang siapa saja yang dekat sambil berteriak; “Saya bukan budak!!! Kalau kakakku mau menjadi budak kalian, terserah. Tapi saya pantang menjadi budak. Saya tantang semua yang ada disini siapa yang berani melawan saya. Heh kamu Duryodana..!!!. saya bersumpah tidak akan mati sebelum melumat wajahmu yang sombong itu sampai tak berujud. Heh Dussasana !!! saya bersumpah tidak akan mati sebelum meminum darahmu dan melumat jasadmu beserta saudara-saudaramu yang buas seperti hewan liar”. Sumpah Bima disambut dengan petir menggelegar di angkasa meski tidak hujan, sebuah pertanda jagad seisinya menyaksikan dan merestui.

Bhisma didukung Drona segera mengumandangkan maklumat tanpa terlebihdulu memohon ijin sang raja lembam. “Wahai cucu-cucuku semua…. Dengarkan maklumat saya ini!!! Meski terlambat namun lebih baik daripada tidak sama sekali. Draupadi dan Pandhawa adalah orang bebas dan tetap berkasta ksatria. Karena kemenangan Korawa hanyalah tipudaya Sakuni. Namun untuk menebus kesalahan dan kekalahannya, Pandhawa harus menerima hukuman pembuangan di hutan selama 13 tahun. Selama itu Pandhawa tidak memiliki hak maupun memikul kewajiban sebagai ksatria manapun. Di tahun terakhir harus bersembunyi selama setahun. Jika persembunyiannya kebongkar oleh Korawa, maka Pandhawa harus mengulangi hukumannya 13 tahun lagi dengan cara yang sama. Tetapi jika mulus, maka Pandhawa berhak mendapatkan kembali Indraprastha dan seluruh jajahannya. Sedangkan soal tahta Hastinapura, kami akan memperhitungkannya kembali. Demikian maklumat saya, pelindung dan benteng Hastinapura. Siapa saja yang menentang maklumat ini, dengan terpaksa harus berakhir di ujung panah saya”.

Selesai mengumandangkan maklumat, Korawa dan Sakuni kelihatan tidak rela tetapi tidak berani bersuara apapun. Pandawa segera perpamitan kepada para sesepuh dan bergegas menuju hutan. Bhisma dan Drona juga segera meninggalkan tempat. Sang raja cengeng Drestarastra yang buta bergumam; “Mungkin itu baik bagi Pandhawa paman…. tapi.. tapi bagaimana dengan Korawa? Apa Korawa juga setuju? Sangat baik jika setuju…. Tapi jika tidak setuju… apakah tidak sebaiknya dibicarakan lagi tanpa tekanan? Supaya adil kan paman?”. Sayangnya tidak ada yang menjawab. Bhisma dan Drona sudah pergi dari tadi tanpa pamit. Ya itulah orang cengeng dan jago mengeluh… wibawanya habis.

Cemas dan penuh prasangka fantasinya sendiri

Drestarastra hidupnya dipenuhi rasa tidak percaya diri dan penuh prasangka. Berprasangka bahwa karena dia hanya raja pengganti, maka keturunannya tidak punya hak waris atas tahta kerajaan. Tahta harus dikembalikan kepada keturunan Pandhu. Terlebih selain Pandhawa memang tampak lebih cerdas dan mumpuni ketimbang Korawa, juga dari sisi usia, Yudistira lebih tua dari Duryodana. Sehingga prasangka dan kecemburuan kepada Pandhawa makin hari makin dipupuk. Padahal dalam kitab Mahabharata, tidak ada satu tokohpun yang pernah berucap bahwa tahta Hastinapura harus ke tangan Pandhawa. Dalam mendidik anak-anak, Yudhistira memang sepertinya dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota, baik oleh Kunti ibunya, maupun oleh Drona dan Kripa gurunya. Tapi itu dilakukan sejak Pandhu masih bertahta. Sehingga menjadi kebiasaan, meskipun Pandhu sudah tidak ada. Nyatanya Drestarastra pun tidak pe-de untuk meralatnya. Padahal dia sedang jadi raja dan berkuasa atas segalanya, termasuk menunjuk siapa saja yang harus dipersiapkan menjadi putra mahkota. Kekuasaan itu tidak dimanfaatkan malah mengeluh dan curhat setiap hari.

Sepanjang Pandhawa dalam pembuangan, Drestarastra semakin gelisah. Yang terbayang hanya bagaimana kelak setelah 13 tahun dan Pandhawa datang dengan penuh dendam. Berbagai tanda tanya cemas muncul di benaknya. Apakah Pandhawa hanya menuntut kembalinya Indraprastha dan 100 jajahannya? Apakah tahta Hastina juga dimintanya? Bagaimana jika Duryodana mempertahankan? Apakah Bhisma, Drona dan Karna akan membelanya? Bagaimana dengan sumpah Bima yang akan melumat Duryodana dan meminum darah Dussasana? Bhisma dan Drona memang tak terkalahkan. Tapi sumpah Bima sepertinya diamini oleh alam semesta. Apakah Bhisma dan Drona mampu menahan Bima yang sedang didukung oleh kekuatan alam semesta? Kecemasan demi kecemasan muncul silih berganti di pikirannya sepanjang waktu setiap hari.

Padahal itu semua ciptaannya sendiri dengan bahan baku rasa iri dengki dan tidak percaya diri. Nggak nyadar bahwa keluh kesah dan curhatnya setiap harilah yang membekali Korawa dengan dendam dan memupuknya tumbuh subur. Nggak nyadar bahwa rasa dengkinya itulah yang memberi peluang Sakuni untuk menjalankan misi destruktifnya. Nggak nyadar bahwa kelembamannya dalam membiarkan permainan judi dadu itulah yang menciptakan dendam pada Pandhawa.

Berkat pendidikan ibunya, Kunti dan gurunya Drona, Pandhawa yang sejak kecil sudah dimusuhi dan dizalimi Korawa sebenarnya tidak mendendam sedikitpun kepada Korawa. Terlebih Pandhawa terbukti unggul hampir dalam segala hal, tentu tidak ada perlunya dendam. Bahkan pembokongan yang membakarnya hidup-hidup di Bale Sigolo-golo di Waranawata pun tidak menorehkan dendam sama sekali. Terbukti Pandhawa tidak pulang dan melaporkannya kepada Bhisma, Drona maupun sesepuh lain. Pandhawa justru mengembara sambil menebar kebaikan dan membasmi kezaliman di luar Hastinapura. Bima berhasil membunuh Baka raksasa pemangsa manusia di Ekacakra. Bima juga membunuh Hidimba, raksasa buas di hutan Pringgandani. Terlebih akhirnya Bima juga menerima Hidimbi, raksasa cantik adik Hindimba, sebagai isterinya, yang tentunya menjembatani perdamaian antara manusia dan raksasa yang semula musuh bebuyutan. Semua itu mengantarkan Pandhawa menjadi idola masyarakat di luar Hastinapura, dan pada akhirnya berhasil membangun kedaulatan sendiri di Indraprastha, sebuah negara dengan istana megah bagaikan kahyangan Indraloka dan menyublim seketika dari tidak ada menjadi ada dan kasat mata. Dalam versi India, Indraprastha merupakan hadiah dari Dewa Indra. Sedangkan dalam versi Jawa, Indraprastha adalah kerajaan jin di hutan Amarta yang ditaklukkan oleh Bima dan Arjuna.

Tidak berhenti disitu saja. Selama berdaulat di Indraprastha, Pandhawa terus menebar kebaikan dan perdamaian. Klimaksnya adalah keberhasilan Bima membunuh Prabu Jarasandha, raja Magada yang menjajah 97 negara dan memenjarakan semua raja-rajanya. Setewasnya Jarasandha, 97 raja tersebut mengikrarkan diri bertekad bulat menjadi jajahan Indraprastha. Ditambah Magada sendiri serta Pringgondani dan Ekacakra, maka Indraprastha memiliki 100 negara jajahan. Namun hebatnya lagi, para jajahan tersebut diperlakukan sebagai sekutu, sehingga mereka secara aklamasi mengangkat Pandhawa menjadi raja diraja melalui upacara Rajasuya.

Andai saja Drestarastra bukan manusia cengeng yang tidak pe-de, tentu mampu menyimak situasi Pandhawa. Andai saja sang raja cengeng menyimak keadaan Pandhawa, tentu tidak perlu cemas Pandhawa akan meminta mahkota Hastinapura. Indraprastha saja sudah sama gedenya dan makmurnya dengan Hastinapura. Melihat sikap dan sifat kesantunan dan kedermawanan Pandhawa, tidaklah mungkin mereka meminta mahkota Hastinapura yang sudah telanjur diberikan kepada Duryodana. Apalagi Indraprastha ditambah 100 jajahannya menjadikan Hastinapura kecil sekali. Tentu Pandhawa tidak akan mikir sama sekali. Malah menyumbang mungkin saja iya. Jadi apa perlunya ngakal-ngakal dengan judi dadu segala. Sehingga, andaikan Drestarastra tidak membutakan hatinya dengan kecemasan dan kecemburuan, mungkin tidak ada sukan dadu. Jika tidak ada sukan dadu, maka tidak akan ada pembuangan 13 tahun di hutan. Dampaknya tidak ada dendam dan tidak ada perang di Kuruksetra. Korawa bahagia menikmati Hastinapura dan Pandhawa bahagia menikmati Indraprastha bersama 100 negara sekutunya. Tapi apa mau dikata, wong maunya si pengarang memang ya seperti itulah… Siapa tahu lakon-lakon seperti itu memang perlu sebagai pelajaran supaya tidak ditiru.

Klimaks dari kecemasan adalah fatal

Kecemasan dan ketegangan serta ketakutan hadir setiap hari. Akhirnya tibalah saatnya hari terakhir di tahun ke 13 dan persembunyian Pandhawa tetap tidak ditemukan. Sakuni punya mata-mata sendiri dan mereka mengindikasikan Pandhawa sembunyi di istana negara Wiratha. Sebagai seorang penasihat Korawa, tentu Sakuni tidak punya wewenang resmi untuk berkunjung ke Wiratha atas nama kenegaraan. Sebagai tamu juga Sakuni tidak punya teman dekat di Wiratha. Akhirnya Sakuni menggunakan kepokilannya menghasut Duryodana agar menyampaikan keinginannya untuk menjajah Wiratha sebagai bukti kemampuannya jika kelak menjadi negara. “Ayah… aku putra mahkota Hastina…. aku juga raja Indraprastha yang memiliki 100 jajahan. Tapi semua itu tidak diperoleh melalui kaprawiranku sebagai seorang ksatria. Yang satu hanya hadiah dari ayah. Yang lain hasil menang judi dadu. Apa wibawaku di mata rakyat?”, ujar Duryodana. Drestarastra balik menanya; “Apa yang kamu mau nak?”. Jawab Duryodana; “Aku ingin mencoba berperang mencari jajahan. Targetku yang pertama adalah Wiratha. Mohon berikan surat perintah ayah… Saya akan membawa serta guru Drona, eyang Bhisma dan Karna serta prajurit secukupnya”. Meskipun buta, kali ini si cengeng optimis, cukup dengan seorang Bhisma atau Drona saja mungkin sudah cukup untuk menaklukkan Wiratha. Lumayan, andaikan Indraprastha dan Hastinapura direbut kembali oleh Pandhawa, setidaknya masih ada Wiratha. Akhirnya dibuatlah surat perintah membedah Wiratha dipimpin oleh Duryodana.

Ini semua akibat kecemasan yang menyesatkan. Saking cemas dan ketakutannya, yang terbayang cuma keberhasilan Pandhawa merebut kembali Indraprastha dan Hastinapura. Sepertinya keyakinannya itu sudah terkonfirmasi oleh Pandhawa. Yang terbayang hanya kekalahan anak-anaknya dan menjadi kapiran tidak ada tempat. Sehingga diputuskanlah perang membedah Wiratha tanpa sebab yang jelas.

Dengan kekuatan surat perintah raja, akhirnya Bhisma, Drona dan Karna pun berangkat mendampingi Duryodana dan Sakuni yang membawa separoh lebih pasukan tempur Hastinapura. Sesampainya di Wiratha, dalam sekejap pasukan Wiratha kocar kacir oleh pengabaran panaj Bhisma dan Drona. Maka Arjuna yang sedang menyamar tinggal sehari lagi terpaksa untung-untungan turun tangan. Rupanya pengabaran panah Arjuna terbaca oleh Bhisma, Drona maupun Karna. Dengan sigap 3 jagoan tersebut langsung balik kanan dan menyerukan untuk angkat kaki dari Wiratha. Duryodana kaget dan bertanya kenapa harus mundur, padahal pasukan Wiratha sudah kocar-kacir. Ketiganya diam tidak menggubris dan terus menaiki keretanya dan bergegas pulang.

Sepeninggal 3 jagoan itu, Duryodana dan Sakuni tetap melanjutkan perang yang sudah dimulainya. Tanpa diketahuinya, Bima yang menyamar sebagai tukang jagal dan juru masak ikut berbaur dalam pasukan Wiratha yang sudah kocar-kacir. Amukan Bima seorang mampu menewaskan hampir seluruh pasukan Duryodana yang semula sudah di atas angin. Duryodana dan Sakuni beserta seluruh Korawa yang ikut pun segera meloloskan diri lari tunggang langgang menghinari amukan Bima dan hujan panah Arjuna. Lumayan, separo lebih pasukan Hatinapura musnah hanya sekedar untuk membayar kecemasan sang raj cengeng. Artinya, gara-gara takut api malah separoh badan hangus terbakar. Fatal kan?

Kecemasan yang buntu menggiring kepada kefrustrasian dan kenekatan. Gara-gara gagal mendapatkan Wiratha, si raja cengeng akhirnya meniupkan angin kenekatan untuk mempertahankan Hastinapura. Kali ini disampaikan melalui curhat dengan sang isteri, Gandhari. Gandhari pun menyampaikannya kepada Duryodana dan Sakuni. Penyampaian yang “kamithotholen” itu dipahaminya meleset, bukan hanya mempertahankan Hastinapura, melainkan juga Indraprastha.

Keesokan harinya datanglah Sri Krishna sebagai duta Pandhawa untuk menyampaikan tagihan penyelesaian berhubung Pandhawa sudah lulus ujian 13 tahun. Krishna sebenarnya menyampaikannya sangat gamblang. Yang diminta kembali oleh Pandhawa hanya Indraprastha dan 100 jajahannya. Pandhawa tidak mengungkit-ungkit Hastinapura. Tetapi gara-gara kecemasan yang sudah mencapai puncak, pikirannya buntu dan tidak mampu mencerna kalimat Krishna yang gamblang. Sang raja hanya diam seperti gayanya ketika dalam perjamuan sukan dadu 13 tahun silam. Melihat ayahnya diam, Duryodana yang merasa sudah dipesan ibunya tadi pagi, mengira itu sebuah isyarat untuk mengusir sang duta. Duryodana pun segera memerintahkan pasukan untuk mengeroyok Krishna.

Kembali Bhisma dan Drona mengingatkan sang raja untuk menghentikan tingkah Duryodana. Sang raja cengeng pun bertahan dengan kelembamannya yang bebal persis ketika di sesukan dadu 13 tahun silam. Memberdayakan kebutaannya pura-pura bego dan kebingungan tidak paham apa yang sedang terjadi. Tanpa bisa menunggu lama sang raja yang sedang pura-pura bingung, pasukan Duryudhan segera meringkus Krishna. Dan karena kepepet mengatasi pengeroyok sebanyak itu. Krishna lantas bertiwikrama ke ujud aslinya yang konon besarnya melebihi alam raya. Bhisma dan Drona pun segera menyembah dan serempak berseru; “Korawaaaa!!! oh… kalian akan cilaka”.

Dalam epik Mahabharata, konon Krishna adalah gabungan kekuatan Dewa Brahma, Vishnu dan Shiva. Oleh karena itu Krishna juga disebut Sri Mahadewa. Sehingga konon menzalimi Krishna adalah sebuah kesialan yang tanpa ampun. Sebaliknya, menyenangkan Krishna adalah keberuntungan yang tiada tara. Maka dari itu meringkus Krishna yang dilakukan oleh Duryodana dan pasukannya merupakan pertanda kekalahan akan segera tiba bagi Korawa. Terlebih jika sang Bhatara Krishna marah dan bertiwikrama ke ujud aslinya. Pertanda sebuah kecelakaan yang teramat fatal.

Nah… akhirnya kefatalan yang paripurna akan segera tiba. Terlepas dari maunya penulis Mahabharata memang demikian, semua ini akibat kecemasan dan ketakutan yang sudah mencapai puncak. Duryodana boleh saja semangat mempertahankan Hastina dan Indraprastha. Tapi kan bukan decision maker. Jika saja sang raja Drestarastra tidak sedang kalut oleh kecemasan ciptaannya sendiri, tentu si raja gembeng ini sangat mudah memahami bahwa sebenarnya yang diminta hanya Indraprastha dan 100 jajahannya saja. Korawa sebenarnya tidak kehilangan apapun. Bahkan sempat mengenyam nikmatnya Indraprastha selama 13 tahun gratisan. Kenapa kok tidak diberikan saja dan perkara selesai? Lagi pula yang dicemaskan semula kan Hastinapura? Itulah fatalnya sebuah kecemasan manakala mencapai puncak. Dan lakonnya memang sengaja disusun demikian 🙂

Penyimpangan pakem

Penggemar wayang yang membaca tulisan ini mungkin bisa melihat beberapa perbedaan antara tulisan ini dan cerita wayang yang sering ditontonnya. Bisa saja saya yang salah, kurang memahami Mahabharata. Tetapi saya sudah berusaha mencermati bahkan mensinkronisasi antara versi Jawa dan versi India semampu saya. Terlepas dari kemungkinan kekurangan saya, perlu diakui pula bahwa memang banyak juga penyimpangan dalam pewayangan, terlebih untuk lakon-lakon carangan. Mungkin kesalahan penyusunan cerita, atau mungkin juga kesalahan dalang membawakannya. Atau boleh jadi kekeliruan kita memahami ketika menonton. Atau memang sengaja dibelokkan untuk membangun versi sendiri.

Sesama versi Jawa pun muncul sejumlah pakem, seperti pakem Solo, Yogya, Banyumas dan Cirebon. Perbedaan pakem ada yang sekedar tata pagelaran seninya saja, seperti antara Solo dan Yogya. Ada pula yang sampai pakem ceritanya. Misalnya, dalam pakem Banyumas, guru Dronacharya dianggap sebagai pengadu domba yang berfisik cacat dan lemah. Sering kali Drona dijadikan bulan-bulanan oleh anak-anak Pandawa ketika tipu muslihatnya kebongkar. Padahal yang tukang adu domba adalah Sakuni, bukan Drona. Itupun bukan tanpa alasan. Sakuni memang bermisi menghancurkan Hastinapura karena dendam kepada Bhisma seperti yang telah saya ulas di atas.

Sedangkan Drona adalah guru kemiliteran dan pakar kesaktian yang paling ternama di jaman itu. Kemasyuran Drona tidak hanya disegani oleh sesama manusia, bahkan konon dewata pun menghormatinya. Bhisma sang pelindung utama Hastinapura saja menghormatinya. Jadi sangatlah lucu jika Drona dipukuli rame-rame oleh anak-anak Pandawa bak orang bego memasuki kerumunan anak-anak nakal. Lagipula Drona adalah brahmin, yang tentunya sangat dihormati di kalangan masyarakat Hindu.

Kenapa Banyumas membuat pakem yang jauh berseberangan dengan pakem Solo, Yogya maupun India? Tentu saja saya tidak tahu. Tapi bukan tidak mungkin berawal dari kesalahan yang turun temurun tanpa koreksi. Perawatan dan pengembangan budaya tentu pusatnya di keraton, dan keraton adanya di Solo dan Yogya, bukan Banyumas.

Siapa Drestarastra?

Drestarastra sebenarnya adalah anak tertua Wiyasa, brahmin ternama ketika itu. Kaitannya dengan Hastinapura karena sang brahmin mengawini Dewi Amba, janda Prabu Citranggada yang mati muda. Dalam Mahabharata versi Jawa, sang brahmin Wiyasa sempat diangkat menjadi raja pengganti Citranggada dengan jejuluk Prabu Krishna Dwipayana. Wiyasa lengser keprabon setelah menyerahkan tahta kepada putera keduanya, Pandhu Dewayana atau Pandhu Dewanata, adik Drestarastra.

Namun dalam versi India, Viyasa tidak pernah menjadi raja. Kekomplangan tetap dipertahankan Bhisma hingga Pandhu dewasa dan diangkat oleh Bhisma menjadi raja. Sepanjang masa kekomplangan, perintah tertinggi dipegang Bhisma sang pewaris sejati Hastinapura yang tidak menjadi raja karena sumpahnya sendiri.

Drestarastra iri hati berat. Namun dalam keseharian, Pandhu selalu menjunjung sang kakak yang buta itu laksana hulubalang kepada raja. Meskipun Pandhu raja, dalam percakapan keluarga selalu mendahulukan kakaknya. Untuk hal-hal yang hanya berkaitan dengan keluarga kerajaan, Pandhu menempatkan Drestarastra sebagai pengambil keputusan tertinggi kecuali ada Bhisma. Bahkan memanggilnya pun dengan istilah “kakakku junjunganku dan rajaku”. Hendak melakukan apapun, Pandhu selalu mendahulukan memohon restu kakaknya. Karena sikap Pandhu yang sangat santun dan sangat menghormati serta menyayangi sang kakak yang buta itu, kecemburuan Drestarastra tidak berkobar menjadi kedengkian.

Anehnya kedengkian justru muncul setelah Pandhu meninggal. Padahal justru Drestarastra yang menggantikannya. Artinya, apa yang menjadikan rasa cemburu sebenarnya sudah mendapatkan solusi. Tetapi justru dia lebih mendengarkan bisikan setan yang menebar kecemasan dan ketakutan akan Pandhawa anak Pandhu yang disangka kelak akan menggugat sebagai pewaris tahta.

Catatan:
Gambar yang tercantum disini saya jiplak apa adanya dari hasil meng-google tanpa terlebih dulu memohon ijin kepada yang berhak. Namun sengaja saya pilih gambar yang terduplikasi dimana-mana dengan harapan sudah dilazimkan dijiplak tanpa ijin. Rata-rata dari slogan film, terutama garapan B.R. Chopra. Oleh karena itu saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada Mr. Chopra atas kelancangan ini. Apabila ada pihak-pihak yang merasa keberatan, mohon peringatkan saya dan dengan sukarela saya akan segera menghapusnya.

Topik-topik terkait pewayangan

  1. Ajaran KeTuhanan dalam Lakon BIMA SUCI
  2. Wayang tidak Sepenuhnya Teladan
  3. Rupa Mencerminkan Watak
  4. Pemerintah Kera untuk Negeri Kere
  5. Bagaspati – Gambaran Kasih Sayang Seorang Ayah
  6. Yudhistira bukan Pemimpin Baik

wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
2 Comments
  • ANTON HARI
    Posted at 06:58h, 24 December Reply

    “Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)

    “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik yaitu dari sisi di mana beliau menghadiri sendiri suara hiruk pikuk dan langsung terjun ke medan laga. Beliau adalah orang yang mulia dan pahlawan yang gagah berani. Lalu bagaimana kalian menjauhkan diri kalian dari perkara yang Rasulullah bersungguh-sungguh melaluinya seorang diri? Maka jadikanlah dia sebagai panutan kalian dalam perkara ini dan sebagainya.”

  • ANTON HARI
    Posted at 06:59h, 24 December Reply

    “Dan telah terhimpun pada diri Rasulullah sifat-sifat yang terpuji seperti malu, dermawan, pemberani, berwibawa, sambutan yang baik, lemah lembut, memuliakan anak yatim, baik batinnya, jujur dalam ucapan, menjaga diri dari perkara yang mendatangkan maksiat, suci, bersih, suci dirinya dan segala sifat-sifat yang baik”.

Post A Reply to ANTON HARI Cancel Reply