Mencermati Unidentified Power

11 Apr 2011 Mencermati Unidentified Power

Tak terasa sudah hampir sebulan keasyikan memainkan unidentified power setiap malam, terutama pukul 23:00 hingga subuh. Tidak ada kemajuan yang saya rasakan karena memang belum tahu bagaimana cara mencapainya. Ibarat pisau, tidak tahu bagaimana caranya mengasah. Sejumlah artikel tentang telepati, melatih otak kanan dan sejenisnya sudah saya baca, tapi tidak ada yang cocok dengan yang saya alami. Memang rata-rata membahas konsentrasi dan mengkhayal. Tetapi, selain preparatnya bukan bandul, metodanya pun berbeda dengan yang saya rasakan selama ini. Rata-rata menyarankan mengkhayal secara koninyu sambil memejamkan mata sampai apa yang dikhayalkan bisa dirasakan secara fisik. Misalnya, tangan kanan memegang sedotan dan tangan kiri memegang kentang mentah. Lantas mata merem, rilex dan mengkhayalkan secara kontinu bahwa tangan kanan memegang paku dan tangan kiri memegang tahu. Mengkhayal terrruuuussss sampai tangan kanan merasakan dingin dan kerasnya paku dan tangan kiri merasakan empuk dan lembabnya tahu. Setelah terasa nyata bener…, lantas mata dibuka sambil menusukan paku khayalan yang di tangan kanan ke tahu khayalan yang di tangan kiri. Akhirnya… jres… sebuah sedotan plastik yang ringkih telah menancap ke dalam kentang mentah yang keras.

Saya blas belum mampu mengkhayal kontinu seperti contoh di atas. Contoh tersebut rasanya terlalu jauh di atas kemampuan saya dan amat sangat mengagumkan jika hal tersebut suatu saat bisa saya lakukan. Padahal konon contoh tersebut adalah pelajaran pertama. Berarti apa yang saya alami sama sekali belum “bau-bau acan” dibanding telepati yang sebenarnya. Bahkan fenomena bandul yang sedang saya alami ini tidak pernah muncul dalam kebanyakan artikel yang saya baca.

Cara konsentrasi dan mengkhayal yang saya lakukan selama ini tidak pernah kontinue. Discrete dan sangat interruptible. Yang agak panjang paling pada saat-saat awal membuat goyangan pertama pada bandul yang ditargetkan. Setelah goyangan bandul membentuk lingkaran kecil, konsentrasi putus sambung sesuai kebutuhan. Pada kondisi tertentu juga tidak rilex, kadang secara reflex harus menahan nafas saat mengkhayalkan mempercepat putaran. Tangan pun kadang nyelonong ikutan mengejang dan menekan meja tak terkendali yang kadang menimbulkan goyangan kecil tak berarah pada bandul-bandul lain yang tidak sedang ditargetkan.

 

Sumber Energi itu Sepertinya Getaran atau Gelombang

Karena belum tahu bagamana caranya mencapai kemajuan, maka saya lebih mengutamakan mencermati fenomena apa gerangan. Pertama, saya mencoba meyakinkan bahwa yang memutar bandul adalah getaran yang bersumber dari diri saya merambat melalui tangan ke meja dan akhirnya ke pangkal tali (benang) bandul. Kenapa saya katakan pasti getaran? Karena dari sekian kali percobaan, ternyata efeknya beragam tergantung media penggantung bandul. Jika digantung di tembok atau buk, bandul sama sekali tak bergeming, bahkan meskipun saya sentuh pangkal ikatan benangnya. Di meja yang kekar juga responnya sangat lemah dan membutuhkan waktu lebih panjang untuk boot. Makin ringkih dan/atai makin kecil media penggantung, makin pendek waktu boot-nya dan makin kuat goyangan bandulnya. Jadi sepertinya memang energi itu getaran. Tidak lagi misterius. Media yang kekar dan/atau besar, cenderung menyerap dan mengabaikan getaran. Mohon maaf saya bukan ahli fisika, mudah-mudahan kesimpulan sementara ini tidak bertentangan dengan fisika.

 

Yang Masih Misteri Adalah Bagaimana Memilih Bandul

Mari sekali lagi kita cermati lebih seksama fenomena aneh ini. Untuk memudahkan, kita tayangkan ulang salah satu aksi yang sudah di tayangkan pada posting terdahulu. Kali ini saya pilih yang targetnya bandul batu.

Di sisi meja yang sepihak dengan posisi saya duduk, ada 3 bandul kecil digantung dengan benang yang diikatkan pada tusuk gigi yang diselipkan pada celah di bawah penampang meja. Tusuk gigi tersebut dijepit di antara papan penampang meja dan pipa kerangka meja. Salah satu bandul adalah batu dan 2 yang lain logam, yaitu besi (baut) berwarna hitam dan aluminium (pedal footstep sepeda) berwarna merah. Pedal tsb oleh Sukedi (penayangnya) dikira plastik mika. Batu dan baut dikasih strip sticker putih agar kelihatan di waktu malam meskipun tanpa lampu.

Di atas meja sebenarnya ada piring plastik coklat berisi air untuk mendeteksi apakah terjadi goyangan meja. Jika air bergerak berarti meja bergetar. Namun akhirnya piring terlupakan, luput dari shooting karena pemegang kamera kesulitan mencari posisi yang tepat untuk membidik. Semula idenya kamera diam dan 3 bandul dan tangan saya serta piring air masuk dalam bidikan. Tetapi pelaksanaannya tidak bisa sesuai rencana, karena badan saya menghalanginya. Saya memang harus berada sepihak di sisi dimana 3 bandul dicantolkan agar bisa menatap tegak 3 bandul tersebut. Karena tatapan miring sangat mempengaruhi konsentrasi dan berakibat putaran bandul menjadi oval dan lemah. Akhirnya diputuskan, kamera harus dinamis ngolah-ngalihm mengejar bidikan terbaik.

Dalam tayangan tersebut, tampak posisi tangan saya menyentuh meja tidak tepat di atas bandul batu yang saya targetkan, melainkan justeru di antara bandul besi hitam dan aluminium merah. Hal ini saya sengaja untuk menunjukkan bahwa posisi tangan tidak berkaitan dengan posisi obyek. Memang yang penting tangan menyentuh meja.

Logika awamnya, energi yang mengalir dari diri saya melalui tangan ke meja mestinya dibagi keseluruh meja dan seluruh bandul bergoyang berputar. Ternyata tidak. Yang berputar hanya bandul batu karena yang saya pilih memang bandul batu tersebut. Jika energi tersebut mengalirnya hanya ke kanan menuju target, mestinya bandul merah bergoyang dulu, karena kelewatan. Ternyata juga tidak. Hanya bandul batu yang berputar. Yang lain diam. Padahal energi tersebut gelagatnya berupa gelombang dan medianya meja. Mestinya modelnya broadcast ke seluruh meja dan mempir keseluruh bandul. Mestinya yang bisa memilih bandulnya ibarat broadcast gelombang TV atau radia, yang memilih kan pesawat penerimanya. Kalo fenomena ini terbalik, yang memilih pengirimnya. Mirip jaringan komunikasi telpon maupun komputer, pengirim memilih penerimanya. Berarti masing-masing bandul sepertinya punya alamat sendiri-sendiri. Siapa yang ngasih alamat ya? Apakah tatapan mata merupakan teknik pengalamatannya? Berarti modelnya mirip DHCP donk. Memberikan alamat dulu secara dinamik, lantas mengalamatinya. Wah sungguh misteri yang membingungkan.

Lebih membingungkan lagi teknik pengiriman energinya. Jika benar-benar gelombang kok bisa terarah hanya menuju satu alamat saja. Apakah sebenarnya model bus atau ethernet? Sebenarnya broadcast, tetapi hanya yang alamatnya match saja yang menerimanya. Ataukah model tokenring… tokennya beredar mampir ke seluruh alamat tapi hanya yang match saja yang menerimanya. Atau mungkinkan ada ilusi yang membentuk terowongan berdinding cermin seperti kabel fiberoptic yang dipakai dalam teknologi FICON atau ESCON pada sistem mainframe dari tangan langsung menuju bandul yang ditargetkan? Wah.. logika saya blas belum bisa menjangkau. Benar-benar misteri teknologi Tuhan ini. Melihat kenyataan seperti ini, bisa jadi dongeng Ki Ageng Giring yang mampu menangkap petir bukan hal yang mustahil.

 

Mirip penyaluran tenaga napas dalam seni beladiri?

Dalam seni beladiri, ketika kita hendak melontarkan pukulan atau tendangan, terlebih dulu menahan sekitar 10% sisa napas di perut. Sementara, dalam pikiran kita, 10% sisa napas itu sepertinya sebuah bahan peledak yang bisa dirasakan panas dan kekuatannya. Lantas dengan angan-angan pula, bahan peledak itu dialirkan ke anggota badan yang akan kita gunakan untuk menyerang. Jika serangan itu pukulan, bahan peledak itu dialirkan ke ujung kepalan tangan atau bagian tangan lain yang akan membentur sasaran. Jika serangan itu tendangan, bahan peledak itu kita alirkan ke bagian ujung kaki yang akan menabrak sasaran. Begitu tabrakan atau benturan terjadi, maka bahan peledak itu diledakkan dengan cara menghembuskan 10% sisa napas tadi melalui mulut sambil berteriak dengan tekanan dari perut. Dalam ilmu beladiri impor asal Jepang, teknik ini sering disebut ‘ki-ai‘ atau ‘ki-ae‘. Begitu braaakkk.. memang benar… hasilnya lebih dahsyat ketimbang serangan yang tanpa ki-ae. Kalau dipikir-pikir secara logis aneh ya? Lah wong membuangnya lewat mulut kok merasa mengalirkan ke tangan atau kaki.

Dalam aliran beladiri tertentu, seperti pencak silat, taekwondo dan karate aliran kyokushinkai, kedahsyatan ki-ae dipraktekkan untuk menghancurkan benda keras seperti papan atau es batu. Namun untuk seni beladiri semacam karate aliran gojukai atau sotokan maupun kempo aliran shorinji, ki-ae tidak dipraktekkan untuk memukul benda keras. Efek kedahsyatan tidak pernah dirasakan atau disadari oleh sang karateka maupun kenshi. Sepertinya ki-ae hanyalah bagian tak terpisahkan dari pukulan, tendangan atau tangkisan yang terakhir dalam serangkaian gerakan beruntun. Banyak kenshi atau karateka yang menganggap ki-ae hanya prosedur standar saja. Karate masih mending, irama pernapasan dan penyaluran tenaga atau ‘ki‘ dipelajari, seperti dalam gerakan sachin yang mengeras-lembekkan dada dan perut, menegang-lenturkan kaki dan tangan sambil melangkah dan seirama dengan pernapasan dan diakhiri dengan ki-ae.

Sedangkan di kempo tidak ada pelajaran semacam sanchin. Mungkin karena lebih mengutamakan menghindar dan menyerang titik lemah (kyuso) atau menangkap dan mengunci (waza), sehingga ki tidak dianggap penting. Pelajaran yang berkaitan dengan ki yang ada sakuza, semacam yoga, duduk bersila tegak tapi rilex dan bernapas teratur sambil tutup mata. Setiap menghembus napas disisakan 10% ditahan di perut beberapa detik dan dihembuskan lagi. Tidak ada sugesti pengaliran ki kemana pun. Tahu-tahu setelah sekian kali pengulangan napas, lantas diakhiri dengan ki-ae sambil membuka mata. Namun aplikasinya ada, yaitu ki-ae yang menjadi bagian tak terpisahkan dengan gerak memukul, menendang atau menangkis. Karena gerak menyerang termasuk anaerobic, maka dalam serangan beruntun, ki-ae hanya dilakukan pada gerak terakhir.

Beruntung meskipun yang saya tekuni hingga sabuk hitam hanya aliran shorinji kempo, namun sebelumnya sudah pernah mengenyam beberapa macam seni beladiri lain termasuk yang mempraktekkan ki dan ki-ae dengan memukul benda keras. Sehingga setidaknya saya pernah merasakan bukti fisiknya. Saya mengakui bahwa prinsip kempo memang benar… memang antara menyerang sasaran hidup yang dinamis dan benda mati yang statis sangat berbeda. Sehebat apapun serangan pada sasaran hidup, hanya telak manakala pas saat benturan, sasaran sedang diam atau bergerak melawan arah serangan. Tetapi bukan berarti mempraktekkan dengan benda mati haram. Tanpa mempraktekkannya dengan benda mati, kita juga tidak pernah tahu apakah penyaluran tenaga ki-ae kita benar. Setiap aliran seni beladiri ada kelebihannya masing-masing. Namun yang perlu disadari adalah bahwa faktor penentu yang paling mendasar adalah kualitas manusia yang mempelajarinya.

Nah, apa yang saya rasakan soal memutar bandul ini ada kemiripan dengan penyaluran ki pada gerakan sanchin. Mulai dan menahan napas dan hangatnya tenaga yang mengalir dari pusat badan merambat ke tangan hingga ujung jari bisa dirasakan meskipun sebenarnya hanya angan-angan. Penyaluran ki lantas berhenti masih di tubuh kita, yaitu di bagian yang akan dibenturkan pada sasaran. Lantas dinyalakan dengan ki-ae persis ketika benturan terjadi, sekali saja. Jika ingin melontarkan serangan beruntun, maka ki-ae dilakukan sekali pada serangan terakhir. Waktunya pun dalam praktek randori atau kumite, sangat cepat, secepat tanpa penyaluran ki.

Sedangkan memutar bandul memakan waktu yang cukup panjang. Kadang bootstrap-nya bisa lebih dari satu menit. Entah memang harus demikian, ataukah karena saya belum lihai, atau semata karena saya belum tahu caranya. Maklum, mendapatkannya saja tidak sengaja. Penyaluran ki atau tenaga atau apalah(?) tidak berhenti di bagian tubuh kita yang menyentuh sasaran (misalnya jari atau telapak tangan), melainkan diteruskan ke benda yang kita sentuh dan merambat terus sampai ke sasaran yang kita pilih, yaitu salah satu mata bandul. Semuanya itu dalam angan-angan lho. Setelah sasaran tercapai, ki tidak diledakkan menjadi ki-ae, melainkan disetir untuk memutar bandul. Yang saya alami, ki ini akan hilang sendiri ketika harus bernapas. Maka jangan sampai napas putus sebelum bandul bergerak, karena harus mengulang dari awal.

Nah setelah bandul bergerak lembut, selanjutnya sugesti penyaluran tenaga tidak perlu lagi dengan dukungan ki yang harus tahan napas. Cukup dengan angan-angan bahwa tenaga yang sudah tersalur bandul yang kita pilih tadi masih ada dan diaktifkan lagi. Nyatanya ayunan atau putaran bandul makin bertambah, meskipun kadang sambil omong-omongan.

 

Topik-topik terkait

  1. Dari Assembler hingga Unidentified Power
  2. Memalak Thuyul
  3. Sulap, Benarkah Tanpa Mantra?
mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
1Comment
  • Anonymous
    Posted at 08:16h, 24 December Reply

    hebaaat …

Post A Comment