Karate Kid

30 Sep 2014 Karate Kid

Apakah anda punya anak balita, usia TK atau SD? Apakah kegiatan utama mereka? Nonton TV atau video? Main game? Internetan? Jika demikian cobalah selidiki apakah fisik anak anda normal. Jangan terkecoh dengan bentuk lucunya. Cermati keseluruhannya.

Normalnya anak-anak usia SD ke bawah, fisiknya lentur dan sikapnya cekatan. Jika main kejar-kejaran dengan kita, umumnya kita yang blepotan. Terlebih anak usia SD, sangat lincah. Hal itu saya alami sendiri. Saya masih ingat ketika saya nakal dan dikejar oleh guru di ruang kelas, pak guru sampai ngos-ngosan tidak dapan menangkap saya. Tapi jika anak anda sehari-hari hanya duduk nonton atau main game, jangan kaget jika ternyata fisik anak anda lebih kaku dan lebih lamban ketimbang manula.

 

Hindari game dan kurangi nonton

Kebetulan saya ada anak buncit cowok yang masih SD. Sebenarnya keponakan, menjadi anak bontot kami sejak ibunya dipanggil Tuhan, yaitu ketika dia masih di TK. Sejak itu isteri saya yang menjadi ibunya. Saya sangat bersyukur karena meskipun anak itu mbeling, ternyata isteri saya sangat menyayanginya seperti anak sendiri. Pernah saya dapati isteri berlinang air mata gara-gara anak itu saya marahi. Pasalnya, alat-alat sekolahnya setiap hari selalu saja ada yang hilang. Setelah saya tanya kenapa menangis, ternyata baru saja mereka berdua nonton tayangan berita tentang panti asuhan. Lantas si anak bertanya kepada isteri saya: “Budhe, kenapa aku nggak dibawa ke panti itu? Kan ibuku juga sudah nggak ada seperti mereka?”. Dia sih lugu-lugu aja menanyakan hal itu. Tapi siapa orangnya nggak trenyuh mendengarnya?

Anak ini mbeling banget, tapi tidak ada kaitannya dengan kenakalan yang menuju perkelahian. Jadi sebenarnya tidak ada kekuatiran akan mewarisi kenakalan seperti yang saya alami semasa kecil dulu. Tetapi karena dia maniak main game dan nonton TV, perkembangan fisiknya tidak seimbang. Mudah sakit dan tidak bisa memahami lawan bicara. Mungkin karena selain kurang gerak, pikirannya dipenuhi dengan imajinasi game. Sehingga jarang nyambung kalau diajak bicara. Di sekolah pun prestasinya agak tertinggal, meski sebenarnya daya ingatnya sangat tajam.

Dalam bermain game juga aneh. Belum pernah saya melihat dia mencari kemenangan. Yang dia lakukan hanya mengamuk. Misalnya dalam game peperangan, semua dia gempur, tidak peduli mana kawan mana lawan. Dalam game balapan juga dia lebih suka menabrak yang lain ketimbang berpacu. Sepertinya ada gejala sadisme. Tapi anehnya dia sangat penyayang binatang. Semut atau nyamuk saja nggak boleh dibunuh. Ketika melihat bangkai tikus, dia nangis tersedu-sedu menanyakan siapa yang membunuhnya.

Yang bikin saya kaget, ternyata anak saya itu tidak bisa lari. Karena mbeling, suatu ketika saya datangi untuk dihukum. Dia pun segera berusaha melarikan diri. Saya lantas membayangkan diri sendiri dulu semasa kecil, orang dewasa tidak bisa mengejar. Alangkah kagetnya ternyata hanya 3 langkah dia sudah saya tangkap. Waduuuh… anakku kaku banget kaki dan badannya, tidak bisa lari. Saya coba suruh dia lari dari ruang tengah ke luar, belum mencapai teras sudah berhenti dan megap-megap. Bukan asma, tapi karena langkah kakinya seperti kaki kursi, sehingga tampak konyol. Sayangnya tidak sempat merekamnya.

Sejak itu saya larang main game dan saya haruskan kegiatan fisik, seperti bersepada, main layangan, sepakbola dll. Lumayan agak nurut, meski sejauh ini yang dilakukannya hanya bermain sepeda. Yang pasti, tidak ada game! Soal nonton TV masih boleh tapi dibatasi.

Kebetulan ketika memasuki semester 2 kelas 1 SD, dia diharuskan memilih salah satu kegiatan extra kurikuler. Dia memilih komputer. Waduuhh… duduk melengkung lagi. Lantas saya lihat daftar seluruh kegiatan yang ada. Maksud saya, akan saya rubah pada pilihan yang banyak gerak, terutama olahraga, jika ada. Ternyata pilihan olahraga cukup banyak, salah satunya karate. Langsung saja saya rubah pilihannya menjadi karate. Karena olahraga beladiri punya kelebihan khusus, selain olahraga juga olahmental. Dia pun diam saja meski tampaknya kurang suka.

Benar dugaan saya… Setelah program exkul dimulai, dia malas-malasan. Ada saja alasan untuk tidak berangkat. Saya jadi bingung. Saya tawarkan dirubah ke olahraga lain juga tidak mau. Intinya dia ingin kembali pada pilihannya, komputer. Dikiranya ada kesempatan bermain game seperti di rumah sebelum dilarang. Dasar anak mbeling 🙂 Akhirnya saya pun tetap pada prinsip semula, karate, meski tidak saya paksa harus masuk ketika dia sedang malas.

 

Tergugah Karate Kid dan Arjuna

Suatu hari dia menanyakan apakah anak yang cemen bisa menjadi juara. Tentu saja jawab tidak. Dia menolak jawaban saya. Dia bilang baru saja nonton tayangan TV yang berjudul “Karate Kid”, dimana anak cemen murid Jackie Chan berhasil menjadi juara di sebuah turnamen karate. Pucuk dicinta ulam tiba. Lantas saya jelaskan bahwa meski tadinya cemen, jika rajin latihan tentu bisa juara. Dia lantas mengatakan ingin menjadi juara. Naaaah… inilah kesempatan emas untuk menggiring dia ke olahraga.

Selain Karate Kid, anak mbeling itu diam-diam juga tertarik pada tokoh Arjuna dalam tayangan Mahabharata di ANTV. Awalnya dia tanyakan apakah adil jika seorang guru lebih menyayangi murid yang pintar. Untungnya saya jawab ya dengan alasan anak pintar tandanya bahwa anak itu patuh pada guru, sangat memperhatikan ketika diajar dan rajin mengerjakan PR di rumah. Lantas dia bilang: “Oh pantesan Guru Drona sangat menyayangi Arjuna …”. “Aku pengen jadi juara karate kid dan jagoan seperti Arjuna”, timpalnya lagi. Dari sinilah muncul gagasan untuk melatih dia di rumah sebagai tambahan dari exkul karatenya.

Kebetulan sejak tahun 2011 saya kembali divonis menjadi kordinator keamanan RW di perumahan. Sehingga saya berniat menggabungkan anak mbeling ini untuk berlatih bareng satpam. Namun karena program latihan satpam kali ini kempo, bukan karate seperti tahun 1990an dulu, maka anak saya ini harus saya sesuaikan dengan gaya gerakan kempo. Maka mulailah latihan penyesuaian di rumah.

Alangkah senangnya … ternyata dia memang ada kesungguhan. Yang semula gerakan karatenya nggak ada bentuk dan badannya tetap kaku dan lamban, setelah saya latih sendiri di rumah 2 hari sekali dari jam 16:30 hingga 17:30, dalam tempo sebulan, sudah mulai ada bentuk. Lihatlah tayangan di atas. Sungguh sebuah kejutan.

Seminggu kemudian saya gabungkan dengan satpam setiap Sabtu pagi jam 7:00 hingga 9:00. Jadwal exkulnya 2 minggu sekali. Maka jika Sabtu ini exkul karate, Sabtu depan latihan kempo bareng satpam. Latihan sore sejam di rumah tetap dilakukan, tapi hanya Senin, Rabu dan Jumat, kecuali saya ada kegiatan lain. Permainan lain bersepeda keliling komplex bersama kawan-kawannya.

Setelah berjalan 3 bulan, dia bilang akan ikut ujian karate di program exkulnya. Weleh… gimana caranya anak kempo ikut ujian karate. Karena karatenya bener-bener masih mentah. Semua gerakannya salah dan selalu terbawa kepada gaya kempo. Padahal bisa-bisa hilang semangat jika tidak lulus. Nah.. akhirnya saya banting setir. Latihan di rumah bukan kempo lagi, tapi karate. Bagi saya yang penting membenahi gerakan dasarnya. Bagaimana dengan latihan yang bareng satpam? Terpaksa saya pelintir juga, saya masukkan gaya karate.

Soal gerakan karate yang saya bawakan ketika latihan bareng satpam, tentu saya pilih yang kira-kira tidak merusak apa yang selama ini sudah dipelajari satpam. Misalnya untuk unsur gerakan dasar sanchin seperti pada tayangan di atas, yang kenshi tetap menyesuaikan dengan sikap furiko. Dan semua itu hanya sebatas kihon saja. Setelah masuk ke tahap teknik hingga praktek berpasangan atau kumite sutae, tentu dipisahkan.

 

Lulus sabuk kuning

Karena keinginannya menjadi juara Karate Kid, maka dia lebih suka latihan bareng satpam ketimbang exkul karate di sekolah. Pasalnya, di latihan satpam, saya sering ajarkan sparring beneran yang disebut randori atau kumite bebas. Sedangkan di exkul karate di sekolah mungkin tidak ada pelajaran semacam itu mengingat pesertanya masih terlalu muda.

Nah.. sulitnya ketika dia menuntut minta randori. Karena dia tahu yang ditayangkan dalam turnamen di filem Karate Kid kan randori. Sehingga, mau tidak mau harus ada cara agar dia merasa puas, jangan sampai merasa dibohongi. Ya terpaksa lah… ada randore khusus seperti tayangan di atas. Yang penting dia merasa on the right track along to the Karate Kid tournament. Sementara kelulusan ujian sabuk kuning juga akan sangat mempengaruhi semangatnya.

Alhamdulillah, rupanya Allah SWT mengabulkan keinginan saya. Anak mbelingku ini ternyata lulus ujian sabuk kuning. Ternyata sangat kuat keinginannya untuk menjadi juara Karate Kid dan menjadi jagoan seperti Arjuna murid Guru Drona. Latihan demi latihan dia ikuti dengan serius, dan makin hari makin serius, baik di rumah, di dojo kempo satpam maupun di sekolah.

 

Membangun citra Karate Kid

Kini latihannya sudah mirip dengan atlet yang sedang mempersiapkan diri untuk kejuaraan. Saya menggunakan bantal sasaran tendang di tangan kanan dan kiri. Saya juga memegang selongsong kaki pura-pura sebagai kaki. Posisi saya merendah supaya selongsong kaki ketika saya ayun ke arahnya mirip tendangan beneran dari lawan yang sebaya.

Ternyata reflex menangkisnya lumayan cekatan ketika simulasi tendangan itu saya lakukan, baik sasaran atas maupun tengah. Dia pun harus membalasnya bertubi-tubi sambil merangsek. Dari expresinya, rupanya dia sangat menjiwai apa yang dia lakukan tanpa keraguan. Latihan di rumah pun modelnya seperti ini sejak naik sabuk kuning. Sayangnya tidak ada sparring partner yang pas untuk mencoba mempraktekannya lebih serius.

Begitu pun saat ini sudah cukup membawanya ke obsesi persiapan turnamen Karate Kid. Memang saya harus bikin suasana sedemikian rupa. Sehingga dia juga semangat seperti atlet beneran yang sedang dalam pemusatan latihan. Lihat saja tayangan di atas. Untungnya hingga saat ini belum pernah menanyakan kapan turnamen Karate Kid-nya. Semoga saja tetap tidak menanyakan itu. Semoga saja dalam waktu dekat ada turnamen beneran dan dia juara beneran.

Bagi saya, terus terang untuk saat ini targetnya hanya mengubah anak mbeling lucu ini dari kebiasan ndingkluk utun melengkung di depan layar, menjadi anak yang lincah, tangkas dan sehat seperti anak normal pada umumnya. Sehingga bisa fokus menghadapi pelajaran dan luwes dalam pergaulan. Soal menjadi juara karate atau kempo atau apapun, tentu akan lebih baik, tetapi bukan target hari ini.

Namun demikian, apa yang sedang berkecamuk dalam otak si anak boleh jadi sama sekali lain. Obsesinya adalah menjadi juara Karate Kid. Siapapun yang melihat tayangan video di atas, tanpa harus dijelaskan panjang lebar, saya yakin pasti bisa menyimpulkan betapa seriusnya bocah mungil itu mempersiapkan diri. Apa jadinya jika turnamen yang dinantinya tidak pernah ada? Meski pernah menjadi dosen maupun instruktur pelatihan profesional, sebenarnya saya bukan pendidik dan tidak tahu soal ilmu edukasi. Sehingga saya harus belajar bagaimana mengantisipasi jika hal yang mengecewakan anak saya terjadi. Karena itulah saya tulis cerita ini. Saya berharap ada komentar positif yang saya nantikan.

 

Beladiri adalah olahraga terbaik

Kelincahan dan kelengkapan serta kesetimbangan gerak yang dilatihkan dalam satu curriculum streaming hanya ada dalam cabang olahraga beladiri. Oleh karena itu, untuk anak yang sudah kadung gerakannya lamban dan “wagu” akibat kebiasaan main game dan nonton seperti anak mbeling ini, olahraga beladiri adalah pilihan terapi terbaik. Berikut ini contoh gerakan-gerakan yang sangat berperan membentuk naluri kelincahan dan kesetimbangan, yaitu tobigeri dan ushirogeri.

Tayangan di atas adalah latihan tobigeri atau tendangan sambil loncat. Banyak olahraga yang mengandung unsur loncat. Lantas apanya yang aneh dengan tobigeri? Dalam ilmu beladiri, loncat sangat berbeda cita dan rasanya. Loncatan beladiri tidak boleh tampak ancang-ancangnya, supaya tidak diantisipasi oleh lawan. Itulah uniknya. Dan itulah susahnya bagi yang belum tahu. Terlebih bagi anak yang gerakannya lamban dan “wagu”.

Meskipun demikian, dengan latihan yang serius, kita bisa optimis. Silakan lihat perbedaan pada anak saya ini dalam melakukan tobigeri di tayangan ini dan tayangan paling atas. Meski pernah menggebrak kontingen IPB menjadi juara umum Jawa Barat hanya dari nomor-nomor randori pada tahun 1990, semula sempat merasa terganggu optimistik saya. Karena gerakan anak saya ini, khususnya untuk tobigeri, sama sekali tidak ada bentuknya. Tetapi apa yang kita lihat di tayangan ini, sudah tampak jauh berbeda. Kini sudah tampak lebih normal, meski harus melalui latihan setahun lebih.

Bagian tersulit untuk anak mbelingku ini, saat ini, adalah ushirogeri atau tendangan putar lewat belakang. Untungnya, saat ini fisik anak saya itu sudah jauh lebih normal ketimbang pas awal dulu. Sehingga tidak diawali dengan kekonyolan-kekonyolan seperti dulu. Bagi yang sudah lancar, melakukan gerakan ini mengalir begitu saja seperti gerakan-gerakan lainnya. Namun bagi yang belum mampu, mungkin harus bekerja keras untuk untuk mendapatkan kesetimbangan yang pas. Tayangan di atas adalah latihan pertama kali bagi anak saya ini. Sehingga untuk memudahkan mencari posisi dan kesetimbangan, gerakan ushirogeri ini didahului dengan mawashi geri. Itupun masih belum setimbang bener. Mungkin akan lebih tepat gerakan pertolongannya furigeri supaya badan lebih terbabit. Tetapi saya masih ragu untuk mengajarinya furigeri, kuatir mawashigeri-nya luntur menjadi furigeri.

Ada sementara para senior yang mengatakan ushirogeri hanyalah kembangan belaka, bukan jurus yang penting. Benar! Memang dari sisi kaidah beladiri, gerakan ini hanya mempan untuk lawan yang tidak bisa beladiri. Terlebih dalam randori kempo yang dihalalkan nonjok muka, praktek ushirogeri benar-benar harus dihindari, kecuali pengen muter sekaligus mendarat horizontal karena KO rahang kena tzuki. Namun demikian, dalam setiap kesempatan, saya selalu melatihkan gerakan ini, sekedar untuk membentuk naluri kesetimbangan. Dan terbukti mereka yang gesit melakukan ushirogeri, peluang menang dalam randori lebih tinggi meski gerakan ini sama sekali tidak dipakai dalam mendapatkan kemenangan tersebut.

Sementara orang mengatakan bahwa olahraga beladiri menjadikan orang ugal-ugalan. Ada pula yang mengatakan bahwa olahraga beladiri tidak sehat. Karena adu pukul dan adu tendang bisa merusak badan. Push up dengan mengepalkan tangan yang kadang menjadi menu dalam olahraga beladiri, juga sebuah olahraga yang salah. Memang banyak sekali kritik terhadap olehraga yang satu ini. Bahkan pernah ada tayangan di TV sebuah acara perjodohan, seorang perjaka ganteng yang sukses ditampik gara-gara dia menampilkan sebuah permainan double-stick. Setelah sang cewek ditanya moderator kenapa menolak, dia langsung menjawab; “Saya takut sama pemain beladiri”.

Andaikan cewek itu sebenarnya naksir tapi terpaksa menolak dengan alasan tersebut, saya pastikan dia salah 2 kali. Kesalahan pertama adalah rasa takut kepada pemain beladiri. Bukankah malah lebih merasa aman berdampingan dengan pemain beladiri? Mungkin yang dia pikirkan, pemain beladiri gatel kalau seharian tidak memukul atau menendang orang. Sehingga orang terdekatlah yang paling pertama bonyok. Ini adalah paham umum, termasuk isteri saya. Entah siapa yang ngajarin, ataukah sekedar naluri.

Kesalahan kedua adalah vonis bahwa pemain double-stick adalah pemain beladiri. Pemain beladiri sangat mungkin pandai bermain double-stick. Karena jika naluri seni berbeladiri sudah terbentuk, benda apapun yang berada di sekitarnya bisa dia manfaatkan sebagai alat beladiri. Tetapi tidak berarti pandai memainkan double-stick selalu pemain beladiri. Karena double-stick adalah senjata populer Bruce Lee dalam filem. Tentu banyak penonton yang mencoba-coba meniru dan akhirnya bisa memainkannya, termasuk saya. Justru setelah dewasa dan melatih, saya ragu jangan-jangan double-stick sekedar untuk demonstrasi kelincahan, bukan senjata. Karena setiap bikin serangan dengan double-stick, kita juga terancam oleh senjata tersebut. Ini melawan filsafat martial art itu sendiri.

Terlepas apapun komentar orang, hemat saya, olehraga beladiri adalah olahraga terbaik. Karena fisik kita diolahragakan. Tentu menjadi lebih sehat, lebih kuat dan lebih tahan banting. Mental atau jiwa kita juga diolah dengan kedisplinan, keadilan, ketenangan, kesabaran, ketabahan, kecermatan dan rasa percayaan diri. Meskipun dari sisi jasmani mungkin ada konsekuensi sakit atau rusak karena kena pukulan, tendangan atau bantingan, tetapi ada kompensasi yang jauh lebih manfaat di sisi rohani.

Menjadi pemain olahraga beladiri akan ugal-ugalan? Justru sebaliknya. Bukan hanya kata orang… saya mengalaminya sendiri. Ketika SD, saya sangat nakal, gemar berkelahi. Bahkan rekornya, dua kali memelintir tangan kawan hingga lepas sendi sikutnya. Akhirnya saya dikeluarkan dari SD itu, meski sebenarnya seingat saya kenakalan yang saya lakukan selalu awalnya membela teman yang dinakalin. Tetapi karena gemar berantem, maka setiap ada cekcok selalu saya selesaikan dengan perkelahian. Lama-lama menjadi duelmania.

Setelah resmi ikut olahraga beladiri, kenakalan saya makin menurun. Awalnya semata-mata karena sudah ada pelampiasan. Karena jaman dulu, setiap latihan olahraga beladiri, jam terakhir selalu latihan kumite atau sparring, dan sabuk putih pun kebagian. Lagi pula teman yang sebenarnya sehari-hari merasa kalah dari saya, giliran sparring ternyata berani dan kadang menang. Sehingga timbul pemikiran bahwa pada dasarnya kemenangan duel yang selama ini saya dapatkan hanyalah kebetulan. Mungkin karena dia takut. Mungkin juga karena belum tahu caranya. Akhirnya saya lebih konsentrasi bagaimana memenangkan sparring ketimbang duel urakan di jalanan.

Saking sengsemnya mencari teknik memenangkan sparring, setelah beranjak remaja (SMA), hampir setiap aliran beladiri saya pelajari, baik lokal maupun impor. Bukan sebatas itu saja… teman-teman dari berbagai aliran beladiri saya himpun untuk latihan sparring bersama. Sehingga meskipun akhirnya yang saya tekuni hingga sabuk hitam hanya Shorinji Kempo, reflex gerakan aliran lain masih sering muncul. Beberapa gerakan dasar dan teknik yang efektif juga masih saya pelihara. Bahkan di awal dekade 1990 saya luwes-luwes saja membantu melatih karate satpam perumahan meski karategi saya cap kempo.

 

Lulus sabuk hijau

Setelah naik kelas 3 SD, anak mbeling itu pun lulus lagi sabuk hijau. Gerakannya belum ada kemajuan yang berarti. Namun diharapkan menambah atau setidaknya mempertahankan semangat.  Karena anak-anak kadang akan cepat bosan jika dikecewakan.

Yang paling saya sukai, fisiknya yang semula kaku, kini sudah mulai lentur mendekati anak-anak normal.   Larinya pun tidak bunyi lagi seperti bebek.    Mudah-mudahan tak lama lagi sudah sempurna normal, bahkan lebih.

Sebagaimana anak di bawah 10 tahun, tentu kolokannya masih kelihatan.   Tetapi ada perbedaan ketimbang anak kolokan lainnya, dia lebih mudah disuruh-suruh dan mau mengalah pada yang lebih lemah (lebih kecil atau perempuan).   Meski kadang ngomel, tapi masih tampak aura kepatuhan dan/atau pengertian.   Barangkali itu akibat tumbuhnya kedisiplinan dan rasa tanggungjawab sebagai seorang karateka atau kenshi.

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
2 Comments
  • M.S. Aribowo
    Posted at 08:20h, 03 October Reply

    Deru,.. ingat bbrp puluh tahun lampau: 3 anakku putri semua,…ttp saya ingin salah satu atau 3-3-nya latihan KEMPO,.. anda komentar : J-A-N-G-A-N WO !!!…anak anda PEREMPUAN.

    Dari ulsan blog-mu..tidak ada PEMBATASAN GENDER !!!… NJUR PIYE Sa’iki.. putuku Lananag usia 5 thn 4 Bulan sa’iki… kepriye ??

  • Deru Sudibyo
    Posted at 08:59h, 03 October Reply

    Jaman sudah berubah Bro 🙂 Shorinji Kempo tempo doeloe ada 2 hal yg kurang pas untuk cewek. Anakku cewek, pengen ikut malah sy masukin karate.

    (1) Permainan juho yg penuh bantingan tapi tanpa matras dan berlaku utk cewek-cowok. Jika salah bisa berakibat kerusakan dan mungkin cewek lebih fatal.

    (2) Permainan randore (free fighting) boleh pukul kepala/wajah sampai KO. Ini hanya untuk cowok. Tetapi ga ada alternatif buat cewek. Sehingga kecil kemungkinannya cewek akan mendapat pembentukan mental yg sama dg cowok.

    Naaah… sekarang telah berubah. Juho selalu harus ada matras. Randore juga berlaku buat cewek-cowok dan meski wajah/kepala boleh dipukul, tetapi mending ada pelindung kepala 🙂 Jadi ga perlu lagi dibedakan atas gender.

Post A Reply to Deru Sudibyo Cancel Reply