Nggak Nyadar Masih Terjajah

05 May 2011 Nggak Nyadar Masih Terjajah

Berikut ini sebuah kampanye yang sangat luar biasa hebat. Sangat salut!!! Judulnya BELI INDONESIA. Dibawakan oleh Bapak Heppy Trenggono. Disana dikupas bagaimana Indonesia seharusnya bangga kepada IPTN, bangga kepada karya bangsa sendiri. Semoga ceramah ini tidak memiliki tendensi apapun selain ajakan gerakan membela dan membeli produk lokal kita demi kejayaan negeri Nusantara tercinta ini.

Dulu kita mampu menendang penjajah keluar dari Bumi Pertiwi. Karena ketika itu kita tahu apa yang kita bela. Hanya satu kata, MERDEKA. Kini kita dijajah lagi. Penduduk Indonesia 237 juta kini menjadi konsumen setia produk-produk asing. Hanya batu, pasir dan kayu saja produk lokal yang kita beli. Hari ini kita tak berdaya terjajah oleh industri dan ekonomi bangsa asing. Karena kita tidak tahu apa yang harus kita bela.

Semoga kampanye pak Heppy ini mampu mengetuk hati nurani pasar lokal untuk membela produk lokal, atau setidaknya memberi keadilan pada produk lokal. Mohon maaf, saya berani memuat siaran pak Heppy di blog ini karena telah diedarkan di media publik, yaitu milis (Egov-Indonesia), yang dapat diartikan dipublikasikan bebas.

Kapitalisme Tanpa Etika

Apa yang dikatakan pak Heppy ini sepertinya benar semua. Memang selama ini kita adalah bangsa konsumen – konsumennya produk bangsa asing. Dan memang kita bangga mengkonsumsi produk asing. Cilakanya, kita malu atau alergi mengkonsumsi produk bangsa sendiri. Dan lebih cilakanya lagi … pemain bisnis produk asing dengan leluasa memonopoli pasar dan mendapat restu, baik dari kita konsumen maupun pemerintah.

Pengembangan pasar-pasar modern seperti Indomart, Alfamart dll makin mendesak pasar tradisional ke pelosok-pelosok. Melalui merekalah pemasaran produk asing lebih dipacu lagi, di samping juga melalui pasar tradisional yang masih tersisa. Jangankan produk teknologi yang memang sudah dari awal dimonopoli produk asing 🙂 Jeruk, apel, bawang, kedelai dan beras pun kini sudah dimonopoli produk asing pula. Sama-sama ngopi, kita memilih pergi ke Starbucks jika sedang berduit. Kopinya dari sini. Dimasak disini oleh orang sini. Disajikan oleh orang sini. Kita bayar mahal kepada orang orang asing sang pemilik merek.

Jasa-jasa asing juga sudah menguasai sebagian “kunci” strategis. Misalnya jasa expedisi seperti Feddex, UPS dll, kini sudah mendominasi jaringan transportasi dari hilir hingga hulu. Jasa komunikasi “kunci” yang dulu milik bangsa kita juga sudah menjadi milik asing.

Yang lebih disayangkan lagi, hal-hal positif yang dimiliki bangsa asing tidak kita terapkan disini. Perlindungan terhadap konsumen tidak ada. Gaya-gaya pemasarannya cenderung menggunakan tipudaya. Terutama untuk jenis-jenis bisnis yang berlangganan seperti jasa komunikasi, perbankan dan asuransi. Dengan seenaknya pemain menipu konsumen melalui telpon. Judulnya asuransi kartu kredit. Ditawarkan seolah dari bank penerbit kartu. Ternyata perusahaan lain yang tentunya atas restu dari bank penerbit kartu ybs. Jika kita kecelitut berucap yang bisa diartikan iya, langsung kita terjerat menjadi member dan kena charge sesuai kententuan sepihak yang telah mereka definisikan sendiri. Kita bisa terkaget-kaget melihat tagihannya. Bagi yang komplain harus menghadap ke kantor mereka. Kenapa menjeratnya bisa lewat telpon tapi melepasnya harus ke kantor?

Judulnya paket hemat komunikasi dengan tarif flat Rp 200 ribu per bulan. Tetapi sasarannya konsumen yang konsumsinya di bawah Rp 200 ribu per bulan. Penawarannya lewat telpon dengan bahasa penipu agar konsumen menjawab YA. Lantas langsung bulan berikutnya kena charge flat Rp 200 ribu. Bagi yang sadar dan komplain dipersilakan datang ke kantor. Kenapa menjeratnya bisa lewat telpon tapi melepaskannya harus ke kantor?

Tentu! Cara ini sangat efektif buat menunda atau menghambat lepasnya korban. Mereka para manula maupun orang yang sibuk, terlebih yang jauh dari kota, tentu tidak mudah untuk datang ke kantor sang penipu yang umumnya di pusat kota. Penjeratan semacam ini tidak hanya berlaku bagi bisnis tipuan. Ada juga yang awalnya sukarela tapi akhirnya terjerat. Misalnya fitur telpon seluler. Konsumen bisa memesannya lewat sms. Tapi untuk melepasnya harus datang ke kantor sang operator. Inilah nasib negeri non-kapitalisme yang menghalalkan kapitalisme tanpa etika. Yang lebih memprihatinkan, bisnis penipuan tanpa etika itu juga dilakukan oleh lembaga plat merah yang konon milik negara.

Cinta Asing

Kecintaan pada apa saja yang berbau asing memang telah menjadi karakter bangsa kuli. Dulu awal dekade 1990 ada sebuah perusahaan swasta under-bow bank plat merah. Baik perusahaan swasta tersebut maupun bank plat merah pemilik sahamnya sama-sama pengagum asing. Walau pun SDM sendiri cukup banyak yang mumpuni, tapi ada semacam keharusan untuk menyewa konsultan asing. Kalau ada sih bule. Kalau nggak ada, hitam pun jadi yang penting asing. Anehnya, orang asing ini nggak boleh salah di hadapan SDM-nya sendiri. Jika orang asing ini tidak mampu mengatasi masalah, SDM lokal tidak diperkenankan mencobanya. Mungkin ketakutan jika ada orang lokal yang terbukti lebih lebih mampu, karena akan menggugurkan citra idolanya.

Yang lebih menyakitkan lagi, ketika itu ada sebuah software bikinan SDM lokal sebagai solusi layanan remote printing yang cukup jitu yang bernama SSRF atau lebih dikenal dengan nama Splitter. SSRF adalah event-driven multitasking program yang cukup canggih. Bekerja mengelola spool lintas 3 OS mainframe, VM, MVS dan VSE dan mendistribusikannya melalui jaringan SNA. SSRF merupakan satu-satunya solusi yang ada pada saat itu dan tidak usah beli karena bikinan staf sendiri. Sementara di pasar software belum ada satu pun vendor yang menyediakan tandingannya. Seharusnya, SSRF ketika itu merupakan bukti tak terbantahkan bahwa SDM lokal lebih unggul ketimbang makluk-makluk asing yang dibayar mahal disana. Bahkan sekaligus menunjukkan bahwa satu orang SDM lokal layak disetarakan dengan lembaga vendor asing yang memiliki tim yang besar dan kuat dengan lab dan studio yang lengkap.

Namun apa mau dikata??? Tiga tahun kemudian, muncul produk tandingannya dari Computer Associates Inc yang bernama CA-Dispatch. Tanpa berpikir panjang, tim manajemen segera memesan CA-Dispatch yang berharga ratusan ribu USD itu, dan memasangnya untuk menggantikan SSRF. Kini SSRF telah tiada. Mungkin sudah tidak ada lagi yang mengingatnya bahwa dia pernah ada. Bahkan ratusan modul sourcecode-nya pun sudah musnah ditelan waktu. Sangat memilukan… dan … memalukan.

Pengalaman Pribadi Pahitnya Memasarkan Produk Lokal

Saya pun bisa bercerita banyak seperti Pak Heppy. Saya mengalami sendiri karena meskipun kelas “gurem”, saya juga termasuk produsen produk-produk lokal weton Nusantara Software Industry (NSI). Selama 7 tahun NSI berusaha keras memasarkan software-nya, tetapi hanya nyangkut satu klien, bank plat merah. Sungguh luar biasa!!! Ternyata masih ada instansi yang nekad, berani mempercayakan operasi mission-critical-nya untuk diotomasikan dengan teknologi lokal zJOS-XDI. Sementara yang lain pilih membayar berlipat ganda untuk teknologi asing yang sudah jelas reputasinya. Bahkan Mr Z pimpinan divisi IT BRI dengan tegas mengatakan siap menerima produk-produk NSI asal “gratis-tis” baik pengadaannya maupun layanan perawatan tahunannya.

Memang tidak bisa dipungkiri, “tiada gading tak retak”. Keberanian satu-satunya klien tersebut mengandalkan produk NSI tidak berarti seluruh personil di institusi tersebut berpihak pada produk lokal. Ada saja pihak yang kurang ikhlas menerimanya. Tetapi tidak terlalu penting. Terlebih selama ini sudah terbukti manfaat dan stabilitasnya. NSI patut sangat bersyukur. Alhamdulillah NSI masih beruntung mendapat kesempatan membuktikan kualitas produk-produknya. Apa jadinya jika semua tutup pintu?

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
No Comments

Post A Comment