Open Source

22 Nov 2011 Open Source

Tidak terlalu serius tapi saya lakukan terus-menerus menyimak perihal open-source diberbagai forum diskusi. Rupanya, intinya adalah semacam gerakan yang menganggap membisniskan software tanpa memberikan sourcecode-nya adalah sebuah kezaliman. Kalo kita beli hardware seperti komputer, mobil, rumah dll, seutuhnya apa yang sudah kita beli menjadi milik kita dan kita bisa bongkar habis sampai kita tahu jeroannya. Soal kita tetap tidak tahu meskipun telah kita bongkar, tidak masalah, karena kita yang bodoh, namun yang jelas sang produsen tidak melakukan upaya untuk menutup-nutupi.

Sedangkan software, yang dipasarkan hanya versi binernya, yaitu object codes, yang tidak bisa ditampilkan logiknya melalui sarana penampil yang lazim. Sourcecode sengaja diumpetin agar konsumen tidak tahu dan tidak bisa membongkarnya. Ini adalah kenakalan, bahkan dianggap kezaliman atau penipuan. .Setujukah anda?

Kalo anda pemakai atau konsumen, jelas setuju. Kalo anda produsen, pasti tidak setuju. Jika anda bukan pemakai dan bukan produsen, maka jika setuju, anda akan dianggap sebagai pahlawan bagi para konsumen, tapi nyebelin bagi produsen. Sebaliknya, jika tidak setuju, anda akan dianggap kumprung oleh konsumen, tapi anda dipuji oleh produsen.

Di sisi bisnis seharusnya yang paling diuntungkan adalah kaum profesional penjaja layanan, terutama software development. Sayangnya kesempatan yang ada biasanya seputar instalasi dan administrasi saja. Paling banter scripting. Kenapa demikian? Karena vendor sudah menyediakan sejumlah aplkasi vital yang banyak diperlukan, dan… seperti biasa … pengguna lebih percaya kepada vendor. So … apa yang didapat dari fanatisme perorangan soal open-source?

Siapa yang zalim?

Meskipun masih di kelas gurem, saya termasuk produsen software. Dalam hal ini saya ingin berada di lorong yang adil. Hemat saya, selama konsumen mendapatkan fungsi yang diharapkan dan tidak merasa dirugikan, maka tidak ada kezaliman, meskipun harus membayar mahal dan dapat salinan binernya saja, Apalagi proses pembuatan produk tersebut harus menggunakan tingkat kepakaran yang memadahi. Keenakan yang mencontek jika sourcecode-nya ikut dipublikasikan.

Saya bikin produk-produk otomasi zJOS/Sekar, zJOS/Puspa dan XDI/AutoXfer dengan menguras semua kemampuan kepakaran saya selama 2 tahun tanpa henti, sehari 18-20 jam dan seminggu 7 hari, tidak ada libur maupun cuti. Selama fungsi yang saya janjikan terwujud, maka sudah selayaknya saya mendapat imbalan ratusan juta rupiah setiap tahun dari setiap pemakai tanpa harus mempublikasi sourcecode-nya. Selain upah jerih payah juga ada nilai intelektual yang patut dihargai. Karena, diakui atau tidak, tak banyak orang IT yang mampu melakukan itu. Bahkan di kalangan produsen pun tidak setiap vendor mampu menbuat produk otomasi. Lagi pula yang terpenting, kenyataannya pemakai bahkan berani membayar jauh lebih tinggi untuk produk-produk asing dengan fungsi serupa dan tetap merasa diuntungkan. Lantas dimana kezaliman itu?

Bahkan seandainya saya jual ala open-source, boleh jadi mendapatkan jauh berlipat lebih banyak uang. Bayangkan saja… layanan software engineering untuk system-level program tidak mungkin saya jual 10 USD/jam seperti bikin web. Setidaknya 150 USD/jam. Katakanlah 18 jam sehari selama 2 tahun. Maka yang saya dapatkan setidaknya 1.87 juta USD atau Rp 16.5 miliar, dan saya yakin pasti 100% halal. Tahunannya pasti saya akan menerima bayaran yang sama dari layanan perawatan, seperti jika saya jual sebagai produk komersil. Meskipun tidak berhak menjual salinannya ke konsumen lain, tapi kenyataannya mah cincai lah … Saya pasti punya salinan yang setiap saat bisa saya rubah sedikit untuk konsumen lain. Apakah ini yang namanya murah? Kalo klien mau bayar, saya juga lebih seneng cara ini.

Sebaliknya, orang lain dari aliran open-source menjajakan layanan pembuatan software hanya minta dibayar tenaga profesionalnya saja bisa jadi zalim jika fungsi yang dijanjikannya tidak terbukti meskipun salinan sourcecode-nya diberikan. Lebih-lebih jika yang dibikin hanya web dan script sederhana dengan bahan baku dan peralatan yang serba GPL tapi yang dikeruk miliaran rupiah. Caranya dengan merentang jadwal sampai berbulan-bulan dan memasang sekompi SDM boneka untuk me-markup jumlah mandays mentang-mentang yang punya hajat buta IT. Sunggih kezaliman yang nista. Lebih parah lagi jika ternyata sahibul hajat melek IT tapi pura-pura tidak tahu karena ada bagi hasil di balik pintu. Bahkan ada yang keterlaluan menanam server sendiri dengan koneksi permanen cuman untuk aplikasi web kecil. Selain untuk mendongkrak lagi nilai proyek, mungkin juga merasa malu hati proyek puluhan miliar kok semrawut cuman orang doank nggak ada benda IT yang kelihatan 🙂

Maaf ini bukan sedang menuduh kaum open-source jahat seperti ini. Mereka kebanyakan orang-orang profesional yang mumpuni. Namun memang saya pernah tak sengaja melihat naskah proyek open-source yang senista itu. Tapi itu hanyalah oknum. Oknum-oknum non open-source yang lebih nista dari itu juga banyak. Moral mah tergantung manusianya.

Non open-source bukan tak mau beramal

Agama mengajarkan kita untuk beramal. Terlebih agama Islam, tidak sekedar mewajibkan, bahkan memberikan sejumlah formula baku yang sangat jelas berapa persen pengasilan kita yang diharamkan kita manfaatkan selain diberikan kepada fakir miskin. Tetapi obyeknya panghasilan, bukan sourcecodes, dan sasarannya fakir-miskin, bukan SDM IT.

Agama (terutama Islam) juga mengajarkan kita untuk mengamalkan ilmu. Apakah sourcecodes termasuk ilmu? I don’t think so. Ilmunya adalah teknik programming. Sourcecodes boleh saja dianggap ilmu. Tapi jika sourcecodes tersebut adalah sebuah paket solusi lengkap, apakah masih dianggap ilmu? Justru memberikan sourcecodes paket solusi lengkap bisa menyulap seseorang yang tidak pernah belajar programming tahu-tahu bisa bikin program. Mending kalo menyalin karya orang lain untuk belajar atau hanya sekedar iseng. Bagaimana jika ternyata itu proyek yang menghasilkan duit banyak?

Omong kosong jika ada seorang SDM IT tidak pernah membutuhkan software karya orang lain. Omong kosong jika ada seorang SDM IT tidak pernah membutuhkan sourcecodes karya orang lain. Karena di dunia ini memang kita harus berbagi. Untuk itu sudah ada ruang yang khusus diperuntukkan bagi siapa saja yang mau menymbangkan ketrampilannya melalui berbagi software bahkan hingga ke tingkat sourcecodes. Ruang ini lazim dinamakan freeware. Kita bisa ngintip berbagai maillist atau forum untuk mengetahui apa saja yang sedang dibutuhkan sesama SDM IT. Jika kita merasa tersentuh dan punya kemampuan, kenapa tidak, kita bikin program dan sumbangkan kepada mereka gratisan sebagai freeware.

Dimana untungnya dan siapa yang diuntungkan?

Hardware tidak mungkin gratis. Namun software selama diklaim sebagai GPL, konon gratis. Yang berbiaya hanya layanannya. Tapi karena layanan profesional sudah ada pakemnya, tentu hitungannya tidak akan jauh-jauh dari hitungan saya di atas. Lantas murahnya di sebelah mananya? OS dan utilitas GPL memang murah, karena hanya biaya instalasi. HTTP server juga ada yang GPL. Aplikasi HTTP juga banyak yang GPL. Tapi apa ada produk otomasi yang di-GPL-kan? Apa ada database engine yang GPL? Kalo mau GPL harus buka proyek untuk bikin sendiri. Waaah… berabe banget. Kalo yang nggak punya jam terbang systems programming, bikin system-level program sekelas otomasi atau DB engine bisa makan waktu puluhan tahun bahkan seumur hidup dan belum tentu jadi wujud. Kalo pun jadi wujud dan konsumen sabar menunggu, harus dibayar berapa jika tarifnya 150 USD/jam ? he he 🙂

Nah… andaikan slogan murah itu beneran, tidak ada development yang memakan mandays profesional yang mahal, sehingga TCO-nya bener-bener rendah dan ROI-nya bagus. Lantas siapa sih yang duntungkan? Kalo yang punya hajat perorangan, bisnis sekelas warnet atau sekolahan, mungkin beda sejuta dua juta rupiah masih patut dipertimbangkan. Kita akan dianggap pahlawan jika sanggup menekan biaya sejuta dua juta rupiah.

Tapi jika yang punya hajat setara pemerintah atau bank BUMN, kayaknya beda-beda beberapa puluh miliar rupiah sih nggak ngaruh untuk sebuah penggelaran IT total skala nasional. Ooops.. tapi jangan coba-coba selingkuh lho… Rakyat sudah bisa membaca. Justru yang lebih ngaruh adalah ketepatan waktu dan kehandalan teknologinya. Sistem yang didominasi apllikasi mission-critical, tentu berani bayar Rp 10 triliun untuk terbukti yang sudah jelas-jelas terbukti kehandalannya ketimbang bayar Rp 100 juta untuk mendapatkan teknologi yang belum ada buktinya. Karena kegagalan operasi sistem bisa bikin kerugian puluhan triliun.

Perlukah mendukung Open-Source?

Hemat saya sangat perlu. Kenapa? Dari sana kita bisa belajar banyak. Kita bisa menyimak temuan-temuan algoritma baru yang belum masuk dalam buku pelajaran. Dari sana kita bisa berbagi pengalaman secara langsung.

Namun yang perlu diingat, tidak perlu fanatik seperti penganut sekte kepercayaan. Mending kita ngaca diri. Sudah berapa lama menganut open source, dan sudah seberapa jauh ketrampilan yang kita dapatkan dari pergaulan berbagi sourcecodes. Sudah seberapa banyak lagoritma baru yang kita dapatkan dari sana dan sudah seberapa pintar kita menerapkan algoritma-algoritma tersebut. Karena kalo fanatisme hanya berputar sebatas kebijakan OSS saja, sama juga bohong. Yang didapat cuma kosakata saja untuk modal debat kusir antara yang belum tahu dan yang tidak mengerti.

Kita ini bangsa yang masih tertinggal dari sisi industri. Sementara software merupakan obyek terbaik untuk dijadikan industri. Pabriknya hanya otak dan komputer. Tidak perlu gudang dan tidak perlu transportasi berat. Maka sebaiknya belajar habis-habisan di jagad open-source, dan setelah lulus pikirkan bikin industri. Yang perlu diperhatikan, aplikasi user-level seperti perbankan, kepersonaliaan, akuntansi dll sudah sangat kecil peluangnya karena terlalu banyak pemain di pasar. Yang masih mungkin adalah system-level seperti otomasi, sekuriti, DB engine, transaction server dan middleware lainnya. Tentu semasa belajar harus disesuaikan ke arah itu.

wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
2 Comments
  • PakPur
    Posted at 02:16h, 08 December Reply

    Pak Deru, salam kenal, saya guru, saya sering membaca2 pendapat Bapak via milis KKI (sy user pasif, krn mau ngomong apa jg blm tau …hehe). Saya terkesan sekali dgn tulisan Bp ttg OSS di atas. Bolehkah saya men-sharing tulisan Bapak ini ? Terima kasih sekali sebelumnya.

  • Deru Sudibyo
    Posted at 21:28h, 09 December Reply

    Silakan pak 🙂

Post A Comment