Mungkinkah Jokowi Mengatasi Kemacetan Jakarta?

31 Oct 2012 Mungkinkah Jokowi Mengatasi Kemacetan Jakarta?

Saya tinggal di kota Bogor, dan dulu kantor saya di kawasan Duku Atas, jalan Jend. Sudirman, Jakarta Pusat. Sampai dengan tahun 1992, saya ngantor sehari-hari melalui rute Warung Jambu – Parung – Sawangan – Pondok Indah – Kebayoran Lama – Asia Afrika – Penjompongan. Rata-rata hanya makan waktu 90-100 menit dari rumah sampai kantor atau sebaliknya, kecuali ada kecelakaan atau banjir. Jadi, setiap hari buang waktu antara 3 sampai 3.5 jam untuk perjalanan.

Sebagai tenaga IT support, jam kantor saya bebas, tidak ada absensi. Namun setidaknya sekali dalam seminggu ada meeting, sehingga jam 8:00 pagi harus sudah siap di kantor. Pada hari tersebut, saya berangkat dari rumah jam 6:00 pagi dan sampai di kantor jam sekitar 7:50. Paling sial jam 8:00 sampai di kantor. Ternyata kondisi seperti itu tidak lama. Sejak memasuki tahun 1993, setiap ada meeting, saya harus lewat tol Jagorawi. Kalau nekad lewat rute di atas, jam 8:30 belum sampai ke kantor.

Tahun 1994 kondisi lalulintas makin padat. Menempuh rute tersebut sudah mancapai 4 jam. Bayangkan… jika nekat, maka setiap hari hanya buang waktu 8 jam untuk perjalanan. Bukan saja karena Jakarta yang semakin macet. Di Bogor, jalur Warung Jambu sampai Sawangan yang semula lengang mendadak menjadi ramai dan di titik-titik tertentu macet parah. Oleh karena itu sejak 1994 setiap hari harus lewat tol Jagorawi. Kecuali sesekali dalam seminggu pas pulang malam lewat jam 00, lewat jalur tersebut untuk menghemat.

Sejak 1996, kemacetan Jakarta makin parah dan meluas hampir ke seluruh ruas jalan. Mungkin akibat munculnya pemukiman-pemukiman baru di pinggiran Jakarta. Lewat tol Jagorawi saja perlu waktu 2 jam, bahkan kadang lebih. Bukan tol Jagorawinya yang macet. Tol Jagorawi dari gerbang Bogor hingga gerbang Cililitan cukup 20 menit. Ketika itu gerbang keluar masuk Jakarta di Cililitan. Sejak keluar gerbang hingga mencapai Duku Atas sekitar 100 menit, bahkan kadang lebih. Padahal lewat tol dalam kota. Setiap hari setidaknya 4 jam hanya untuk perjalanan, yang notabene dari tol ke tol. Tahun 1997 kemacetan Jakarta meningkat lagi. Jam perjalanan meningkat hingga 6 jam setiap harinya.

Yang terparah setelah memasuki era Reformasi, sejak tahun 1999. Setiap hari harus menghabiskan 7 hingga 8 jam untuk pergi-pulang kantor. Foto di atas merupakan gambaran kemacetan Jakarta sehari-hari yang dijepret oleh Republika. Untungnya kagiatan di Jakarta sejak tahun 1998 menyusut tajam. Pusingnya pas giliran harus ke Jakarta, meskipun hanya 2 atau 3 kali dalam setahun, cukup bikin stres. Bawa kendaraan sendiri nggak pe-de. Maklum, saya mudah stres berat jika nyetir di kemacetan panjang. Naik kendaraan umum, selain amat sangat nggak nyaman juga nggak ada jaminan dari sisi waktu.

Jokowi siap mengatasi kemacetan Jakarta?

Meskipun bukan rakyat Jakarta, saya ikut mencatat janji Jokowi untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Andaikan bukan Jokowi, tentu masuk kuping kanan keluar kuping kiri, nggak percaya dan nggak peduli. Sudah banyak pejabat ngumbar janji pepesan kosong. Berhubung Jokowi, pemimpin jujur yang langka di jaman edan ini, saya jadi prihatin, kuatir janji Jokowi meleset, terutama soal mengatasi kemacetan. Bagaimana tidak? Segitu padatnya lalulintas Jakarta… gimana mengatasinya? Tahun 2010 saja jumlah kendaraan bermotor plat B sudah mencapai 12jutaan, 8.76 juta diantaranya sepeda motor. Simak tabel BPS Jakarta berikut ini.

TOPIK & VARIABEL
TAHUN
2006
2007
2008
2009
2010
Jumlah Kendaraan Bermotor – Jumlah
7.967.498
8.727.965
9.647.925
10.494.689
11.997.510
Jumlah Mobil Beban – Jumlah
504.727
518.991
538.731
550.924
565.727
Jumlah Mobil Penumpang – Jumlah
1.835.653
1.916.469
2.034.943
2.116.282
2.334.883
Jumlah Sepeda Motor – Jumlah
5.310.068
5.974.173
6.765.723
7.518.098
8.764.130

Sumber: http://jakarta.bps.go.id

Footprint sepeda motor paling 50cm x 180cm. Tetapi ketika beroperasi, tentu tidak mungkin nempel satu sama lain. Dalam keadaan padat merayap, setidaknya berjarak 20cm dengan kendaraan sebelahnya dan 50cm dengan kendaraan depan dan belakangnya. Sehingga footprint-nya menjadi 70cm x 230cm. Jika 8.76juta sepeda motor beroperasi bareng, maka luasan jalan yang diokupasi mencapai 1,411 ha. Jika digiring ke satu lajur jalan selebar 4m, maka panjang lajur yang didudukinya mencapai 3,527 km atau 3.5 Anyer-Panarukan, atau 9% panjang garis katulistiwa keliling bumi. Jika konvoi rapat bagaikan ular di Pantura tanpa ada kendaraan lain bergerak searah, maka ketika kepalanya sudah mencapai Banyuwangi, ekornya masih di Jakarta. Yang lebih gila lagi, segitu banyaknya berada berbarengan setiap hari di Jakarta!!!

Ditambah lagi kendaraan penumpang dan beban/barang beroda 4 atau lebih yang berjumlah 2.9jutaan. Kita bikin minimum, anggaplah rata-rata seukuran angkot (Suzuki Carry atau Daihatsu Zebra) dengan footprint 170cm x 350cm. Katakanlah ketika beroperasi perlu jarak 50cm dari kendaraan di depan dan belakangnya, dan 30cm dari kendaraan sebelahnya. Maka footprint aktifnya menjadi 2m x 4m. Jika 2.9juta unit kendaraan aktif bersama, memerlukan luasan jalan 2,320 ha. Jika berjalan rapat merayap dalam satu lajur, maka panjang konvoi mencapai 11,600 km atau seperempat lebih panjang garis katulistiwa keliling bumi. . Ingat! ini dengan asumsi ukuran minimal lho, angkot!!! Tidak ada SUV maupun sedan panjang, apalagi bus dan truk. Yang lebih sinting lagi, segitu banyaknya berada berbarengan setiap hari di Jakarta!!!

Berbagai sumber menyatakan bahwa total luasan jalan di seluruh DKI hanya 40 km persegi atau 4,000 ha. Padahal jika seluruh kendaraan, sepeda motor dan mobil keluar dan beroperasi bersama, akan menduduki jalan seluas 3,731 ha atau 93% luas jalan. Ini baru kendaraan lokal plat B pada tahun 2010. Dan ini hanya perhitungan matematis! Prakteknya bisa jauh melampaui 100%, karena footprint kendaraan tidak bisa dipecah. Lebar jalan tersisa 120cm tidak bisa diisi dengan setengah kendaraan 4-roda meskipun lebarnya secara matematis cukup untuk 70% lebar angkot.

Bayangkan… data packet atau data gram (di dunia IT) yang rute dan tujuannya bisa diatur sepenuhnya saja dikatakan saturasi manakala kepadatan lalulintasnya mencapai 30%. Bagaimana dengan kendaraan yang rute dan tujuannya diatur sendiri-sendiri oleh sopirnya masing-masing? Barangkali kepadatan 10% sudah saturasi. Bagaimana dengan 93% (matematis)? Sulit membayangkan bagaimana mereka bergerak. Pantas saja tampak dari atas nggak ada bedanya dengan tempat parkir 🙂

Lantas bagaimana Jokowi memperbaikinya? Apakah dengan membangun jalan-jalan baru? Berapa kepadatan optimal yang ditargetkan? Jika ditargetkan untuk menekan kepadatan hingga 30% seperti I/O dalam IT, maka total luas jalan harus harus dimekarkan menjadi 13,000 ha. Mungkinkah? Andaikan mungkin, kapan kepadatan 30% akan tercapai? Setelah tercapai, akan bertahan berapa lama? Mengingat, bisnis kendaraan bermotor makin hari makin hot.

Ataukah dengan cara melarang kendaraan pribadi memasuki Jakarta di jam-jam tertentu? Bagaimana dengan orang-orang luar Jakarta yang kebetulan harus memasuki atau melintas Jakarta? Bagaimana dengan mereka yang dalam keadaan darurat mau ke rumah sakit? Bagaimana dengan kendaraan dinas dan operasional plat hitam lazimnya di lingkungan perusahaan swasta?

Ataukah dengan membagi jadwal operasi kendaraan seperti yang telah diterapkan pada angkot di kota Bogor? Ataukah seperti di Singapura, ada kendaraan yang hanya beroperasi di malam hari yang ditandai dengan plat merah. Sayangnya, semua aturan harus dikawal oleh petugas. Dan sayangnya semakin banyak pelanggaran semakin mensejahterakan petugas.

Entah apa yang akan dilakukan Jokowi, mungkin kombinasi dari infrastruktur dan pengaturan atau penjadwalan. Infrastruktur sangat kecil kemungkinannya menambah ribuan hektar bisa terselesaikan hanya semasa periode pemerintahan yang cuman 5 tahunan. Mungkin dengan menambahkan sarana baru yang canggih dan mulai menekan sarana lawas yang primitif. LRT atau MRT merupakan contoh ideal. Mungkin masih banyak sarana canggih lainnya yang perlu dievaluasi.

Bagaimana dengan Cyberoffice enforcement?

Selain upaya-upaya fisik, hemat saya perlu dipikirkan juga penerapan cyberoffice atau e-office. Dalam satu kantor, pasti ada sebagian SDM yang kerjanya melulu paperwork, dimana kehadiran fisiknya sebenarnya tidak diperlukan. Misalnya, tenaga administrasi tingkat menengah, programmer (software developer), dll. Ada pula SDM yang kehadiran fisiknya diperlukan tetapi hanya kadangkala. Misalnya IT support/admin, IT analyst, marketing analyst dll. IT support/admin perlu hadir hanya manakala ada masalah. IT analyst, marketing analyst perlu hadir hanya manakala presentasi dan survei. Ketika mengerjakan hasil survei sebenarnya kehadiran fisiknya tidak diperlukan.

Orang DKI yang sedang aktif kerja hingga tahun 2011 adalah 4.6 juta orang. Sila simak tabel BPS DKI berikut ini. Sayangnya angka ini tidak mencerminkan berapa persen dari mereka yang bekerja di DKI. Namun demikian, kita bisa bayangkan, orang dari udik saja datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Jadi andaikan pun ada warga DKI yang kerjanya di luar DKI, barangkali tidak signifikan terhadap angka 4.6 juta.

WILAYAH
TOPIK & VARIABEL
Tenaga Kerja – Penduduk 15 Tahun Keatas Bekerja – Orang
TAHUN
2007
2008
2009
2010
2011
DKI Jakarta
3.543.028
4.191.966
4.118.390
4.689.761
4.588.418
Jakarta Barat
816.661
1.013.159
1.020.289
1.174.825
1.096.817
Jakarta Pusat
393.499
424.083
421.117
430.258
433.764
Jakarta Selatan
762.849
979.454
961.864
1.027.433
989.097
Jakarta Timur
919.326
1.091.148
1.025.141
1.220.420
1.275.316
Jakarta Utara
641.296
677.141
682.588
827.665
784.404

Sumber: http://jakarta.bps.go.id

Belum lagi pekerja-pekerja yang berasal dari luar DKI, termasuk saya. Dari pengamatan sepintas lalu, orang-orang dari luar DKI yang bekerja di wilayah DKI bisa mencapai 50% jika Tangerang dan Bekasi dihitung. Mungkin Tangerang dan Bekasi menduduki porsi sekitar 40% dan yang 10% dari Bogor dan kota lain. Sehingga total aktivitas pekerja di wilayah DKI yang sebenarnya bisa jadi 9 jutaan. Manusia sebanyak itulah yang ikut meramaikan lalulintas di jalan-jalan di seputar wilayah DKI.

Pertanyaannya, apa benar 9 jutaan manusia itu harus datang tiap hari ke tempat kerja? Tidak bisakah mereka yang kerjanya hanya paperwork menggarap pekerjaannya dari rumah? Tidak bisakah mereka yang kerja fisiknya kadangkala hanya datang ke kantor manakala fisiknya diperlukan? Sekarang ini sudah era IT. Semua paperwork bisa dikerjakan dari rumah melalui internet. Bahkan toko atau mal juga bisa digelar secara maya di internet. Andaikan internet ini diberdayakan dalam budaya kerja, tentu tidak setiap hari 9 jutaan pekerja harus beramai-ramai memacetkan Jakarta.

Nah…. berkantor di rumah melalui internet lazim disebuit cyberoffice. Software aplikasi cyberoffice sudah banyak. Bahkan di antaranya bikinan bangsa kita. Jika cyberoffice ini diharuskan dilaksanakan, bisa jadi akan ada pengaruhnya terhadap kemacetan Jakarta. Seberapa besar pengaruhnya, saya kurang tahu. Tapi saya yakin cukup besar. Karena pada dasarnya, setiap pekerja yang duduk di belakang meja, pasti dalam pekerjaannya ada porsi paperwork. Dan jangan salah… justru mereka itulah yang kebanyakan membawa kendaraan sendiri ke tempat kerja. Sedangkan para buruh pabrik dan cleaning service kebanyakan naik kendaraan umum.

Manakala porsi paperwork ini cukup signifikan, misalnya 50%, maka sudah pantas dijadwal kapan harus kerja di rumah dan kapan harus hadir ke kantor. Bahkan target itu bisa dinaikkan, misalnya, selama paperwork memerlukan waktu lebih dari sehari, maka harus dikerjakan di rumah melalui cyberoffice.

Agar cyberoffice benar-benar dilaksanakan, pemda harus melandasinya dengan perangkat hukum atau peraturan. Karena bagaimanapun juga, banyak majikan yang tidak yakin pekerjanya kerja tanpa kehadiran. Peraturan juga tidak boleh berat sebelah. Supaya adil dan ada menariknya bagi majikan, pekerja manakala sedang bekerja di rumah juga tidak dapat uang transport.

Tahap berikutnya adalah cybershopping

Cybershopping sebenarnya sudah berjalan cukup lama. Karena vendor dan pengembang software sudah mulai mengembangkan berbagai aplikasi e-business ataupun e-commerce sejak hadirnya konsep client-server 2 dekade lalu, mulai dari client-server biasa di kurun awal hingga yang berbasis HTTP atau web di hari-hari ini. Bhineka dot com, TokoBagus dot com, Berniaga dot com adalah contoh pemberdayaan cybershopping, berbasis HTTP meskipun belum sepenuhnya memenuhi konsep. Bhineka dot com lebih mendekati karena mereka menyediakan delivery service. Sedangkan TokoBagus dan Berniaga hanya media iklan, sehingga delivery-nya tergantung yang pasang iklan.

Saat ini sebenarnya sudah bisa di-enforce agar toko atau mal menyediakan e-commerce website dan delivery service. Tetapi jika masyarakat pembeli masih buta internet, tentu belum bisa efektif. Pembeli masih berduyun-duyun hadir ke lokasi fisiknya. Oleh karena itu tahap awalnya adalah mensosialisasikan internet dan cybershopping kepada masyarakat. Tahun berikutnya baru enforcement.

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
5 Comments
  • nurussadad
    Posted at 23:48h, 31 October Reply

    Kalau naik Kereta, St. Bogor – Dukuh Atas cuman 100 menitan Pak.

  • Deru Sudibyo
    Posted at 00:18h, 01 November Reply

    Oh ya? Sejak express ditiadakan (kalo gak salah Juli 2010), saya belum pernah mencoba lagi. Ketika express masih ada pun sulit bagi saya untuk naik kereta, karena kerjaan saya IT support yang jamnya tak tentu dan banyak nggak match dg jadwal express.

  • budipdad
    Posted at 01:05h, 01 November Reply

    Gagasan yang sangat cermat dan sebaiknya disalurkan ke meja Jokowi agar menjadi acuan.

  • Deru Sudibyo
    Posted at 01:53h, 01 November Reply

    Makasih pak @budipdad. Mudah2an Jokowi punya intel di dunia maya, sehingga gagasan ini tertangkap. Kalo saya sampaikan langsung, selain tidak ada jalurnya, nanti dikira ada misi tertentu 🙂

  • Raga
    Posted at 02:34h, 13 July Reply

    SOLUSI JITU MENGATASI KEMACETAN
    Sarana jalan, baik jalan raya di kota-kota besar maupun jalan-jalan kecil yang ada di perkampungan itu ibarat urat syaraf  yang berfungsi untuk sirkulasi darah di dalam tubuh, yang seharusnya berjalan dengan baik dan lancar selama 24 jam non stop, tidak tersendat apalagi macet.

    Jika sirkulasi darah di dalam tubuh mengalami kemacetan maka pasti akan menimbulkan penyakit atau minimalnya menyebabkan gejala tidak enak badan, apalagi jika kemacetan itu terjadi di kepala khususnya di organ otak, maka potensi terjadinya kelumpuhan (strok) itu sangat besar sekali.

    Dan jika terjadi strok maka otomatis langkah kaki atau berjalan pun menjadi sulit, kalaupun bisa berjalan maka pasti sangat lamban sekali, sama sekali tidak bisa berlari.

    Begitu pun dengan kondisi jalan raya khususnya di ibukota Jakarta yang sama persis dengan kondisi orang yang sedang menderita sakit strok, yang telah menyebabkan laju pertumbuhan dan kemajuan bangsa dan negara pun menjadi sangat lamban dari berbagai aspek, sisi dan lini kehidupan, baik aspek perekonomian, ideologi, politik, sosial, budaya, agama, pemerintahan, teknologi dan lain-lainnya yang semuanya menjadi sangat lamban dan tertinggal oleh negara-negara lain.

    UNTUK MENGATASI KEMACETAN

    Untuk mengatasi kemacetan jalan raya di kota-kota besar khususnya di ibukota Jakarta, maka aktivitas jalan raya harus diciptakan stabil selama 24 jam non stop, tidak ada waktu istirahat atau berhenti beraktifitas.

    Artinya volume pengguna jalan raya harus dibuat stabil sepanjang waktu selama 24 jam non stop, tidak seperti sekarang ini yang dimana pada jam-jam tertentu jalan raya menjadi teramat sangat padat yaitu pada jam berangkat dan pulang kerja/sekolah, sementara pada jam-jam tertentu yaitu pada malam hari volume jalan raya menjadi sangat sepi (lengang).

    Dan untuk bisa mewujudkan Aktifitas Jalan Raya yang stabil sepanjang waktu (24 jam nonstop), maka Aktifitas Bekerja/Belajar warga masyarakat kota besar khususnya di wilayah JABODETABEK harus dibagi menjadi 3 SHIFT, 
    Misalnya :
    Shift I dari pukul 08:00 s/d 16:00
    Shift II dari pukul 16:00 s/d 00:00
    Shift III dari pukul 00:00 s/d 08:00

    Dengan pembagian 3 Shift ini, maka aktifitas warga masyarakat akan terbagi menjadi 3, 
    yaitu :
    1/3 sedang aktif bekerja/belajar
    1/3 sedang istirahat/tidur
    1/3 sedang santai/berlibur

    Dengan begitu maka akan didapatkan manfaat sebagai berikut :
    1. Tidak akan pernah ada kemacetan
    2. Semua pekerja/pelajar tepat waktu
    3. Tidak ada waktu terbuang di jalan
    4. Produktifitas masyarakat meningkat
    5. Kesehatan dan kecerdasan masyarakat meningkat
    6. Terbuka peluang kerja minimal 100% karena setiap bidang usaha dan pekerjaan pasti menambah tenaga kerja untuk bisa beroperasi 3 shift.
    7. Tidak ada lagi pengangguran 
    8. Kesejahteraan masyarakat meningkat
    9. Keselamatan, keamanan, kenyamanan, ketertiban, kerapihan, kebersihan dan keindahan kota jauh lebih terjamin. 
    10. Layanan masyarakat menjadi maksimal dan optimal.
    11. Kota besar (Jabodetabek) menjadi hidup selama 24 jam non stop. 
    12. Keharmonisan warga jauh lebih terjamin. 
    13. Perkembangan dan kemajuan bangsa dan negara jauh lebih cepat dalam segala hal. 
    14. Kontrol pemerintah terhadap aktifitas warganya jauh lebih mudah. 
    15. Tidak ada lagi warga masyarakat yang takut dengan gelapnya malam
    16. Dan manfaat lainnya.

Post A Reply to nurussadad Cancel Reply