Pemerintah KERA Negeri KERE

16 Sep 2011 Pemerintah KERA Negeri KERE

Alkisah sebuah negara miskin bernama Kiskenda (atau Kishkinda). Dulunya Kiskenda adalah hutan belantara yang sangar mencekam, negerinya para siluman. Di tengahnya ada sebuah gowa, yang juga dikenal sebagai gowa Kiskenda. Di dalam gowa bersemayam raja siluman monster bernama Mahesasura dan ajudannya yang bernama Jatasura. Mahesasura siluman berkepala kerbau dan berbadan manusia raksasa. Sedangkan Jatasura siluman berkepala manusia raksasa dan berbadan kerbau. Kedua siluman itulah yang berkuasa atas seluruh kawasan hutan Kiskenda. Semua makluk di kawasan itu tunduk terjajah olehnya. Kezaliman demi kezaliman berlangsung sehari-hari seolah sesuatu yang lazim dan tidak ada satupun yang berani memprotes apalagi membrontak.

Jangankan protes,… Menunjukkan sikap yang tidak suka saja, tinggal tunggu waktu. Dalam hitungan hari, lenyaplah dia. Siapa saja yang menunjukkan sikap perlawanan, akan lenyap tanpa bekas, diculik siluman pengawal Mahesasura dan dimusnahkan. Kiskenda menjadi negeri yang sangat tertutup. Tidak ada pers manapun yang diperbolehkan membeberkan apa yang terjadi. Bahkan rakyat Kiskenda dipersulit pergi ke negara lain dengan cara harus membayar fiskal yang cukup tinggi. Takut di luar sana dia mendengar cerita-cerita miring tentang Kiskenda yang mempermalukan Mahesasura dan kroninya.

Puncaknya adalah ketika sang Mahesasura menculik 2 bidadari dari kahyangan Suralaya, Dewi Tara dan Dewi Tari. Hyang Pramesti Guru, dewa penguasa Suralaya marah. Namun dalam konstitusi kadewatan, dewa tidak boleh memerangi manusia, binatang maupun siluman secara langsung. Lantas mencari cara, yaitu mencari jagoan dari Marcapada guna menaklukkan Mahesasura dan pasukannya.

Kera Jagoan

Dalam pencariannya di Marcapada, utusan dewata Suralaya yang bernama Narada terbang keliling Marcapada sambil membawa teleskop yang dilengkapi detektor. Bukan detektor suhu seperti yang umum terpasang pada bedil jaman sekarang, tetapi detektor kesaktian dan keberanian. Seminggu lebih keliling Marcapada, akhirnya Narada dikejutkan oleh alarm yang cukup nyaring pada detektor yang dibawanya. Kontan saja teleskop diintipnya tanpa berkedip. Ternyata benar, tampak ada makluk sedang bertapa di tengah hutan Dandaka yang tidak jauh dari Kiskenda. Makluk tersebut seperti manusia, sedikit lebih kecil namun tidak tampak wajahnya, karena menunduk. Dalam hati Narada sangat bersyukur, Tuhan YME berkenan memberi solusi. Tanpa berpikir panjang … siiuuut .. Narada menukik bagaikan elang mengejar mangsa, turun menuju makluk yang sedang bertapa.

Alangkah kagetnya Narada, ternyata makluk tersebut bukan manusia, tetapi kera berbulu coklat. Hati kecilnya berbisik, “wah.. kirain manusia.. kok kera begini.. gimana ngomongnya”. Alangkah lebih kaget lagi ternyata sang kera mendengar bisikan hati Narada dan langsung berbicara seperti manusia: “Pukulun, nama saya Subali (atau Vali), meskipun kera, saya pandai berbicara dan memiliki budi dan budaya mirip manusia”. Narada langsung nyahut: “Oh iya-iya… saya sudah tahu Subali”. Biasa.. dewa malu kalau dicap tidak tahu.

Karena sudah kepergok dan takut dibilang nyasar, akhirnya Narada pun terpaksa mengemukakan maksudnya, mencari jagoan guna merebut kembali Dewi Tara dan Dewi Tari dari tangan Mahesasura dan Jatasura. Seperti apa yang dititahkan Hyang Pramesti Guru, barang siapa berhasil merebut kembali Dewi Tara dan Dewi Tari, maka dia berhak mempersunting 2 bidadari tersebut sekaligus. Langsung saja Subali mengangguk kegirangan. Kapan lagi ada kesempatan kera mengawini bidadari kalau nggak ada momentum ginian. Dua bidadari lagi .. 🙂

Subali sudah tahu persis kehebatan dan keganasan Mahesasura dan Jatasura. Meskipun termasuk jajaran paling jagoan di antara sesama kera, rasa takut dan was-was tentu saja ada. Namun kali ini Subali memiliki senjata yang amat ampuh guna membangkitkan keberanian, yaitu foto Dewi Tara dan Dewi Tari yang diperolehnya dari Narada. Bayangkan, sehari-hari yang ada hanya kera betina. Tentu apa pun ia lakukan demi mendapatkan bidadari nan cantik jelita itu. Nyawa pun dia relakan. Kapan lagi ada kesempatan semacam ini.

Tirani siluman runtuh, Bendera Kera berkibar

Ringkas cerita, Subali sang jagoan kera dibantu oleh Sugriwa (atau Sugreev) dan ribuan kera lain bergerak menuju Kiskenda. Subali seorang diri menyelinap masuk ke gowa dan berhasil membantai Mahesasura dan Jatasura di dalam gowa. Sementara Sugriwa dan pasukannya menyergap dan menghancurkan seluruh pasukan siluman yang sedang tidak siap hingga bertekuk lutut. Hanya dalam beberapa hari kekuasaan siluman Ksikenda tumbang tanpa syarat oleh pasukan kera.

Sejak itu Kiskenda yang semula sunyi dan mencekam berubah menjadi kawasan yang ramai hingar-bingar dengan riuhnya suara kera. Bendera siluman diturunkan dan bendera kera dikibarkan. Di sana sini terdengar nyanyian kera kegirangan yang diselingi dengan hujatan kepada siluman. Bukan saja kera yang ikut berperang yang bersiul-siul. Kera-kera yang semasa pertempuran cuman ngumpet ketakutan pun tidak kalah riuhnya. Teriak sana teriak sini setiap hari meramaikan suasana. Bahkan kera-kera pengecut itu lebih agresif. Mereka bersemangat membentuk LSM-LSM dan melakukan berbagai gerakan layaknya laskar yang sedang mempersiapkan pertempuran. Kiskenda seakan tidak ada malam lagi.

Kekuasaan atas kawasan Kiskenda sementara dipegang berdua Subali dan Sugriwa. Sejumlah tatanan dibenahi menjadi lebih demokratis. Pers yang semula dibungkam oleh Mahesasura, dibebaskan. Bahkan kera-kera betina telanjang pun menghiasi beberapa media. Berkumpul dan berkelompok bukan lagi larangan. Para kera mulai membentuk kelompoknya masing-masing. Ada kelompok-kelompok yang berbasis jenis, misalnya kelompok beruk, kunyuk, monyet, kethek-ogleng, kingkong dll. Ada kelompok-kelompok yang berbasis warna bulu, misalnya kera merah, kera hitam dll.

Pendidikan bobrok, raja iblis dapat honoriskausa

Era kekuasaan kera memang penuh keganjilan. Fanatisme jenis dan warna bulu saja yang kian meruncing. Sementara pendidikan semakin bobrok. Disana-sini rame tawuran. Dari sekian banyak generasi muda, hanya Hanuman, Hanggada dan Hanila yang tampak intelektualitasnya. Mungkin ini mengindikasikan mahal dan terbatasnya pendidikan. Bukannya nyadar pentingnya pendidikan bagi generasi muda. Bukannya mementingkan pengembangan daya tampung padepokan-padepokan agar memadahi sesuai populasi yang ada. Upayanya malah memelintir paradigma untuk mencari pembenaran bahwa pendidikan hanya bagi mereka yang pinter dan kaya saja. Kualitas pendidikan bener-bener ancur-ancuran. Para pendidik hanya tukang ngoceh yang tahunya cuman teori dan sandiwara seperti jurus, gata maupun embhu saja. Tidak ada pelajaran praktek tarung, kumite maupun randore yang berhadapan dengan dunia nyata. Bagaimana mungkin mengajar praktek wong seumur hidup menjadi guru nggak pernah praktek? Peralatan praktek yang ada juga cuman barang-barang kuno, panah kropos, tombak bengkok, pedang patahan, kereta bobrol dan kuda kurus kudisan. Yang menonjol hanya kesombongannya. Beberapa padepokan ternama gayanya seperti padepokan yang hebat saja. Siswa dan cantriknya hebat-hebat. Ya iya saja wong yang masuk kesana hanya monyet-monyet pinter dan kaya. Kenyung pinter sih nggak usah diajarin… cukup dikasih buku saja pasti cepet tahu. Diajarin beruk kumprung malah distorsi. Kecerdasannya yang mestinya mampu berinovasi menciptakan strategi baru justru kepatok harus ngikutin prosedur konyol para pengajar buta praktek dan berwawasan sempit. Akhirnya yang dihasilkan sedikit sekali yang menjadi pandekar-pandekar sakti yang pembrani dan mumpuni. Kebanyakan hanya preman pengecut bersabuk hitam yang beraninya hanya tawuran mengandalkan besarnya geng dan sangarnya tampang. Namun yang lucu justru preman-preman itulah yang mendapat tempat di masyarakat.

Sulitnya, masyarakat kera Kiskenda memang umumnya mudah terbius silau oleh warna sabuk, bukan reputasinya. Dikiranya, warna sabuk berbanding lurus dengan tingkat kepakaran. Dikiranya, setiap sabuk hitam adalah pendekar. Mereka tidak nyadar bahwa warna sabuk tidak diperoleh dari pertempuran yang sebenarnya. Warna sabuk hanyalah merupakan tanda lulus belajar, dan kelulusan tidak selalu menggambarkan kepakaran. Sangat tergantung dari siapa yang mengajarnya dan materi apa yang diujikan. Di pertempuran nyata, tidak kurang sabuk hitam tumbang oleh sabuk coklat atau biru. Namun masyarakat tidak nyadar pentingnya pengalaman dan reputasi. Mereka lebih menokohkan pemegang sabuk hitam yang baru lulus dari padepokan, ketimbang pemegang sabuk biru meskipun sudah puluhan kali berhasil memukul mundur musuh di medan laga.

Hanuman sakti bukan karena dididik di padepokan Subali maupun Sugriwa. Meskipun kualitas individunya bagus, Hanoman hanyalah anak janda miskin Anjani, tidak mungkin bisa masuk padepokan komersil seperti itu. Namun berkat kualitas individunya, meskipun hanya bermodalkan sabuk putih, Hanuman mampu meraih reputasi jauh di atas kera-kera lain yang bersabuk hitam. Beruntung Hanuman mendapat pendidikan murah di luar Kiskenda. Dia berguru kepada Batara Bayu dan justru disana lah dia mendapatkan ilmu yang selaras antara teori dan prakteknya hingga mencapai sabuk hitam. Karena para guru di padepokan Batara Bayu rata-rata benar-benar pendidik yang berpengalaman tempur yang mumpuni, bukan sekedar tukang ngoceh yang mewakili padepokan menjual eceran setiap jurus. Mereka mengajarkan teori jurus seperlunya saja. Namun semua yang telah diajarkan dilanjutkan dengan praktek aplikasinya dalam pertarungan sesuai pengalamannya. Memang sangat berbeda antara mengajar berdasarkan teori buku saja dengan mengajar berdasarkan pengalaman nyata. Berbagai contoh kasus dan resikonya dibahas dan dipraktekkan. Sehingga ilmu yang didapatkan murid benar-benar menjadi bekal mengarungi kehidupan kelak setelah lulus. Hal ini bisa dibuktikan, meskipun Hanuman kalah kekar dibandingkan Hanggada, tetapi selalu unggul dalam melakukan tugasnya.

Namun dasar kera, apapun yang dilakukan tetap saja lucu. Bangsanya sendiri keleleran tidak mampu menjangkau pendidikan, eh.. bangsa lain malah diberi kelonggaran. Rahwana sang raja iblis dari Alengka yang sangat kejam dan bengis malah dianugerahi ilmu “aji Pancasona honoriskausa” dari padepokan Subali, padepokan yang konon paling top di seantero Kiskenda. Padahal banyak warga kera kere yang jadi budak di Alengka tewas dipancung gara-gara kesalahan sepele atau bahkan fitnah. Konyolnya lagi, Rahwana setelah mendapatkan “Aji Pancasona honoriskausa” bukannya menghormati Subali, malah semakin meremehkan Subali. Mungkin ingin menunjukkan kepada dunia bahwa intelektualitas dirinya lebih tinggi ketimbang padepokan Subali. Aneh dan lucu kan?

Mulai eker-ekeran

Namanya juga kera.. tangannya panjang, jari-jarinya panjang kuat dan luwes. Kakinya mirip tangan, memiliki telapak dan jari-jari seluwes tangan dan memang bisa difungsikan menjadi tangan. Kalau duduk, kedua kakinya bisa dijadikan tangan, sehingga seperti memiliki 4 tangan. Tentu saja bisa nuding ke 4 penjuru angin. Dan ke-empat-nya juga bisa tandatangan sendiri-sendiri. Mulutnya pun memiliki kantong yang cukup besar di balik kedua pipinya. Sehingga tidak aneh kera bisa menghabiskan makanan melebihi kapasitas perutnya. Karena sebagian masuk ke kantong pipi kanan dan kiri.

Sifat dan naluri keserakahan kera membuat Kiskenda tampak aman hanya sekejap. Krisis belum lagi reda sejak tumbangnya tirani siluman, sudah disusul pertikaian antar kelompok. Kelompok kunyuk menentang kelompok beruk. Kelompok monyet dan kingkong juga saling menghujat. Mereka saling mengklaim wilayah-wilayah pangan dan berlomba menghabisinya. Kiskenda yang semula meskipun mencekam tapi banyak buah-buahan mateng di pohon nggak ada yang berani mengganggu, kini ludes. Tidak ada lagi buah. Bahkan bunga dan daun pucuk pun ludes dilahap para kera-kera yang merasa kuat tanpa menimbang apa yang harus disisakan. Kiskenda dalam sekejap menjadi negeri kere yang amat gersang.

Puncaknya adalah sengketa antara Subali dan Sugriwa. Sugriwa dituduh pernah mengkhianati Subali dengan menutup pintu gowa dengan batu besar ketika Subali sedang menyelinap masuk gowa hendak membunuh Mahesasura dan Jatasura. Sedangkan menurut pengakuan Sugriwa, gowa itu ditutupnya karena dianggapnya Subali telah tewas. Hal itu sesuai pesan Subali sendiri, jika dari dalam gowa mengalir darah berwarna putih, berarti dirinya telah tewas, maka tutuplah pintu gowa dengan batu yang seberat gunung agar Mahesasura dan Jatasura tidak bisa keluar. Karena kalau raja siluman itu keluar, tentu pasukan kera akan musnah dalam sekejap. Nah ternyata ketika Subali sudah masuk gowa, memang ada darah putih yang mengalir keluar bersama-sama dengan derasnya darah merah. Oleh karena itu dianggap Subali telah tewas. Seluruh petinggi kera sepakat untuk menutup pintu gowa sesuai pesan Subali. Maka diutuslah sang Hanuman, kera yang memiliki tenaga raksasa, untuk mengangkat batu sebesar bukit dan menyumbatkannya di mulut gowa.

Sengketa Subali-Sugriwa tidak bisa diadili secara hukum. Kedua pihak memiliki argumentasi yang kuat. Terlebih hukumnya memang semrawut penuh permainan para mafia. Akhirnya sengketa berlanjut ke benturan fisik, dan puncaknya adalah pertempuran antara Subali dan para pendukungnya melawan Sugriwa dan para pendukungnya.

Dimanfaatkan pihak asing

Pertempuran antara Subali dan Sugriwa berakhir dengan kematian Sibali di ujung panah Rama Wijaya, orang asing yang kebetulan sedang berada di sekitar Kiskenda. Rama yang ditemani adiknya, Laksmana ketika itu sedang kebingungan karena isterinya, Shinta diculik oleh Rahwana, raja Alengka. Rama ingin menembus masuk istana Alengka tetapi tidak mungkin karena tidak memiliki pasukan yang cukup untuk menembus kekuatan militer Alengka. Seperti pucuk dicinta ulam tiba, ujug-ujug Hanuman dkk menghadap dan mohon bantuan untuk membunuh Subali. Tanpa berpikir panjang, Rama pemanah ulung itu langsung menyanggupinya dan .. tewaslah Subali dengan jantung berlobang tanpa tahu siapa yang mengirimkan panah.

Sejak itu, Kiskenda bukan lagi kawasan merdeka. Meskipun Sugriwa yang duduk di singgasana, tetapi Rama lah penguasa yang sebenarnya. Seluruh kebijakan pemerintahan termasuk kemiliteran harus menunggu persetujuan Rama atau setidaknya Laksana. Sungguh keanehan yang sempurna … perorangan menguasai negara dan rajanya. Tanpa disadari, militer Kiskenda sebenarnya adalah pasukan Rama. Rama lah pemimpin Kiskenda yang sebenarnya. Dan kelak militer Kiskenda inilah yang digunakan Rama untuk menggempur Alengka untuk urusan pribadi. Hanya sedikit yang pulang dengan selamat. Yang lain binasa dan hanya pulang nama. Itupun bagi mereka yang sudah bernama. Alengka kalah, Rahwana dan kroninya tewas, dan Rama mendapatkan kembali isteri tercintanya, Shinta. Namun demikian, Kiskenda tidak mendapatkan apa-apa dan tetap tidak merdeka. Ya itulah bodohnya kera. Galaknya cuman pada bangsanya sendiri.

Bangga jadi tumbal

Sepertinya tumbangnya Alengka merupakan keberhasilan sebuah perjuangan yang mulia. Kemenangan yang membanggakan. Nggak nyadar bahwa mereka para kera itu sebenarnya keok dan tetap kere, bahkan menjadi jajahan orang asing (Rama). Kalau dirinci, dari awal memang sudah bodoh. Menyingkirkan Subali dengan bantuan orang asing (Rama) merupakan ketololan pertama. Kerugian di balik peristiwa itu tak terkirakan jumlahnya, hanya sekedar membayar sebutir anak panah Rama.

Kebanggaan berikutnya adalah membangun tambak (bendungan) di laut untuk penyeberangan dari Kiskenda ke Alengka. Bayangkan… laut kok ditambak??? Sungguh ruarrr biasa! Nggak nyadar itu sebuah ketololan yang menghabiskan dana yang tak terkira. Tidak hanya itu, ribuan kera juga ludes menjadi santapan makluk laut seperti Yuyu Rumpung dan Bajul Sengara. Rama memang tidak rugi apapun. Yang rugi mutlak pihak Kiskenda. Ini sebuah ketololan intelektual. Kenapa tidak bikin perahu saja? Toh banyak pohon besar di rimba Kiskenda. Otak siapa yang membuat gagasan tersebut? Nah itulah akibat bobroknya pendidikan. Banyak pemegang sabuk hitam yang tidak tahu apa-apa menjadi pembisik sembari mencari keuntungan. Maklum, namanya juga negeri kere, semua kera bosen dan lelah jadi kere dan pengen segera kaya. Dikaranglah proyek dusta demi sesuap nasi dan semangkuk berlian. Sepertinya mereka nekad melacurkan intelektualitasnya. Padahal tidak… memang benar-benar tidak tahu. Mereka bukan laskar yang memiliki reputasi dalam pertarungan maupun pertempuran. Mereka hanyalah pemegang sabuk hitam karena telah menyelesaikan serangkaian proses pendidikan. Tentu saja tahunya hanya sebatas materi yang diujikan sang guru. Apesnya lagi sang guru pun tidak punya pengalaman apapun selain membaca buku. Jadi tidak aneh jika yang dilakukan membendung laut. Yang mempekerjakan dan yang dipekerjakan sama-sama tidak tahu.

Finalnya adalah perang tawuran di sarang musuh. Keberanian yang sangat membanggakan, nglurug ke sarang musuh yang kondang ditakuti negara lain. Mengobrak-abrik musuh di sarangnya adalah pekerjaan pasukan elit seperti Hanuman. Kali ini dilakukan oleh pasukan rakyat yang bahkan sebagian besar belum pernah pegang senjata. Lagi pula mereka adalah sisa dari laskar pembangun tambak yang kelelahan. Tentu ibarat sulung mlembu geni, maju seribu gugur sembilan ratus sembilan puluh. Nyaris tidak ada yang tersisa selain pasukan elit yang dipimpin oleh Hanuman. Dan kenyataannya, pasukan Hanuman lah yang menghabisi hampir seluruh tentara Alengka, termasuk gembongnya, Sang Rahwana. Padahal, itu kemenangan semu. Karena pasukan Hanuman pun sebenarnya tidak mampu menembus barisan pasukan elit Alengka. Kebetulan di pihak Alengka terjadi perpecahan keluarga bangsawan, dimana Gunawan Wibisana, adik Rahwana merasa sakit hati dan membelot memihak Kiskenda. Atas petunjuk Gunawan Wibisana lah pasukan Hanuman menggempur sejumlah titik lemah semua pasukan elit Alengka yang akhirnya mampu mengalahkan Rahwana.

Nah.. pertanyaannya; kenapa harus mengirimkan laskar kera sebanyak itu yang hanya akan menjadi korban? Padahal sudah dapat petunjuk dari Gunawan Wibisana sejumlah titik lemah Alengka. Kenapa bukan pasukan Hanuman saja yang berangkat, yang sudah jelas mampu melaksanakan petunjuk sang pembelot Alengka tersebut? Seusai perang, Kiskenda tentu menjadi negara yang lemah karena kehilangan jutaan laskar, rakyat dan harta, sehingga makin mudah diatur oleh Rama. Rakyat kera yang tersisa semakin kere. Kebodohan dan kegembelan semakin merajalela. Dan yang paling memilukan, Kiskenda bukan lagi negara berdaulat. Meskipun Sugriwa masih duduk di singgasana, tetapi semua kebijakan dan peraturan harus atas persetujuan Rama.

Kalau dikilas-balik, semua ini apakah rekayasa politik Rama mencari pendukung setia? Ataukah semata-mata keserakahan kera yang tolol? Jangan-jangan dua-duanya 🙂 Padahal, andaikan dulu tidak melakukan ketololan membunuh Subali pinjam tangan orang asing, Kiskenda masih menjadi negara merdeka yang berkedaulatan penuh. Tidak perlu mengorbankan jutaan nyawa dan harta tak terkira untuk memerangi Alengka. Lagi pula apa sih yang sebenarnya dicari? Bukankah semua itu demi kepentingan pribadi Rama mendapatkan kembali Shinta, isterinya yang diculik Rahwana? Sama sekali tidak ada kaitanya dengan kepentingan rakyat kera Kiskenda. Dasar pemerintah kunyuk tolol… kerugian selangit gitu masih bisa tersenyum puas hanya gara-gara selembar sertifikat ISO “pengikut Rama”. Hanya itu yang didapatkan.. dan Kiskenda tetap menjadi negeri kere sampai akhirnya hancur lebur oleh perubahan jaman.

Akhir yang tragis

Seperti apakah masa depan negeri kere Kiskenda di bawah pemerintahan kera tolol? Naudzubillah… sangat tragis. Kiskenda yang lemah itu selamanya menjadi jajahan Rama yang setia. Entah kesetiaan ataukah karena lemahnya ekonomi dan merosotnya moral para kera, baik rakyat maupun pejabat, hari demi hari kian terpuruk. Hingga pada akhirnya, ketika Rama merubah strategi politiknya untuk bergabung dengan Kresna (atau Krishna), Kiskenda hancur total. Jutaan kera binasa oleh ksatria Indraprastha dan hanya Hanuman seekor yang tersisa. Kiskenda pun hilang statusnya sebagai negara, berubah menjadi kawasan gersang tak berpenghuni. Akhirnya, puing-puing istana Kiskenda dijadikan tempat bertapa Hanuman dan diberi nama Pertapan Kendalisada.

Sungguh memilukan. Sebuah negara yang semula berdaulat, tergelincir oleh kebodohan dan kerakusan menjadi negeri kere yang terjajah, dan akhirnya hanya menjadi seonggok pertapaan kera tua yang sedang menungu ajal tiba. Bagi anda yang suka nonton wayang pasti tahu lakon “Rama nitis”.

Topik-topik terkait pewayangan

  1. Ajaran KeTuhanan dalam Lakon BIMA SUCI
  2. Wayang tidak Sepenuhnya Teladan
  3. Yudhistira bukan Pemimpin Baik
  4. Rupa Mencerminkan Watak
  5. Bagaspati – Gambaran Kasih Sayang Seorang Ayah
  6. Raja Gemar Mengeluh, Raja Demen Curhat
mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
3 Comments
  • EKA SUTANTI
    Posted at 01:06h, 23 September Reply

    Mantap Ceritanya, negara kita gitu juga nggak ya?

  • Deru Sudibyo
    Posted at 20:03h, 27 September Reply

    Maaf baru balas. Ini adalah cuplikan Ramayana versi pawayangan. Bedanya, di pawayangan tingkah laku para kera yang menggadaikan kedaulatannya dan berkorban demi Rama dianggap sebuah tindakan positif karena menjadi pengikut Rama adalah hal yang positif.

  • koko adyarto
    Posted at 16:17h, 31 May Reply

    Cerita yang bagus, tapi mungkin saya harus baca berulang agar paham maksud yang ingin disampaikan. Garis besar saya suka

Post A Reply to EKA SUTANTI Cancel Reply