Ilmu Sesat

09 Feb 2012 Ilmu Sesat

Santet dan teluh dikatakan sebagai praktek ilmu sesat. Jika yang disantet penjajah menyengsarakan rakyat atau penjahat kejam yang telah membunuh korban, tentu ada manfaatnya, apakah masih dianggap sesat? Meskipun manfaat, tapi sebagian orang tetap menganggap sesat karena meminta bantuan jin, bukan langsung pertolongan dari Tuhan. Apa bedanya dengan mereka yang minta bantuan orang lain untuk melawan atau menyerang musuhnya? Apa bedanya dengan negara yang minta bantuan negara lain untuk melawan atau menyerang musuhnya? Toh sama-sama meminta bantuan makluk, bukan Tuhan.

Pesugihan seperti babi ngepet maupun piara thuyul dikutuk sebagai praktek ilmu sesat. Karena mempekerjakan jin untuk mencari nafkah dan kekayaan dengan imbalan aqidah. Apa bedanya dengan orang-orang yang mencari nafkah dengan menjilat bos atau klien atau malah korupsi? Toh sama-sama mengorbankan aqidah. Namun ada yang berpendapat tanpa mengorbankan aqidah, dia tidak akan mampu menafkahi keluarga, apa lagi menyekolahkan anak. Sekolah menengah yang bagus sudah pasang tarif RSBI. PTN juga tarifnya melangit. Ruang SNMPTN sejak 2011 memang ditingkatkan dari 10% menjadi 60%. Tapi tarif tiketnya naik pula disetarakan dengan ujian lokal.. he he seperti membohongi anak kecil saja 🙂 Tanpa duit banyak, anak pasti kapiran. Ujung-ujungnya berdosa pula, neraka pula. Nah.. sama-sama kelak masuk neraka, masih mending jika di dunia sempat mendapat kesenangan. Sama-sama di neraka masih mendingan jika anak-anaknya sempat lulus PTN, ketimbang kapiran karena nggak sekolah.

Konon kadang pesugihan membayarnya dengan tumbal nyawa. Keparatnya lagi yang dibikin tumbal boleh nyawa orang lain. Ini sama juga pembunuhan. . Perlu polisi dan pengadilan paranormal untuk menangkap dan menghukum para sekutu iblis tersebut. Tapi ngomong-ngomong korupsi lebih hebat lagi loh. Harta colongannya lebih besar dan prosesnya lebih cepat dan rapi ketimbang pesugihan. Tumbalnya pun bisa lebih banyak. Korban sengsara jelas rakyat se negara. Korban nyawa pun nggak kalah banyak. Misalnya tanah longsor karena hutannya digunduli, jembatan ambruk karena semennya kecampur sabun, jelas makan puluhan bahkan ratusan nyawa. Maklum, manusia jauh labih cerdas, lebih hebat dan lebih sadis ketimbang iblis. So.. mana yang lebih sesat?

Uraian tentang pesugihan dan korupsi di atas tampak blunder. Maklum, karena kita berusaha mengakalinya dengan penalaran. Sementara logika kita hanya sebatas AND, OR dan NOT. Padahal logika alam lebih dari itu dan kita tidak akan pernah tahu batasnya. Namun demikian, tanpa harus berkutet memeras otak, kita tahu bahwa pesugihan (bersekutu dengan iblis) dan korupsi (mencuri + berkhianat) merupakan pelanggaran aqidah. Hampir semua orang tahu bahwa kedua hal tersebut adalah sesat dan tegas-tegas dilarang oleh semua agama. Artinya, para pelakunya pun pasti tahu bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Bahkan bila mereka muslim, mereka pasti sadar bahwa syirik dan mengkhianati sumpah adalah dosa besar yang tak akan pernah diampuni dan akan menjadi “permanent resident” di neraka. Bahkan koruptor dianggap sebagai makluk yang membahayakan masyarakat, sehingga harus dihukum mati di dunia karena yang dikhianati dalam korupsi adalah negara.

Sesat tidak selamanya explisit dijelaskan dalam agama dan tidak selamanya mudah ditengarai oleh logika kita orang awam. Semisal fisika, jelas bukan ilmu sesat. Bagaimana jika yang dikaji adalah untuk mewujudkan bom nuklir yang mampu menenggelamkan pulau? Menjadi sesatkah? Bagaimana jika yang dihantam dengan nuklir memang musuh yang mengancam ketenteraman kita? Apakah masih dianggap sesat? Meskipun targetnya musuh yang berbahaya, tapi dampaknya merusak planet kita. Masih sesatkah?

Ekonomi dan ilmu-ilmu sosial rentan sesat

Ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, termasuk agama merupakan ilmu yang paling rentan untuk disesatkan. Karena ilmu-ilmu tersebut terkait langsung dengan aktivitas sosial dalam kehidupan. Misi utamanya adalah mempelajari dan menyelenggarakan siasat, aturan dan etika pergaulan, bisnis dan beragama untuk mencapai kualitas kehidupan yang terbaik bagi setiap pribadi maupun secara umum. Namun justru misi tersebutlah ilmu-ilmu sosial sangat mudah sesat atau disesatkan, baik sengaja atau tidak sengaja atau bahkan terpaksa.

Kebetulan kita berada di negeri yang belum serius melindungi konsumen. Sehingga sangat mudah menyimak contoh-contoh penyesatan ilmu ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai paket murah untuk komoditas (berlangganan) ditawarkan melalui telpon atau SMS. Bahasanya disusun sedemikian rupa untuk menjebak konsumen. Bahkan ada yang tidak perlu menunggu kata YA, tahu-tahu tagihannya datang di bulan berikutnya, dan ternyata lebih tinggi dari tagihan selama ini. Tentu saja, karena yang ditawarin atai dijebak hanya konsumen yang konsumsinya di bawah tarif paket murah tersebut. Yang lebih biadab lagi, protes hanya dilayani jika datang ke pusat-pusat layanan yang mereka tentukan. Padahal deal jebakannya cukup lewat telpon. Modus bisnis semacam ini tidak hanya dilakukan oleh swasta kelas ecek-ecek, tapi bahkan BUMN kesohor justru mencontohi.

Kebetulan kita berada di negeri yang belum serius menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga apa yang tersurat boleh jadi berbeda bahkan bertolak belakang dengan apa yang terjadi. Yang tersurat demokrasi itu LUBER. Tetapi yang terjadi, di jaman Orde Baru, PNS, kerabat PNS, kerabat ABRI, karyawan BUMN, kerabat karyawan BUMN, karyawan perusahaan underbow BUMN harus memilih Golkar. Di jaman sekarang tampak lebih mirip LUBER. Tetapi ternyata suara dibeli dengan uang.

Yang tersurat gaji atau honor bupati atau walikota Rp 6juta per bulan. Tetapi untuk mendaftarkan diri sebagai calon bupati saja sudah milyaran. Padahal jika gaji atau honor tersebut dikumpulkan saja tanpa ada yang dimakan, perlu 13 tahun lebih untuk mencapai angka Rp 1 milyar. Jauh melebihi masa jabatannya yang hanya 5 tahun. Berarti setiap bupati atau walikota adalah patriot sejati yang berani mengorbankan kekayaannya tanpa berharap imbalan. Bohong atau cipoa kah???

Pendek kata, ilmu-ilmu sosial sangat mudah disesatkan. Sudah banyak buktinya. Mulai dari yang murni bersumber metoda keilmuannya seperti monopoli, markup dan riba hingga yang berbau kriminal seperti kolusi, judi (dalam berbagai bentuk termasuk undian berhadiah), politik uang dll. Bahkan ada yang keplintir menjadi kriminal murni seperti kasus pengutilan pulsa yang heboh baru-baru ini.

Agama bisa sesat

Agama adalah barometer untuk mengukur kesesatan. Anehnya, agama justru termasuk ilmu sosial yang paling lazim menjadi sesat atau bahkan hadir dari kesesatan. Akhir-akhir ini kita sering mendengar munculnya agama baru. Tiba-tiba ada seseorang mengaku sebagai malaikat, nabi atau bahkan Tuhan. Yang aneh ada saja yang mau menjadi pengikutnya. Entah karena saking bodohnya, atau saking hebatnya sang pendusta berdakwah. Padahal kalo kita cermat, pasti ada hal-hal ganjil yang sulit diterima akal sehat. Semisal, Ahmad Musadeq yang mengaku menjadi nabi atau rasul untuk membawakan agama baru. Bagi kita yang waras, keanehan itu menonjol mendahului langkah awalnya. Karena gelar yang disandangnya dan beberapa ayat pernyataannya menggunakan bahasa Arab. Padahal dia orang Indonesia dan agama “baru” yang dibawakannya juga lahir di Indonesia. Kenapa tidak berbahasa Jepang saja ya? Ini adalah sebuah “kekumprungan” (baca: tolol) sang pendusta. Dia pikir bahasa Arab merupakan bahasa “mandatory” untuk kerohanian. Dan yang lebih “kumprung” lagi para pengikutnya.

Ada lagi sejumlah aliran kepercayaan yang memuja Semar, seorang tokoh fiktif sahaya dalam dongeng Mahabharata versi Jawa. Sebagian menganggap Semar hanya sebagai simbolik saja untuk menggambarkan kearifan yang pantas menjadi panutan. Namun ada pula sebagian yang menganggap Semar memang ada beneran. Bahkan ada yang lebih parah lagi mengaku, saking khusuknya bersemedi, dia berhasil bertemu Semar sang panutan.

Kesesatan tidak melulu yang kasat mata seperti contoh-contoh di atas. Kesesatan juga bisa muncul dari agama baku yang masih kita yakini sebagai agama dari langit. Bukan penyesatan ketuhanan, kenabian maupun tata-cara ritual bakunya. Kadang sangat sepele karena hanya menyangkut aktivitas sebelum atau setelah acara ritual. Misalnya melantunkan nyanyian puji-pujian dengan pengeras suara. Terlepas bahasanya dipahami oleh yang mendengarkan atau tidak, yang jelas puji-pujian kepada Tuhan adalah hal yang dianggap baik. Tetapi jika dilantunkan dengan pengeras suara dalam waktu yang cukup lama, tentu ada dampak negatif bagi lingkungan. Jangankan nyanyian yang tidak jelas iramanya, terlebih diiringi dengan musik sederhana yang tidak pas. Sedangkan nyanyian yang merdu dan diiringi musik selembut gamelan pun kadang ada pihak yang merasa terganggu, terutama bagi anak-anak sekolah jika dilantunkan di jam-jam belajar. Namun sayangnya tidak ada yang berani protes. Karena sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa sesuatu yang terkait dengan kegiatan keagamaan merupakan segala-galanya yang tidak boleh dikalahkan dengan kebutuhan yang paling pokok sekalipun. Yang sedang sakit gigi juga sadar harus mengalah. Anak-anak yang sedang belajar juga sadar harus mengalah. Sayangnya mereka tidak sadar bahwa belajar juga merupakan ibadah yang diperintahkan langsung dalam kitab suci. Bahkan melantunkan puji-pujian dengan pengeras suara tidak ada rujukannya dalam kitab suci maupun kitab-kitab rujukan lainnya. Nah … inilah letak kesesatannya.

Tidak hanya ilmu-ilmu sosial saja yang bisa sesat. Ilmu-ilmu exakta terapan seperti statistika, teknik dan teknologi juga bisa sesat atau disesatkan. Demikian pula ilmu-ilmu pengetahuan alam terapan seperti pertanian, kedokteran, geologi dll, tidak luput dari nasib yang sama.

Statistika bisa sesat

Statistika adalah aplikasi matematika yang paling jitu untuk melakukan teknik pendugaan dan penyimpulan hasil pengamatan untuk mekanisme yang tidak pasti. Yang mekanismenya pasti seperti tanki bocor dengan debit tertentu, peluruhan radioaktif, pembelahan sel, dll, tentu tidak perlu statistika. Cukup dengan proyek linier arau polinom tertentu sesuai formulasi mekanismenya. Tetapi untuk menduga dan menyimpulkan nilai pendapatan per kapita, pengaruh pupuk terhadap produksi panen, pengaruh polusi terhadap kesehatan, animo masyarakat untuk membuat pilihan tertentu, pengaruh timbal-balik antara kemacetan dan ekonomi, sangat diperlukan statistika.

Seseorang boleh saja melakukan pendugaan melalui pendekatan yang dipahaminya. Namun selama tidak menggunakan statistika, sulit untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pendek kata, pendugaan dan penyimpulan bidang apapun memerlukan metoda statistika tertentu agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Manfaatnya pun sangat jelas dalam kehidupan maupun perkembangan IPTEK. Prediksi ekonomi dan bisnis menjadi sangat jitu dengan statistika. Berbagai penyimpulan dan formula ilmiah dapat digali lebih jauh melalui riset yang penyimpulannya menggunakan statistika.

Namun demikian, aplikasi statistika juga tidak mustahil memasuki zona sesat. Memaksakan metoda statistika tertentu untuk mencapai angka tertentu guna mempedayai orang yang tidak tahu merupakan contoh kesesatan. Misalnya menyimpulkan rata-rata dari 1, 2, 3, 4 dan 100 adalah 22. Secara matematis benar, karena (1 + 2 + 3 + 4 + 100) / 5 = 22. Tetapi secara statistika tidak sah karena angka-angka tersebut tidak mengikuti sebaran normal. Sehingga 22 tidak bisa disimpulkan sebagai dugaan nilai tengahnya. Artinya, jika dipaksakan harus demikian, berarti ada kebohongan. Apa jadinya jika angka semacam ini digunakan untuk menduga pendapatan per kapita sebuah negara? Bisa-bisa hitam di atas putih seperti negara makmur tapi kenyataannya bonyok dengan kemiskinan. Disinilah letaknya penyesatan statistika.

Statistika juga bisa menduga data yang hilang atau belum ada. Misalnya 12, 5, 24, X, 36, 15, maka nilai X bisa diduga. Demikian pula nilai X untuk 10, 12, 15, 18, X. Tetapi tidak mungkin statistika mampu menduga X, Y dan Z untuk himpunan kasus 12, 5, 24, X, Y, Z. Jika statsitika saja tidak mampu, bisa kita pastikan tidak ada cara lain untuk menduganya, kecuali kasusnya pasti yang sudah memiliki formula sendiri seperti peluruhan radioaktif, gradien temperatur dll. Dari gambaran ini, kita bisa bayangkan apakah quick count menggunakan statistika, atau sekedar sensus akbar gerak cepat. .

Mekanika, elektro dan IT bisa sesat

Teknik mekanika dan elektro adalah beberapa bab ilmu fisika yang abad ini sedang dikembangkan luar biasa pesatnya. Demikian pula IT yang merupakan persilangan antara elektro dan komputasi juga menanjak setiap hari. Manfaatnya sangat jelas dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari cukur jenggot, meracik bumbu dan memasak hingga menggerakkan roda truk raksasa di kawasan pertambangan maupun mewujudkan komputer super canggih seperti mainframe dan supercomputer. .

Dulu berkomunikasi jarak jauh merupakan hal yang langka. Harus menulis surat dan perlu waktu beberapa hari untuk mencapai alamat tujuan. Terlebih menunggu balasannya. Sekarang cukup dengan SMS atau telpon, kontan nyampa dan terbalas. Dulu kita sekolah atau kuliah tahunya giuru atau dosen kita yang paling pinter. Sekarang kita bisa mencari berbagai artikel pengetahuan di internet, bahkan berdiskusi dengan siapa saja dari mana saja.

Namun demikian, yang disesatkan juga tidak kalah serem. Aktivitas mesum yang dulunya hanya desas-desus karena yang tahu hanya pelaku dan yang ngintip, sekarang sudah bisa menjadi tontonan mudah. Judi yang dulunya harus dilakukan dengan berkumpul di lokasi tertentu, kini cukup dengan hape atau laptop. Santet pun sekarang cukup dengan mantra digital. Soal kesesatan IT sejak pembangunannya hingga pemanfaatannya bisa disimak di sejumlah topik pemberitaan di berbagai media dan situs internet. Beberapa topik IT dalam blog ini mungkin bisa dipedomani untuk menengarai mana-mana IT yang sesat.

Ilmu sesat bawaan dari pendidikan

Kalo bisa dipersulit kenapa dipermudah?“. Kalimat itu sering kita pake untuk menyindir atau mencemooh cara kerja para oknum pemerintah. Konon moral ginian terjadi sejak jaman penjajahan dulu hingga hari ini. Bahkan yang recok mencemooh pun tidak ada jaminan tidak melakukan hal yang sama manakala ada kesempatan. Ini bukan berarti moral sesat seperti itu tidak perlu dikritik. Perlu sekali dan bahkan harus diberantas tuntas … tas seakar-akarnya. Namun kita harus tahu dimana akarnya. Kenapa demikian?

Yang aneh, dulu jaman saya masih sekolah/kuliah, cemoohan semacam itu yang sering terdengar justru dari mulut pengajar yang hobi mempersulit muridnya. Ngucapinnya dengan nada marah lagi… 🙂 Nggak habis pikir.. Bagaimana “mempersulit” orang lain nggak membudaya jika di dunia pendidikan justru dianggap lazim??? Kalo kita cermati dengan saksama, moral sesat semacam itu terjadi sepanjang jaman karena memang diabadikan melalui dunia pendidikan. Tanpa kita sadari, setiap kali mengenang masa-masa sekolah, yang muncul duluan bukannya guru/dosen atau kawan yang baik dan bijak. Justru wajah-wajah para pengajar yang killer, galak, kaku maupun konyol. Jangankan bagi yang pernah benturan langsung, yang hanya menyaksikan benturannya dengan teman dekat pun kadang kita ikut merekamnya lekat-lekat. Kadang hingga warna pakaian kesukaannya atau ciri khusus lainnya. Dan ini ternyata sifat umum hampir setiap orang. Terbukti ketika reuni, yang paling heboh digunjing nomor satu pasti pengajar yang paling hobi “mempersulit” anakdidik. Nomor dua pengajar yang membawakan pelajaran sulit beneran. Baru nomor tiga pengajar yang paling baik atau bijak.

Pengajar menjadi killer, galak atau kaku, dalihnya selalu klasik, menanamkan kedisiplinan. Nggak nyadar bahwa murid-murid tahu mana yang benar-benar menanamkan kedisiplinan dan mana yang menikmati ketika melihat anakdidiknya ketakutan dan kesulitan. Terutama untuk kehidupan kampus dimana mahasiswa umumnya sudah lebih dewasa dalam mencerna apa yang dilihatnya. Yang perlu diwaspadai, tidak semua mahasiswa takut kepada sang killer. Bahkan beberapa mahasiswa ada yang diam-diam mengukur skala intelegensi para pengajar yang sok jago tersebut. Saya pun mungkin termasuk kelompok ini. Sayangnya dulu saya dikenal sebagai juru gebug di lapangan kempo, sehingga mendingan ada perkecualian.

Yang lebih konyol lagi ada pengajar yang saking hobinya menikmati penderitaan anakdidiknya, kadang dengan sengaja membuat kegiatan di tengah liburan. Ini lebih lazim terjadi di dunia pendidikan tinggi, dimana pengajarnya lebih memiliki waktu leluasa ketimbang pengajar sekolah menengah. Kalo kegiatan sejenis ujian ulang sih bisa dimaklumi. Yang tidak bisa dimaklumi jika ternyata hanya sekedar kegiatan administratif, seperti membuat rencana studi untuk semester berikutnya.

Para pengajar atau pembimbing yang bijak tentu menimbang berbagai aspek dan resiko termasuk keamanan dan biaya. Karena mahasiswa bisa saja berasal dari ratusan hingga ribuan kilometer dari kampus, dimana untuk datang ke kampus perlu biaya besar. Jika setelah kegiatan tersebut selesai masih ada sisa libur, yang berduit tentu kembali lagi ke asal masing-masing. Sementara yang tidak berduit harus nongkrong di indekosan sendirian. Untuk para mahasiswi tentu sangat riskan. Bisa dibayangkan gundahnya para orangtua yang tidak berduit yang terpaksa membiarkan putrinya nongkrong sendirian di indekosan yang sepi. Oleh karena itu para pengajar atau pembimbing yang bijak tentu mengambil waktu di akhir liburan. Seolah-olah hanya sedikit mempercepat selesainya liburan.

Namun kenyataannya ada pengajar atau pembimbing yang tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Bahkan sepertinya menikmati pula. Bisa jadi mereka juga menikmati kesedihan para ortu seandainya terjadi apa-apa dengan anakdidiknya (terutama mahasiswi). Mereka ini sebenarnya orang-orang yang sakit dan perlu terapi moral yang intensif. Yang aneh, mulut mereka kadang juga mencemooh oknum pemerintah dengan kalimat “Kalo bisa dipersulit kenapa dipermudah“. Dan yang lebih parah lagi, mahasiswa yang pernah mengalami dipersulit pun tidak ada jaminan kelak tidak mempersulit orang lain manakala ada kesempatan. Itulah hebatnya ilmu sesat.

Semoga dunia pendidikan hari ini sudah mawas diri

Mempersulit anakdidik terlebih mengharuskan anakdidik hadir ke sekolah atau kampus di tengah liburan sungguh sebuah feodalisme biadab. Pendidikan bukan penjara. Pada hakikatnya, anakdidik adalah manusia merdeka yang memiliki hak mengelola waktunya sendiri di kala liburan. Ada yang ingin istirahat total, ada yang ingin belajar hal lain, semisal kursus ketrampilan tertentu, dan mungkin juga ada yang ingin bekerja sambilan, terutama bagi yang hidupnya kekurangan. Semua anakdidik tanpa kecuali memiliki hak merencanakan semua kegiatan liburannya dan hanya orangtuanya lah yang memiliki hak veto untuk menggagalkannya.

Pengajar maupun penguasa kampus tidak boleh egois mengumbar kesewenang-wenangannya. Jangan mentang-mentang berkuasa lantas dengan seenaknya mengharuskan anakdidik mengerjakan sesuatu di hari libur, apa lagi dengan mengancam. Terlebih di era IT hari ini, semua urusan administrasi akademik bisa dilakukan secara online lewat internet. Wong kegiatan tutor dan praktikum saja sudah mulai banyak yang bisa dilakukan lewat cyber (baca: distance learning). Alangkah “tolol”nya jika urusan administrasi saja harus tatap muka. Lebih-lebih dilakukan oleh perguruan tinggi yang umumnya sudah online.

Beberapa lembaga pemerintah di negeri ini masih terpasung dengan keharusan tandatangan sebagai faktor pengesah dokumen. Hadirnya IT menggantikan administrasi manual mestinya serta merta meniadakan keharusan tanda tangan dan cap, karena komputer memiliki metoda otentikasi sendiri yang lebih afdol ketimbang tanda tangan dan cap. Namun sistem pemerintahan di negeri ini memang tidak secerdas pikiran rakyatnya. Sehingga tanda tangan dan cap masih menjadi keharusan hingga detik ini.

Meskipun demikian, sekolah atau kampus sebagai wahana mempelajari dan mengelola IPTEK seharusnya memberikan teladan bagaimana membudayakan IPTEK, khususnya IT, antara lain meniadakan keharusan tandatangan dan cap. Alangkah “kumprung”nya jika hari gini masih ada sekolah, terutama kampus perguruan tinggi yang mengharuskan tatap muka gara-gara sekedar tandatangan dan cap. Lebih parah lagi jika gara-gara kekumprungan ini lantas mengharuskan anakdidik mengorbankan liburannya dan buang biaya untuk datang ke kampus hanya untuk sebuah tandatangan.

Sebaliknya, jangan sampai kampus yang sudah cerdas tampak kumprung karena ulah oknum tolol yang mencari kepuasan dengan mempersulit anakdidik. Bisa saja kampus sebenarnya sudah menyediakan sarana online. Anakdidik sudah bisa menyusun rencana belajar dan jumlah SKS semasa liburan dari kampungnya masing-masing melalui portal yang disediakan kampus. Namun ada beberapa staf kampus yang hobi mempersulit anakdidik, tidak bersedia mengesahkan rencana belajar tersebut jika tidak tatap muka. Terpaksa yang sedang berlibur di ujung dunia, maupun yang sedang tanggung bekerja sambilan, mau tidak mau harus datang ke kampus di tengah liburan demi menghormati nafsu sesat sang oknum. Oknum semacam ini harus diperingatkan keras, karena selaiin mempersulit kehidupan anakdidik, juga menjatuhkan nama baik kampus. .

Mudah-mudahan di era komersialisasi pendidikan sekarang ini kesesatan semacam itu sudah mulai dikikis. Mengingat dalam dunia komersial, layanan merupakan kunci utama. Umpama masih ada pun, bukan merupakan bukti kemenangan ilmu sesat, melainkan semata-mata karena di negeri ini kapasitas pendidikan sangat jauh dibanding jumlah konsumen.

wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
1Comment

Post A Comment