Pikirkan Sebelum Berucap

29 Oct 2013 Pikirkan Sebelum Berucap

Hari saya tulis topik ini adalah Rabu pagi 30 Oktober 2013, pikil 1:57 dini hari dan mudah-mudahan bisa dipaksakan selesai pagi ini juga. Kenapa demikian? Bagi saya, tulisan ini merupakan catatan khusus dalam kehidupan saya. Bagaimana tidak? Tadi sore jam 21 saya dapat telpon tentang berita duka dari salah satu kerabat. Sekitar jam 20 sore tadi, salah seorang sahabat akrab sekaligus paman saya telah dipanggil pulang ke Rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuuun…

Padahal beberapa hari lagi, beliau akan duduk di panggung pilkades dan beliau adalah calon terkuat, kata masyarakat disana. Tentu saja merupakan kejutan luar biasa yang tidak diharapkan. Mudah-mudahan semua pihak, baik keluarga maupun para pendukungnya tabah menghadapi kehendak Sang Maha Pencipta. Tentu saja, berita duka itu juga merupakan pukulan berat bagi saya. Terlebih saya tidak bisa menghadiri karena posisi yang sangat jauh dan sudah ada rencana yang tidak mungkin saya batalkan.

Perpisahan dengan sahabat akrab sekaligus paman, tentu sangat penting artinya bagi siapa saja, termasuk saya. Terlebih perpisahan untuk selamanya. Kenapa saya katakan selamanya? Bukan berarti saya akan hidup selamanya. Setiap orang akan menemui ajalnya. Namun saya tidak tahu, apakah dalam kehidupan setelah mati kelak seseorang bisa bertemu lagi dengan kawan atau keluarganya.

Selain itu, ada hal lain yang bagi saya merupakan sebuah pelajaran untuk tidak mudah berucap. Ada satu ganjalan bagi saya dimana saya merasa harus mengatakan sesuatu, namun tak pernah terucap. Ceritanya demikian…..

Kades terbaik

Di era Orde Baru dulu, beliau sudah pernah jadi kades. Di jaman itu belum ada ceritanya seorang kades berani menolak program tebu rakyat meskipun semua tahu program itu merugikan para pemilik lahan. Jangankan menolak, berkomentar saja bisa langsung mendapat cap PKI. Apa lagi sebagai seorang kepala desa… bisa tamat seketika nasibnya.

Paman saya yang ini lain. Paman jadi kades bukan kehendaknya sendiri, melainkan dukungan masyarakat. Awalnya beliau tetap tidak mau. Namun berkat kuatnya dukungan, maka akhirnya paman nurut, meskipun dia merasa tidak sesuai dengan jiwanya. Maklum, beliau memang tidak cocok dengan iklim birokrasi, karena jiwanya sebenarnya adalah seniman, lebih tepatnya penyanyi, meskipun profesi aslinya guru SD. Saya tahu itu karena meski jenjangnya paman, namun usianya sebaya saya dan dulu teman bermain bersama.

Jiwa seniman yang bebas tentu tidak takut dan tidak bisa dipaksa oleh gertak birokrasi. Sehingga dia tanpa pikir panjang menolak program tebu rakyat yang menyengsarakan petani itu. Digertak ya beliau menyanyi wong dia penyanyi. Namun di balik itu, rakyatpun merasa punya kades yang berpihak pada kepentingannya, tentu memberi dukungan psikis dan moral. Bagimana rakyat tidak mendukung? Wong tanah “bengkok” (jatah kades) saja 1/5 hasilnya beliau peruntukkan pembangunan desa. Desanya menjadi menjadi desa nomor satu ketika itu.

Ketika itu ada satu dusun yang semula tanahnya milik pabrik gula di jaman Belanda. Mulai penggiatan sertifikasi tanah, satu dusun itu nyaris ilegal semua dan sangat terancam terusir meski mereka menempatinya sejak nenek moyangnya dulu. Beliau kuatir tiba-tiba ada orang kaya mengklaim punya sertifikat atas tanah tak bertuan itu, lantas dia upayakan entah bagaimana caranya, akhirnya muncul sertifikat sah bagi seluruh penduduk dukuh itu. Mungkin mendapat dukungan orang agraria yang masih bermoral patriotis barangkali. Tidak ada pungutan biaya sepeserpun. Saking cintanya rakyat dukuh itu kepadanya, maka dukuh itu lantas dinamai dengan nama paman saya itu.

Saya tidak menyaksikan tiap hari karena jauh. Tetapi setiap datang kesana, selain perubahannya nampak di mata, juga suara kanan-kiri sudah cukup untuk menggali informasi. Banyak orang-orang tua di jaman itu yang tiada henti-hentinya memuji paman saya. Katanya, baru kali ini ada kades seperti itu. Sebagai sahabat sekaligus keponakan, saya sangat bangga padanya.

Ucapan yang sebaiknya tidak diucapkan

Dulu, setiap kali mudik ke kampung sana, selalu saya sempatkan ketemu beliau meski hanya beberapa jam. Bukan seperti pertemuan paman dengan keponakannya, melainkan lebih tepat pertemuan dua sahabat karib. Cerita ngalor ngidul soal masa kecil dan soal-soal lain apa saja seketemunya. Kadang jika ada waktu juga jalan bersama sekedar menikmati soto khas disana.

Namanya seorang kades, apa lagi baik, rakyat pun akrab. Kadang sedang asyik ngobrol dengan saya, ujug-ujug datang serombongan orang. Ketika itu memang masa-masa akhir jabatan beliau. Banyak orang yang nggak lihat pangkal ujungnya nyosor mengatakan “bapak aja yang jadi kades lagi”. Bahkan ada yang extrim nggak akan milih jika paman saya nggak mencalonkan diri. Paman saya selalu menjawab “tidak”. Belum pernah sekalipun menjawab selain “tidak”.
Pernah, saking terbawa rasa penasaran, lantas saya nanya kenapa tidak. Lantas beliau menjelaskan. Bahwa jadi kades itu tertekan, terutama pas tahun-tahun awal. Setiap kali ada saja yang datang dari kecamatan atau kantor mana dan mengisyaratkan harus diberi “sesuatu”. Padahal saya nggak memungut “sesuatu” dari rakyat. Berarti saya harus nombokin kan? Selain itu, berarti saya ikut melestarikan budaya yang tidak beradab itu. Demikian keluhnya. Jadi sudahlaah… ini yang sudah telanjur ya sudah… apa boleh buat. Kelak tidak lagi… “ora kere” :O Ora kere artinya mirip amit-amit atau tidak sudi banget.

Bagi saya, meskipun kata “tidak” mungkin masih Ok, namun kurang tepat. Terlebih disertai kata “ora kere”. Rasanya hati saya kurang setuju. Selain saya pribadi juga berharap beliau jadi kades lagi, meski saya sudah bukan penduduk desa itu, juga saya tidak yakin beliau bisa menikmati kembali profesinya sebagai guru yang terikat jam sekolah. Memang jadi kades merasa terbelenggu adanya kasus-kasus yang tidak sesuai dengan nurani beliau yang seorang pendidik. Namun jam dan ruang kerja kades bebas. Kebetulan yang beliau lakukan juga suka blusukan mirip Jokowi. Saya pikir ada kenikmatannya.

Saya ukur baju badan sendiri. Sejak 1996 saya hengkang dari kekangan kantor dan bebas menjadi freelancer sampai ke negeri orang. Saya bayangkan betapa berat andaikan saya harus kembali terikat jam dan ruang kantor. Sehingga saya sangat menyesalkan kenapa beliau berucap penolakan yang sedemikian keras.

Karena kata-kata itu sering diucapkan, setidaknya pas ada saya, hati saya gatel ingin mengingatkan, namun tidak pernah sempat terucap. Selalu saja terlewatkan dan akhirnya lupa. Padahal begitu ketemu kerabat lain, dan membahas kampung, seringkali saya ingat itu dan saya katakan bahwa suatu saat akan saya ingatkan. Kini sudah tidak mungkin lagi …

Ucapan “tidak”nya dikabulkan

Belum lama ini saya mudik 2 kali sebelum lebaran. Rupanya di kampung heboh bahwa November tahun ini akan pilkades lagi. Semula, berita itu bagi saya tidak penting. Toh saya tidak punya hak pilih wong bukan penduduk desa itu. Namun alangkah kagetnya, ternyata paman saya ini mencalonkan diri lagi. Mungkin seperti dulu, atas desakan rakyat… saya tidak tahu persisnya. Ada sedikit rasa nggak enak, entah kenapa,… Yang jelas, begitu saya dengar berita itu, yang langsung teringat adalah kata-katanya dulu “ora kere”.

Lebih kaget lagi setelah mendengar berita tadi sore, beliau telah tiada… padahal pilkades tinggal 2-3 hari lagi. Ada rasa kaget yang mirip dengan ketika mendengar beliau menjadi calon kades lagi, yaitu teringat ucapan yang mirip ikrar itu. Saya tidak tahu apa ada kaitannya antara ucapannya yang sudah 10 tahun lebih itu dengan kejadian tadi sore. Yang pasti, maut adalah takdir.

Selamat jalan pamanku, sahabatku… Kebaikanmu dikenang orang sekampung.. Namamu terpatri menjadi nama dukuh…. mudah-mudahan sesuai peribahasa, “harimau mati meninggalkan belang”. Semoga engkau dalam keadaan khusnul khotimah. Semoga semua kebaikanmu yang banyak saksinya di kampung menjadi bekal terbaikmu menghadap Sang Khaliq. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuuuun …

Berita susulan

Paragraf ini saya tulis menyusul 14 jam setelah tulisan di atas saya posting. Sepanjang 14 jam banyak update yang masuk dari kerabat dan teman-teman. Intinya semua sangat mirip, yaitu:

  • Beliau meninggal sangat di luar dugaan, karena kondisinya sedang sehat wal afiat. Tidak ada keluhan apapun.
  • Muncul spekulasi bahwa persitiwa itu karena serangan dari para pesaingnya melalui jalur “para fisik”. Di kampung memang sangat lazim spekulasi semacam itu.
  • Dugaan saya bahwa beliau mencalonkan diri karena desakan masyarakat ternyata benar, confirmed! Bahkan sebagian masyarakat menyatakan tidak akan memilih jika beliau tidak maju. Berarti seperti dulu lagi. Menang kenyataan ini jika diceritakan sepertinya bombastis. Tetapi itu fakta.
  • Yang melayat banyak sekali, mirip UJ, hanya level kampung.
  • Ada koreksi sedikit, bahwa pilkades bukan 2-3 hari lagi, melainkan 27 Nov 2013. Jadi sekitar sebulan lagi.

Meskipun seperti dongeng, memang tidak bisa dipungkiri, hikayat paman dan sahabat saya yang ini sangat luar biasa untuk ukuran kampung. Belum pernah saya mendengar ada kades atau lurah yang sedemikian dicintai rakyatnya sampai namanya dipatrikan menjadi nama dusun. Begitu mencorong auranya seperti pahlawan di negeri dongeng.

Namun kenyataannya manusia seperti itu, harus diakui, memang ada. Contoh yang paling dekat yang kita lihat saat ini misalnya Jokowi. Mungkin andaikan level sahabat saya ini walikota, barangkali seperti Jokowi ketika di Solo dulu. Andaikan dia gubernur, mungkin seperti Jokowi di DKI sekarang ini.

Dan yang perlu kita sadari lagi… sebaik apapun manusia, tentu ada manusia lain yang tidak suka. Jangankan manusia biasa seperti kita…. Para rasul dan nabi saja yang konon sebaik-baiknya manusia di muka bumi, tetap saja ada musuhnya. Karena memang demikianlah kehidupan.

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
No Comments

Post A Comment