Hati-Hati Soal Kezaliman Tak Sengaja

25 Oct 2013 Hati-Hati Soal Kezaliman Tak Sengaja

Tulisan berikut ini sangat terkait dengan agama (Islam). Tetapi bukan sebuah pencerahan agama, karena saya bukan pakar agama. Juga bukan sebuah kesimpulan studi. Melainkan sebuah uneg-uneg tentang hal-hal yang terjadi di lapangan yang niatnya supaya Islam banget tetapi menurut saya malah menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Sekilas pandang sepertinya saya menjelaskan solusi atau kebenarannya. Namun, karena saya bukan pakar agama, maka saya tidak berani klaim sebagai solusi atau kebenaran yang sah untuk umum, meskipun secara pribadi saya yakini 100%.

Nah.. yang saya tunggu adalah kehadiran pembaca yang benar-benar mumpuni soal agama dan dengan sukarela memberi pencerahan. Anggap semua tulisan ini sebagai hipotesis untuk dikritisi kebenarannya dan keabsahannya. Apa-apa yang sudah dicerahkan akan saya gunakan sebagai pedoman atau referensi manakala muncul kasus serupa dan saya dilibatkan.

Atau bahkan jangan-jangan sudah pernah ada pakar yang mencerahkan hal yang sama, hanya saja saya tidak tahu. Mohon cantumkan link-nya. Sehingga tidak perlu jadi pemikiran berkepanjangan 🙂

Soal Pembagian Harta Waris

Soal harta waris, dulunya kebanyakan hanya mengikut budaya dan/atau aturan adat setempat. Biasanya ada harta tertentu yang harus jatuh ke tangan anak sulung, semisal rumah lugu (rumah yang menjadi mukim utama). Ada harta yang harus jatuh ke tangan anak bungsu. Jika letak harta tersebut permanen, semisal tanah, maka ada pakaim geografis. Arah barat atau utara dianggap arah menua dan timur atau selatan arah memuda. Maka anak yang lebih tua harus mendapat bagian yang berada relatif di sebelah barat atau utara terhadap yang lebih muda.

Ada pula diistilahkan ngikut hadirnya rejeki. Misalnya, hari ini ada rejeki bisa beli tanah, lantas dalam dokumen kepemilikan saya cantum nama anak pertama. Beberapa bulan atau tahun kemudian begitu ada rejeki bisa beli tanah atau rumah lagi, saya baliknamakan ke anak kedua. Kelak pas ada rejeki lagi untuk anak ketiga… demikian seterusnya. Nah kelak setelah saya meninggal, tidak perlu ada acara bagi waris yang pelik. Mana-mana yang namanya tercantum dalam sertifikat, ya dialah yang mewarisinya.

Jaman dulu, kekayaan orang kampung yang paling bernilai memang biasanya berupa tanah atau lahan pertanian, yang rata-rata dilengkapi dokumen kepemilikan, sertifikat atau pethok (leter C). Sehingga mudah menatanya, cukup dengan mencantumkan nama pemilik. Sisanya yang tanpa sertifikat umumnya tidak seberapa, tinggal dikumpulin semua dan dibagi rata.

Selain cara adat di atas, ada pula yang tidak pakai budaya atau adat. Karena seringkali hasilnya tidak adil. Cukup dengan matematika sederhana, dibagi rata. Tidak ada bedanya anak cowok dan cewek. Semua mendapat bagian yang relatif sama. Sesama anak harus adil.

Namun ternyata, akhir-akhir ini ada pula pihak-pihak yang mempelopori metoda pembagian waris cara Islam. Berarti yang dicari bukan keadilan matematis, melainkan keadilan Islami. Keadilan yang diyakini mendapat ridho Tuhan, meskipun secara matematis kelihatannya tidak adil.

Sayangnya, ternyata dalam praktek yang pernah saya lihat sendiri, yang diperhatikan hanya formula akhir, sebagai berikut:

  • Jika yang meninggal suami, maka isteri atau gabungan para istri (jika poligami) mendapat 1/4 jika tidak ada anak, atau 1/8 jika ada anak. Sisanya dibagikan kepada ahli waris lain.
  • Jika yang meninggal isteri, maka suami mendapat 1/2 jika tidak ada anak, atau 1/4 jika ada anak. Sisanya dibagikan kepada ahli waris lain.
  • Ahli waris lain adalah anak dan orangtua (ayah-ibu) dan bahkan saudara kandung.
  • Bagian anak lelaki 2 kali anak perempuan.
  • Bagian ayah 1/6 dan ibu 1/6
  • dst

Lantas bagaimana jika si almarhum/almarhumah punya anak dari mantan isteri/suami? Katakanlah ketika nikah tidak semuanya bujang. Adilkah jika suami mendapat 1/4 karena ada anak, padahal ternyata ada anak lain lagi dari mantan istri? Adilkah isteri hanya mendapat 1/8 padahal yang dibagi sebagian adalah harta bawaan dari orangtuanya atau dia sendiri yang memperolehnya karena dia juga bekerja?

Dalam diskusi awam, umumnya menganggap sudah adil, karena itu semua bersumber dari Quran (atau Allah). Apapun yang bersumber dari Quran atau Allah pasti adil. Namun ada pula yang malah “maido”, loh.. kok agama malah tidak adil ya?

Saya sendiri cenderung termasuk yang kedua. Hanya saja, saya yakin bukan agamanya yang tidak adil, melainkan manusianya yang “anggung anggumbel sarengat, berag agama”, sehingga kurang cermat dalam mempelajari ilmunya keburu napsu ingin melaksanakan.

Saya masih ingat ketika SMA dulu, guru agama pernah menjelaskan dan penjelasannya sangat benar matematis. Yaitu, yang dibagi hanya haknya yang wafat saja. Cuman entah ketika itu beliau tidak menyebut referensinya, atau saya yang lupa referensi yang beliau sebutkan. Maklum, jangankan agama… Matematika atau fisika pun yang saya ingat cuman inti pengertiannya. Tidak pernah kepikiran untuk mengingat referensi, entah buku mana atau ilmuwan siapa yang terkait.

Nah.. belum lama ini kebetulan muncul kasus serupa di dekat garis edar saya, kebetulan teman dekat. Saya tidak terlibat apapun karena saya bukan ahli waris. Hanya saja, setiap saat mendengar karena dia ngomong lewat telpon dekat kuping saya. Saya pun tidak komentar, karena selain tidak diminta rembug, juga tidak ada waktu. Lagi pula kalau sudah menyangkut agama, saya dianggap nggak tahu apa-apa. Habisnya, pakai baju koko saja nggak pernah (nggak punya). Ke masjid juga hanya kalau jum’atan saja.

Rupanya mereka juga konsultasi dengan beberapa ustad. Dari yang saya dengar, sepertinya yang dibahas melulu skenario formula di atas dan ternyata memang itu yang dilakukan. Kasusnya, yang meninggal suami dan karena ada anak maka isteri mendapat 1/8. Padahal sang isteri adalah wanita karir yang sangat mungkin pendapatannya melebihi sang almarhum suami. Untungnya sang isteri tidak punya anak lain karena dia gadis ketika dinikahkan. Yang bikin ganjalan penonton (saya), ada hal yang ingin dilakukan oleh sang isteri tapi tidak bisa. Ada salah satu anaknya yang kondisinya masih memprihatinkan dan kelihatannya si ibu itu ingin menolongnya. Kelihatannya karena bagiannya cuman 1/8 jadi kesulitan.

Tapi ya sudahlah… toh bukan urusan saya. Lagi pula dari yang saya dengar, anak yang memerlukan pertolongan tadi memang hasil ulah sendiri. Konon dia sering melakukan kesalahan yang merugikan diri sendiri dan dinasihati nggak mau. Sehingga ditolong pun tidak ada jaminan akan ada perbaikan.

Namun demikian, otak saya tetep gatel. Saya masih meyakini bahwa pembagian tersebut tidak adil dan salah total, meskipun konon mengikuti petunjuk agama dan didukung oleh ustad. Saya tidak peduli dengan kasus teman saya di atas. Yang saya pedulikan, jika cara yang salah tersebut lantas mendapat legitimasi dan menjadi lazim. Bukankah hal semacam itu sama saja melegitimasi kezaliman? Bukankah melegitimasi kezaliman berkedok agama sama saja mendustakan agama?

Saya masih yakin pengertian yang saya dapat ketika SMA itulah yang benar. Inti pengertiannya sebagai berikut:

  1. Yang dibagi hanya haknya yang meninggal saja. Misalnya, ketika nikah, si isteri dimodali tanah 1000m2 oleh ortunya. Si suami bermodal rumah dan mobil. Maka, ketika si suami meninggal, yang dibagi hanya rumah dan mobil saja. Tanah 1000m2 tidak ikut dibagi karena pemiliknya masih hidup.
  2. Harta yang diperoleh bersama, yang dalam adat Jawa disebut gono-gini, diperhitungkan persentase kepemilikannya. Umumnya 50-50. Hanya porsi hak yang meninggal saja yang dibagi. Misalnya, ternyata si almarhum juga punya saldo di bank Rp200juta yang dianggap gono-gini. Jika menganut model 50-50, maka yang dbagi hanya Rp100juta. Sisanya yang Rp100juta adalah milik isteri, bukan warisan.
  3. Berdasarkan butir 1 dan 2 di atas, maka total yang dibagi hanya rumah, mobil dan uang Rp 100juta.
  4. Tatacara pembagiannya mengikuti skenario di atas. Isteri mendapat 1/8. Karena almarhum sudah tidak punya ortu, maka semua sisanya untuk anak, dimana anak cowok mendapat 2 kali yang diterima anak cewek.
  5. Sehingga di akhir acara bagi waris, isteri yang ditinggal kan selain mendapat 1/8 harta waris, hartanya sendiri berupa tanah 1000m2 dan uang Rp100juta masih utuh, buat bekal hidup dia. Kelak setelah dia meninggal, semua itu akan diwaris lagi kepada anak-anaknya jika masih ada yang tersisa.
  6. Jika sang isteri kawin lagi dan punya anak lagi, maka kelak setelah meninggal, sisa harta itu diwariskan kepada anak-anak yang dari suami pertama dan anak-anak yang dari suami kedua.

Itulah yang adil dan menurut keyakinan saya, pasti itulah yang dianjurkan agama. Lantas, disela-sela kesibukan, saya mencoba googling mencari referensi keyakinan saya tersebut. Ternyata ada beberapa, antara lain ini. Memang kebanyakan membahas harta gono-gini tidak integral dengan harta waris. Namun jika kita memang berniat mencari kebenaran, ya kita sendiri yang harus mampu mencermati integrasi antara satu rule dengan rule lainnya. Jangan cuman nyomot ketengan. Mungkin saja yang dicontohkan dalam riwayat semua harta yang ada milik suami, karena memang suamilah yang wajib mencari nafkah. Atau bisa pernah ada riwayat yang lebih relevan, hanya tidak ditemukan. Bagaimana pun, riwayat itu pasti ditulis, dievaluasi dan disahkan oleh manusia, bukan Rasul, malaikat apa lagi Tuhan.

Berdasarkan beberapa referensi yang saya dapatkan bisa disimpulkan bahwa harta gono-gini itu ada dan diakui. Hanya saja tatacara pembagiannya diserahkan pada kita. Jika ada hukum adat dan hukum itu tidak bertentangan dengan kaidah keadilan menurut Quran, maka hukum adat itu boleh dipakai untuk membagi harta gono-gini. Jika tidak ada hukum adat, bisa dengan musyawarah antar ahli waris. Jika tidak ketemu mufakat, maka harus menghadirkan hakim yang adil untuk memutuskan.

Jadi benar… bahwa agama memang adil dan benar. Hanya saja, agama juga menuntut kecermatan kita untuk membaca tentang keadilan dan kebenaran yang dia kabarkan. Yang belum tahu memang harus mematuhi petunjuk yang lebih tahu. Tapi yang lebih tahu ya harus lebih tahu beneran, jangan pura-pura lebih tahu atau mumpung sedang dianggap lebih tahu. Karena memberi petunjuk yang sesat, selain zalim kepada pihak tertentu, juga memfitnah agama.

Salah memberi petunjuk agama sama juga mendustakan agama

Mari kita balik lagi ke awal artikel ini. Untuk memudahkan memicu logika kita, ambil contoh yang agak extrim. Supaya dmudah untuk dirasakan, yang kita jadikan contoh dalam kisah extrim bayangan adalah diri kita sendiri. Misalkan saya ketika muda menarik bagi para ortu gadis sebaya saya untuk diambil menantu. Lantas saya diambil menantu oleh orang kaya. Begitu nikah, sudah ada rumah, ada mobil, ada sarana-sarana lain. Semua itu datang dari mertua saya. Saya cuma modal badan saja. Bayaran saya cuma buat makan sehari-hari. Setelah sekian tahun berumahtangga, saya meninggal. Lantas semua itu dibagi sebagai harta waris hanya menurut skenario di awal artikel ini. Atau untuk lebih detilnya ada yang sudah menggambarkan flowchartnya disini.

Hasilnya…, isteri saya mendapatkan 1/8. Ayah dan ibu saya masing-masing mendapatkan 1/6. Sisanya dibagi untuk anak-anak saya. Waah… enak banget ya ortu saya 🙂 Barangkali saya di alam barzah juga senyam senyum merasa seumur hidup nggak pernah bisa ngasih apa-apa kepada ortu, ternyata begitu mati bisa ngasih … he he he 🙂 Itupun kalau nggak sedang disiksa 🙁

Mari kita cermati dengan nurani. Pantaskah ortu saya mendapatkan total 1/3 dari harta yang saya tinggalkan, padahal itu semua dari pemberian ortu isteri saya? Lebih menyedihkan lagi jika ternyata isteri itu kawin lagi dan punya anak lagi, tetapi kehidupannya terpuruk. Anak-anak dari suami baru itu bakalan nggak kebagian apapun meski dulunya semuanya berasal dari ortu sang ibu.

Padahal kayaknya sih tidak terlalu sulit untuk mencari benang merahnya. Sebagai garis pertolongan, anggap bukan saya mati, melainkan cerai. Apakah semua itu menjadi milik saya? Jika kaidah ini yang digunakan, maka akan tampak keadilannya. Yang dibagi tidak ada karena saya tidak punya modal apapun dalam perkawinan dan selama hidup yang saya dapat hanya cukup untuk dimakan. Paling-paling jika ternyata ada sisa di saldo bank. Dan itupun termasuk gono-gini, sehingga sebelum dibagi, hak isteri harus diamankan dulu.

Kalaupun isteri kawin lagi, harta bawaan itu tetap milik isteri. Harta bawaan suami ya teteap milik suami. Sehingga kelak setelah semuanya meninggal, semua bisa dibagi adil. Harta bawaan istri dibagi adil kepada semua anak kandungnya, baik yang dari saya maupun suami barunya. Harta bawaan suami juga dibagi adil kepada anak-anak kandungnya. Harta gono-gini juga dibagi adil kepada ahli semua warisnya.

Naah.. sekarang kita balik. Saya anak orang kaya dan menjadi suami yang hebat. Begitu nikah, sarana lengkap semua dari ortu saya. Isteri saya benar-benar seperti burung hias saja di rumah. Dalam waktu singkat, bisnis saya melejit dan menjadi Bill Gates coklat weton Nusantara dengan total kekayaan di atas 100T he he :). Tanpa korupsi lhooh!!! Tiba-tiba saya meninggal.

Total harta yang saya tinggalkan 144T (biar mudah dibagi) dan dibagiwaris. Isteri saya total mendapatkan 1/8, senilai 18T. Ortu saya total mendapat 1/3, senilai 48T. Sisanya 78T untuk anak-anak saya.

Kasihan ya.. isteri saya hanya dapat 18T. Meskipun kecil bagi total angka yang ada, angka 18T itu gede banget. Kalau dibeliin kerupuk ditumpuk di tol Jagorawi nggak muat. Karena isteri saya cantik, tentu banyak lelaki yang tertarik. Terlebih yang mendengar dia pegang uang 18T… makin nambah cantik di mata pebisnis mata keranjang yang gagal melulu.

Akhirnya kawinlah isteri saya dengan seseorang pilihannya. Suami baru ini duda punya anak dan miskin. Baru setahun usia pernikahan, tiba-tiba sang suami itu meninggal. Dengan isteri saya belum ada anak. Nah.. diwarislah 18T tadi mengikuti rule yang sama. Karena nggak ada anak, maka isteri dapat 1/4, senilai 4.5T. Ortu suami miskin tadi dapat 1/3, sebesar 6T. Dan sisanya ke saudara-saudara kandung suami. Lebih kasihan lagi kan isteri saya? Untuk menikmati perkawinan setahun harus mengeluarkan biaya 13.5T, yang dibayarkan kepada mertua baru dan anak-anaknya.

Betulkah agama mengajarkan seperti itu? Itulah perlunya cermat. Keyakinan saya, harus didahului dengan perhitungan gono-gini dulu. Keyakinan itu bagi saya 100%. Tapi saya tidak ada hak untuk mengklaim pembagian seperti contoh tersebut salah, karena saya bukan pakar agama. Yang berbahaya adalah mereka yang mengaku pakar agama dan membenarkan cara tersebut dan ternyata cara itu salah. Namanya mendustakan agama.

Soal Zakat Pertanian dan Perniagaan

Selain soal waris, ada lagi yang menggantung dalam uneg-uneg, yaitu soal zakat. Saya pernah mendengarkan khutbah di kampung yang menjelaskan soal zakat pertanian dan perniagaan. Karena di kampung, sang khotib menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh semua kalangan termasuk yang masih butahuruf. Ringkasnya kurang lebih begini:

  • Cara mudah untuk membayar zakat pertanian, ketika panen, untuk ladang beririgasi, hasil panennya dibikin dalam 20 tumpuk. Nah yang satu tumpuk itulah milik si miskin, harus dibayarkan kepada mereka. Maksudnya zakatnya 5%.
  • Sedangkan untuk ladang tadah hujan, hasil panennya dibikin dalam 10 tumpuk. Yang satu tumpuk itulah yang harus dizakatkan. Maksudnya zakatnya 10%.
  • Bagi pedagang, pulang berdagang, keluarkan semua duit yang dibawa dari pasar. Taruh semua di meja. Bikin 40 tumpuk yang nilainya sama. Nah yang satu tumpuk itulah yang harus dizakatkan. Maksudnya zakatnya 2.5%.

Tidak ada satupun jamaah yang menyanggah. Karena sudah menjadi tradisi, jika seseorang sudah menjadi tokoh apalagi sudah gelari “kyai” (entah siapa yang mewisuda), orang itu menjadi maha benar dan sangat dihormati. Yang tidak hormat pun beraninya di belakang (termasuk saya). Sayang sekali, apa yang dia maklumatkan kayaknya juga tidak ada yang melaksanakan. Terutama yang pertanian.

Bagaimana bisa dilaksanakan wong keuntungan pertanian nggak sampai segitu? Pertama, tidak bisa membedakan mana irigasi mana tadah hujan. Karena semua perlu air dan airnya didapat dari menambang sendiri, bukan dari irigasi. Kedua, biaya pertanian tidak berbanding lurus dengan biaya pengairan. Masih banyak biaya lain yang jauh lebih besar dari biaya air, antara lain, biaya pengolahan lahan, pemupukan (pupuk dan tenaganya), proteksi (racun dan tenaganya) dan masih banyak lagi. Sehingga jika dihitung secara cermat termasuk tenaga si petani itu sendiri yang setiap hari ke ladang, total keuntungan sekali panen tidak mencapai 5%.

Sedangkan yang perdagangan, ketika itu yang langsung bunyi (tapi di belakang) pedagang pulsa. Karena ketika itu pulsa masih Rp 100ribu/kartu dan keuntungan kotornya hanya Rp2000/kartu. Sudah jelas banget berapapun omsetnya, keuntungannya waktu itu mustahil mencapai 2.5%. Jika harus dibayarkan 2.5% (dari omset) ya mending nggak usah dagang kan?

Saya sendiri juga dagang ketika itu jualan kantong plastik. Keuntungannya bervariasi karena harga ketika itu sangat fluktuatif. Keuntungan terbesar hanya 3%. Tapi juga sering rugi, karena pas kulakan lagi harga sudah naik.

Naaah… sekarang pertanyaannya; apakah benar tuntunan agama seperti itu? Apakah benar zakat pertanian dan perniagaan dihitungnya dari omset? Omset berarti melibatkan modal. Padahal modal boleh jadi dapat dari hutang. Masa duit hutangan dizakatkan??? Sekali lagi, saya tidak ada hak untuk mengklaim tuntunan khotib/kyai tersebut salah. Karena saya bukan pakar agama. Namun nurani saya mengatakan tuntunan seperti itu salah total. Saya 100% yakin itu salah. Keyakinan saya, baik pertanian maupun perniagaan, yang kena zakat adalah keuntungan bersihnya. Sedangkan modalnya tidak kena zakat tersebut. Kenanya zakat mal 2.5% setahun manakala melampaui nisab. Berarti bukan modal pinjaman. Walaupun modalnya 100T jika semuanya pinjaman ya tentu di bawah nisab. Dan jika di bawah nisab tentu bebas zakat.

Naah .. jika seorang tokoh memberikan tuntunan dan tidak bisa dilaksanakan dan ternyata tuntunan itu salah, bukankah sama saja mendustakan agama? Karena bahayanya, ummat yang nggak mau atau nggak bisa melaksanakan tidak beranggapan sang kyai yang salah tuntun… tapi hati kecilnya justru menyalahkan agama. Jadi seperti memfitnah agama donk.. 🙁

Keyakinan Pribadi Soal Zakat dan Harta Waris

Keyakinan saya, zakat juga matematis seperti pembagian waris, yang seyogyanya bisa dijelaskan secara gamblang dengan bahasa awam. Tidak perlu terlalu banyak sitiran referensi bahasa arab biar kelihatan “nash” oriented, tapi ujung-ujungnya sesat.

Zakat pertanian dan perniagaan atau penghasilan, semua yang hitungan berbasis penghasilan bersih, bukan omset yang melibatkan modal. Sehingga tidak menjadikan tidak adil. Penghasilan dalam hal ini adalah keuntungan bersih. Untuk pertanian, pernelayanan dan perdagangan sebenarnya justru mudah menghitungnya baik secara matematis maupun psikis.

Yang sulit adalah zakat pengasilan karyawan. Apakah gaji take home pay bisa dianggap sebagai keuntungan bersih? Menurut pengertian saya, jika bekerja dianggap sama dengan berniaga, maka perhitungan keuntungan bersihnya harus sama. Berarti take home pay harus dipotong ongkos operasional seperti transport, parkir dan sebagainya supaya menjadi keuntungan bersih untuk dihitung zakatnya (2.5%).

Jika ada yang tidak mau repot atau tidak ingin dianggap pelit, lantas ngetung zakat dari take home pay atau bahkan dari gross salary sih boleh saja. Tetapi tidak boleh dilazimkan. Zakat hukumnya wajib. Menambah-nambah sesuatu yang wajib adalah bit’ah.

Bagi para dermawan ingin mengamalkan hartanya, kan sudah ada pintunya, yaitu sedekah. Sedekah bukan zakat. Zakat adalah hak fakir miskin yang oleh Tuhan diselinapkan dalam harta kita (jika kita bukan fakir miskin). Masuknya ke harta kita bagaimana, itu rahasia Tuhan dan kita tidak tahu. Tapi cara menghitung jumlahnya, Tuhan memberitahu melalui ayat-ayatnya. Itulah jumlah yang harus kita bayarkan. Karena porsi itu bukan hak kita, dan jika kita makan, haram hukumnya. Jadi harus kita hitung dengan benar dan kita bayarkan atau kembalikan kepada yang berhak. Zakat bukan pemberian.

Sedangkan sedekah adalah bagian dari hak kita dan kita berikan kepada orang lain. Jadi sedekah adalah pemberian dan hukumnya sunnah. Karena merupakan ibadah yang berdampak nyata dan berhukum sunnah, maka sedekah menjadi sebuah pencerminan kemuliaan hati seseorang dan konon pahalanya 700 kali lipat. Namun, sehebat apapun yang namanya sunnah, yang wajib harus dikerjakan dulu supaya afdol.

Dalam hal pewarisan juga ada pintu kelonggaran jika diperlukan, yaitu hibah dan wasiat. Misalkan kita sebagai ortu mengetahui bahwa nasib anak-anak kita ada yang mujur ada yang kurang mujur dan kita ingin memberi lebih kepada yang kurang mujur. Gunakanlah pintu hibah atau wasiat. Jika ragu dengan wasiat karena ada batasan 30% dan dilaksanakannya ketika kita sudah mati (jadi tidak tahu), ya pilihlah hibah. Kumpulin semua anak dan rembug baik-baik. Rasanya jika anak-anak itu dulunya kita didik dengan baik, tentu semua nyadar dan mengerti apa yang kita maksudkan.

Soal Pengeras Suara

Berbeda dengan di kota, di kampung terutama dalam 2 dekade terakhir ini terjadi perubahan yang cukup drastis. Hampir setiap blok muncul surau atau langgar dan masing-masing dilengkapi pengeras suara. Ketika masuk saat adzan, terutama maghrib, isya dan shubuh, irama dan ucapan adzan sampai nggak bisa didengarkan. Karena semua adzan dengan pengeras suara dan iramanya beda-beda. Iqomatnya juga sama kerasnya. Hanya saja lebih cepat dan semua nggak pakai irama.

Pernah saya tanyakan kepada mereka, haruskah adzan meski adzan masjid masih terdengar keras? Kata mereka harus. Katanya ustadz mengharuskan. Dalam hati, saya nggak yakin. Karena setahu saya, maksud adzan kan mengabarkan bahwa sudah masuk saat sholat. Ngabarin kan tidak perlu rame-rame. Lagipula yang saya lihat sendiri di Malaysia juga adzan bahkan hampir tidak terdengar. Padahal negeri itu Islam menjadi agama negara.

Iqomatnya bolehlah dikatakan harus, demi ketertiban sholat jamaah. Tapi juga tidak perlu dengan pengeras suara. Yang jamaah sudah kumpul? Bahkan rata-rata juga sudah wudhu.

Nah yang lebih parah biasanya setelah sholat ashar atau isya. Mereka mengatakannya pengajian. Tapi yang terjadi, untuk pasca ashar adalah anak-anak berlatih membaca huruf arab. Meskipun membaca tentu rame. Namanya juga anak-anak. Nah kayak gituan dikumandangkan dengan pengeras suara.

Sedangkan pasca isya, giliran ibu-ibu dan bapak-bapak yang ngaji. Namun yang terjadi tidak selalu ustadz menjelaskan sesuatu. Yang pasti adalah doa yang dilantunkan dengan lagu bikinan sendiri, kadang terdengar seperti irama lagu bintang kecil, kadang irama dangdut, tapi keras sekali dengan suara. Bahkan ada yang extrim menggunakan rebana segala. Ini berlangsung sejak ba’da isya hingga sekitar jam 22.

Terus terang selain tidak suka, saya yakin itu bukan ajaran, melainkan kreasi tokoh awal yang lantas ditiru dan dilazimkan menjadi sebuah standard. Bedanya, dulu suara alami, sekarang dengan pengeras. Mungkin meniru walisongo. Namun walisongo menggunakan bahasa lokal dan disusun dalam kidung formal sehingga selain bisa diikuti dan dipahami oleh pendengar, juga kedengarannya sangat indah “dwijawara mbrengengeng lwir swaraning madu brangta…”. Sedangkan yang sekarang bahasanya Arab dan lagunya acak adul seketumnya sehingga yang mendengar capek. Musiknya juga rebana yang tentu tidak seindah gamelan yang ditabuh para santrinya walisongo.

Namun saya nyadar karena ada kaitannya dengan seni, boleh jadi saya subyektif. Yang jelas tidak cocok adalah pengerasan suaranya karena memang banyak pihak yang terganggu. Terutama di masa ujian anak sekolah, jelas-jelas mengganggu. Sayangnya ego yang berlindung dibalik retorika keimanan lebih didukung masyarakat ketimbang pemikiran orang seperti saya. Sehingga ketika ada pihak yang memberanikan diri unjuk usul, disengakin; “urusan ibadah kok dikalahkan sama ebtanas”. Jadi demi urusan ibadah, anak-anak sekolah harus ngalah 🙂

Soal Riba dan Bank Syariah

Saya pernah posting di sebuah milis soal riba. Rata-rata menyepelekan karena rumusnya dianggap jelas. Membungakan uang adalah riba. Berniaga dengan untung bersih melebihi 20% adalah riba. Mudah kan? Apanya yang perlu dibahas?

Padahal di lapangan masih banyak yang bingung. Sayangnya mereka tidak pernah bergabung dengan milis. Melukis modalnya cat dan kanvas, mungkin Rp 100ribu cukup. Setelah jadi lukisan laku terjual Rp1juta. Berarti untung kotornya 900%. Jika ternyata setelah dipotong seluruh biaya lain termasuk jam sang pelukis dihargai seperti pekerja normal, maka ternyata keuntungannya masih di atas 500%. Ribakah?

Yang ini keyakinan saya tidak riba. Ketrampilan khusus seperti melukis, mencipta lagu, mencipta software khusus, menciptakan ilmu atau teknologi baru, tidak bisa diukur harga jamnya atau harinya. Karena ketrampilan tersebut tidak bisa dikulak seperti barang dagangan. Untuk bisa nyanyi mungkin ada sekolahnya. Tetapi untuk mencipta lagu, lebih banyak dari penggalian kita sendiri. Ilmu menata piranti IT sampai dengan membuat software ada sekolahnya. Bisa dikulak disana. Tetapi menciptakan piranti berteknologi baru atau mencipta software khusus, kebanyakan bermodal dari penggalian kita sendiri. Sehingga kita sendirilah yang menentukan harga jam atau bahkan harga ciptaan kita. Selama yang beli mau, ya itulah harganya dan tidak ada riba. Yang penting zakatnya dibayar. Karena kemampuan atau ciptaan semacam itu disebut kekayaan intelektual. Zakatnya mungkin termasuk zakat kekayaan jika memang ada nilainya permanen. Tapi jika nilainya hanya muncul manakala ada orang membelinya, maka zakatnya yang seperti zakat niaga.

Masih ada lagi soal riba. Saya pinjam uang anda Rp100juta. Karena kita sahabat dan anda kebetulan sedang ada kelonggaran, maka saya dipinjami. Ternyata uang itu saya pakai bisnis dan menghasilkan total bersih Rp500juta. Tidak ada riba karena saya menggunakan ketrampilan khusus. Karena saya menghasilkan keuntungan Rp400juta berkat kebaikan anda meminjami saya Rp100juta maka saya kembalikan uang ke anda total Rp250juta. Maksud saya, yang Rp100juta adalah pengembalian uang anda yang saya pinjam, dan yang Rp150juta adalah hasil bagi untung. Apakah anda menganggap riba dan tidak menerima uang itu? Waaah, ye kesenengen saya donk?

Nah kasus semacam ini tempo hari sering terjadi. Bagaimana seharusnya? Hemat saya, itu bukan riba, melainkan bagi untung. Hanya lebih etis lagi jika saya bicara blak-blakan di depan, termasuk bagi untungnya. Karena bisa saja anda tidak ikhlas setelah mendengar ternyata saya dapat Rp250juta. Sedang anda yang punya duit hanya Rp150juta.

Dari yang saya ketahui, hal semacam contoh tersebut adalah teori perbankan syariah. Betulkah? Jika betul, berarti bank syariah mengucurkan modalnya tidak selalu hanya untuk usaha yang sudah jelas jalan. Usaha yang masih dalam rencana pun memungkinkan mendapatkan modal. Tentu harus dievaluasi bersama kelayakannya. Bagi hasilnya pun atas kesepakatan bersama. Jika tidak demikian, bisa jadi pengetahuan saya yang keliru, atau bank syariah itu yang tidak konsisten.

Soal Kerancuan Mana Boleh Mana Tidak Boleh

Main sepakbola boleh? Pasti sebagian besar bilang boleh. Nyanyi atau nari di panggung boleh? Mungkin sebagian besar mengatakan boleh. Kontes kecantikan boleh? Nah ini mungkin sudah mulai 50-50. Nari telanjang boleh? Laaah ini mungkin 100% serempak menjawab tidak.

Nah.. sekarang pertanyaannya dirobah. Yoga boleh? Mutih boleh? Bertapa boleh? Hipnosis boleh? Telepati boleh? Bertapa boleh? Apa jawaban anda?

Saya angkat bagian ini berawal dari lapangan olahraga yang saya geluti. Disana, persis setelah pemanasan dan sebelum memulai inti olahraganya, diawali dengan aksi semacam yoga atau semedi. Duduk bersila dengan mata tertutup dan rilex. Bernafas rilex dan mengosongkan pikiran.

Pernah suatu ketika ada pendatang baru dan setelah selesai olahraga, sebelum berkemas pulang, menyempatkan untuk mempertanyakan aksi yang semacam semedi tadi. Intinya dia takut karena dilarang agama. Mengosongkan pikiran sama juga memasukkan setan.

Ketika itu saya tidak ambil pusing. Kalau takut yang nggak usah ikutan, lagi pula takut memang larangan keras dalam olahraga ini. Demikian jawaban saya. Maklum masih muda. Lantas saya lupa apakah dia masih hadir di latihan berikutnya.

Setelah 20 tahun lebih saya lupakan, tiba-tiba saya diingatkan oleh komentar pada salah satu tulisan di blog ini. Komentar itu ada kemiripan dengan kejadian 2 dekade silam itu, yaitu tentang tafakur di tempat sunyi atau semedi dan bertapa. Menurutnya, semua itu dilarang agama karena tidak diajarkan dalam Islam.

Dalam hal ini, sebenarnya saya tidak punya keyakinan tertentu seperti dalam soal waris, zakat, pengeras suara dan riba. Saya tidak yakin dilarang dan saya juga tidak yakin dibolehkan. Yang saya yakini, dalam hal muamalah, apa saja boleh dilakukan selama tidak mempengaruhi aqidah atau merugikan (diri sendiri maupun pihak lain). Sehingga aksi yang mirip semedi bagian dari olahraga tadi karena saya merasa itu hanya olahraga ya tetap saya lakukan tanpa ragu.

Sedangkan mutih dan bertapa saya tidak peduli karena tidak ada tuntutan untuk melakukannya, baik dalam olahraga tersebut maupun kegiatan lain. Toh andaikan anda bertapa, tidak ada pihak yang dirugikan. Pernah ada teman yang menjelaskan bahwa bertapa itu untuk membangkitkan kekuatan elektromagnetik sel-sel tubuh kita. Pasalnya, karena tidak atau kurang makan, maka sel-sel mejadi kekurangan jatah nutrisi. Konon sel-sel tubuh kita menjadi kelaparan. Makin hari makin banyak sel-sel yang kelaparan, sampai pada klimaksnya, semua sel mangap kelaparan. Mangapnya sel tidak ndower seperti mulut kita. Melainkan membangkitkan tekanan hipotonik (hisap) yang diwujudkan dengan pengkutuban muatan listriknya. Karena pengkutuban itu terjadi pada semua sel, maka efek fisiknya jadi nampak nyata. Lantas itu disebut kesaktian. Sialnya lagi, ada yang mengatakan itu jin.

Saat ini bertapa tidak umum. Konon untuk membangkitkan energi elektromagnetik sel-sel tubuh tidak harus dipicu dengan menghentikan jatah nutrisinya, kelamaan. Lebih cepat dengan menghentikan jatah oksigennya, cukup dengan menahan napas beberapa menit. Efeknya sama saja. Kurang nutrisi mangap. Ada nutrisi tapi tidak bisa dibakar juga mangap.

Naah… apakah jika benar inti bertapa seperti yang saya paparkan di atas, tetap masih bertentangan dengan ajaran Islam? Saya tidak tahu dan belum punya pendapat. Karena semua itu kata orang lain, jadi saya tidak ikut merasakan bagaimana rasanya ada kekuatan elektromagnetik sel yang muncul setelah itu dan bagaimana mengendalikannya.

Namun demikian, ada beberapa poin yang saya ingin garisbawahi sebagai hal yang patut dicermati oleh para pakar Islam, antara lain:

  1. Banyak riwayat yang menggambarkan bahwa Rasulullah Muhammad sebelum menerima wahyu, berarti sebelum menjadi rasul, sudah berakhlak agung. Tidak ada perbuatannya yang bertentangan dengan Islam.
  2. Wahyu perdana turun ketika Muhammad berada di gowa Hira. Semedi kah? Bertapa kah? Yang jelas ketika itu beliau belum bisa baca, sehingga nggak mungkin beliau bawa bacaan dan membacanya disana. Ada yang meriwayatkan saking laparnya sampai perutnya diganjal batu. Apakah cucu Abdul Muthalib yang kaya raya itu kelaparan karena miskin? Yang jelas tidak bertentangan dengan Islam (poin 1) yang hadir belakangan.
  3. Ada yang meriwayatkan Muhammad ketika masih belia pernah dibedah dadanya oleh malaikat Jibril untuk disucikan hatinya. Berdasarkan ilmu modern, senang, sedih, bijak, dengki, hasrat dsb berada di otak, bukan hati. Konon porsi otak yang kita pakai sehari-hari untuk hal yang logis dan matematis seperi CPU hanya sekitar 5%. Selebihnya untuk bawah sadar dan hal-hal yang selama ini kita selalu menunjuk dada.
  4. Mengosongkan pikiran tidak berarti memberi kesempatan setan masuk. Para koruptor adalah orang kemasukan setan. Si setan kapan masuknya ya? Apa mereka suka semedi atau bertapa hingga akhirnya kemasukan setan dan menjadi koruptor?

Untuk poin 2, kadang ada pakar yang membahasnya berbau bumbu rekayasa demi menjauhkan antara peristiwa gowa Hira dengan bertapa. Sebaiknya tidak perlu seperti itu. Jika memang ada riwayat yang menjelaskan bahwa yang dilakukannya di gowa Hira adalah semedi maupun bertapa, ya sesuai dengan poin 1, harus dengan legowo mengakui bahwa semedi atau bertapa tidak bertentangan dengan Islam. Apalagi jika ternyata benar bahwa efek aneh yang di dapat dari bertapa adalah gejala elektromagnetik, bukan jin, lantas apanya lagi yang diragukan?

Sebenarnya kita kaum muslim diwajibkan mengimani bahwa semua rasul menyandang mu’jizat. Apa bedanya dengan kesaktian? Hemat saya, mu’jizat adalah kesaktian yang paling top. Kebal senjata tajam saja sudah top markotop. Nabi Ibramin dibakar nggak mempan. Tentu lebih top dari yang sekedar nggak mempan dibacok. Nabi Musa mampu membelah laut dengan tongkatnya. Luar biasa kan? Terlebih Nabi Muhammad, yang mampu meloncat dari masjid Haram ke masjid Aqhsa dan dari sana melesat ke langit lapisan ke tujuh. Apa yang dimaksud langit lapis ke 7?

Jika yang dimaksud lapisan atmosfer, berarti lapis ke 7 sudah di atas ozonosfer. Untuk menanggung gesekan udara dari troposfer hingga ozonosfer saja sudah tak terbayangkan jika dengan kecepatan seperti kilat yang diriwayatkan. Besi saja bisa meleleh permukaannya. Ditambah dengan kelangkaan oksigen yang memustahilkan makluk bumi bisa mencapai kesana tanpa alat khusus. Belum lagi setelah di atas ozonosfer, selain tidak ada lagi oksigen, juga terpaan sinar UV dan kosmik yang bisa membakar apa saja.

Andaikan kecepatannya hanya setara pesawat jet, sekitar 900km/jam, berarti harus merasakan keragaman suhu sepanjang perjalanan. Menurut hukum alam, di troposfer setiap naik 100m, suhu turun setengah derajat. Namun di stratosfer ke atas sudah tidak ikut pakem itu. Suhu terendah dicapai di mesosfer di ketinggian sekitar 80km-100km, yaitu -110°C. Makluk bumi yang mana sanggup hidup dengan suhu sedingin itu? Rasulullah mampu. Es saja kering banget karena jauh dari titik cair. Mulai termosfer, suhu merangkak naik hingga ozonosfer suhunya konon sekitar 1200°C. Dikit lagi baja lumat. Kuningan saja lumat meleleh pada suhu 1080°C. Adakah makluk hidup di bumi yang mampu memasuki suhu sepanas itu? Mungkin cuma Nabi Besar Muhammad SAW.

Jika yang dimaksudkan lapis ke 7 adalah orbit planet di tingkat tata surya, maka lapis 7 bisa saja pusat matahari untuk arah ke dalam, atau di luar lintasan Pluto untuk arah keluar. Kecepatannya harus di atas roket Challenger untuk ngejar waktu semalam, karena jaraknya sudah jutaan km. Kondisi alam yang ditempuh setelah di luar atmosfer juga luar biasa. Selain sinar UV dan kosmik Matahari yang sepanas las, juga gelap yang pejal karena ruang hampa yang sangat panjang tanpa partikel apapun. Juga hipertonik yang luar biasa karena ruang hampa yang nyaris tanpa tekanan, bisa menguras seluruh isi tubuh lari menguap keluar. Mungkin dalam sekejap tinggal tulang belulang gosong seperti kena las.

Jika yang dimaksudkan lapisan ke 7 adalah lapisan di tingkat galaxi, lebih heboh lagi. Karena untuk diselesaikan dalam semalam, kecepatannya harus setara atau bahak melebihi kecepatan cahaya. Apa lagi jika yang dimaksudkan lapisan ke 7 adalah lapisan di tingkat Alam Semesta. Cahaya saja perlu waktu setahun untuk mencapai galaxi terdekat. Padahal mungkin setiap lapisan harus melewati ribuan galaxi dan keseluruhan bolak-balik harus selesai semalam. Tidak ada fenomena alam yang memiliki kecepatan segitu. Berarti harus keluar dari dimensi waktu, yaitu memasuki alam roh, seperti halnya malaikat dan jin.

Dengan demikian, isra mi’raj sepertinya mengisyaratkan bahwa kehebatan Nabi Muhammad bukan sekedar untuk menandingi manusia, melainkan kekuatan alam. Pantas saja ketika diingatkan pamannya untuk berhenti dakwah karena bahaya ancaman kaum jahiliyah, Nabi menjawab “andaikan matahari ditaruh di tangan kananku dan bulan ditaruh di tangan kiriku, aku tetap akan berdakwah”. Karena kekuatannya memang setanding kekuatan alam. Alam pun tidak beliau kawatirkan, apalagi cuman kaum jahiliyah Quraish.

Kenapa sehebat itu Nabi kok hijrah, bahkan pernah kalah perang di Uhud? Nabi adalah teladan kemuliaan manusia. Tentu anti takabur, kecongkakan dan pamrih. Dalam hal ini pamrih yang dimaksudkan bukan profesionalisme, melainkan kemunafikan. Sehingga yang diutamakan adalah mengajarkan agar manusia memiliki daya juang yang tinggi dengan mengutamakan kecerdasan dan menjaga komitmen dalam mengemban misi. Hijrah merupakan pelajaran kecerdasan strategi dan politik. Sedangkan kekalahan perang Uhud merupakan pelajaran untuk tidak takabur dan pamrih dengan kemunafikan.

Khusus yang poin 3, sebelum mencermati, supaya tidak skeptis, perlu saya ingatkan dulu. Karena saya tahu ada beberapa tokoh yang sepertinya anti modernisasi. Dianggapnya apa-apa yang modern berasal dari non-Islam. Bisa cilaka kalau ketemu yang model ginian.

Perlu diketahui bahwa hampir semua iptek yang ada sekarang ini berasal dari para ulama Islam, khususnya generasi anak-cucu sahabat. Bahkan, ilmu komputer yang hari ini masih dianggap ilmu mutakhir saja, juga berasal dari salah seorang ulama Islam. Salah satu pondasi dalam ilmu komputer adalah algoritma. Intinya, metoda penyusunan skenario komputasi. Kenapa disebut algoritma? Dari kata “Al Ghaurizmi” atau “Al Kwarizmi”. Untuk mengenang penciptanya, Muhammad bin Musa Al Kwarizmi, ulama besar matematika di abad 8 masehi.

Mungkin ketika itu belum banyak tulisan lain sehingga yang mereka baca hanya Al Quran. Oleh karena itu yang dianggap kewajiban tentu bukan hanya sahadat, sholat, zakat, puasa dan haji saja. Melainkan semua yang tertulis dalam Quran. Sementara di Quran banyak tulisan-tulisan yang memancing, menyindir, menantang bahkan vulgar menyuruh belajar. Bahannya pun sangat luas, mulai dari sekedar baca tulis hingga mencermati fenomena alam seperti kaitan antara air, hujan, awan, laut dan tumbuhan serta kesuburan tanahnya. Juga antara darah dan tanah. Karena semua ayat dianggap perintah, maka sebagian mempelajarinya secara semangat dan serius hingga muncullah penemuan. Lantas orang itu dianggap menjadi ilmuwan yang dalam bahasa Arab “ulama”.

Bukan saja ilmu exakta dan IPA saja yang hadir dari tangan ulama. Banyak ilmu-ilmu sosial mulai dari perdagangan (dengan perhitungan riba), perpajakan (dari zakat) dan sebagainya hingga masalah kenegaraan. Bahkan sistem bernegara yang berbasis kedaulatan rakyat murni (bukan bangsawan) yang hari ini disebut republik, juga berasal dari apa yang dicontohkan Rasulullah. Ketika itu disebut sistem kekhalifahan dan demokrasinya berbasis musyawarah adu bener, bukan coblosan adu banyak. Karena banyak belum tentu bener. Khalifah (presiden) terpilih bisa siapa saja, tidak harus bangsawan.

Masih di poin 3, saya pribadi secara tidak sengaja ikut merasakan bagaimana menggunakan porsi otak yang 95%. Dengan berpikir fokus dengan angan-angan (bukan logika), saya bisa memutar bandul yang digantungkan di tepi meja. Tangan saya tidak memegang bandul maupun talinya. Silakan baca disini.

Poin 4 kembali soal semedi atau bertapa, namun dalam konteks pikiran kosong. Sesuai dengan poin 3, pikiran kosong jangan diartikan kosong beneran. Porsi otak yang 5% mungkin saja istirahat, semisal ketika kita tidur atau melamun. Tetapi justru yang 95% bisa dirasakan kerjanya, semisal mimpi, atau halusinasi. Jangan berpikir halusinasi itu melulu melihat setan. Bisa jadi itu kerja otak kanan. Saya memutar bandul juga harus dengan melamun, berhasrat dan membayangkan bandul itu hidup dan bisa saya perintah. Lagi pula kita semua yang pernah sekolah pasti tahu, bahwa gerak jantung, usus, hati semua dikendlikan oleh otak. Mereka tidak pernah berhenti. Jadi otakpun tidak pernah berhenti pula.

Kita sebaiknya tidak mempertahankan pola pikir orang jadul. Hari gini sudah saatnya berpikir lebih bijak. Iptek semakin mendalam dan meluas. Bukan tidak mungkin memasuki wilayah yang dulunya dianggap tahayul atau mistis. IT sudah mengantarkan kita bisa becanda cekikikan dengan orang yang belum pernah kita temui dan berada di benua lain. Dulu nyebutnya ilmu “aji pameling”. Kini kaum cendekia sedang bergelora membangun teknologi molekuler atau teknologi nano. Dari presentasinya digambarkan, pintu mobil tidak lagi pake engsel. Hanya plat saja yang menyatu dengan plat bodi. Ketika tangan mendekat, lantas muncul lobang handle pintu. Begitu lobang diraih dan ditarik, maka plat di posisi tertentu menjadi lemes seperti kain sehingga menjadi engsel dan pintu bisa dibuka. Begitu ditutup, kembali menyatu dengan bodi lempeng dan kaku seperti tidak ada pintu. Semua sepertinya tidak masuk akal kan? Tapi beberapa juta menit lagi akan hadir di tengah-tengah kita.

Agama kan kerohanian dan rohani dan dari kata roh, sesuatu yang tidak fisik. Sehingga tidak tepat jika agama “dipaksa” untuk tampak realistik semua seperti KUHP. Istilah “khusuk” dalam sholat bukannya sama saja dengan mengosongkan pikiran? Atau bahasa halusnya mengheningkan cipta? Apa orang yang sedang khusuk sholat akan kemasukan setan karena pikirannya kosong atau ciptanya hening?

Lagi pula banyak fakta lain yang mendukung dalam pemahaman ini. Banyak tontonan manusia kemasukan setan, jika kita mau menyimak. Terpidana atau terdakwa koruptor seperti yang sering kita tonton di TV, apakah tukang semedi? Apa mereka suka mengosongkan pikiran? Kayaknya sih mereka justru lebih sibuk dari manusia lain pada umumnya. Boro-boro semedi… Jangan-jangan jam tidur pun sangat minim karena ibarat catur, mereka tentu harus sudah menyiapkan sebanyak-banyaknya kemungkinan langkah. Bagaimana mengatur pertemuan, menyusun kode-kode komunikasinya (ada apel malang ada apel washington), melakukan transaksi, mencuci dan mengebankan uangnya, menyusun alibinya, menyiapkan kambinghitamnya dan sebagainya. Sibuk kan? Kenapa setan bisa masuk?

Belum lama ini juga muncul kasus pembunuhan isteri muda pejabat eselon I. Pasti setan kan? Apakah si pejabat suka mengosongkan pikiran? Barangkali tidak kalah sibuknya dengan koruptor. Apalagi tidak dia lakukan sendiri, melainkan menggunakan jasa pembunuh bayaran. Apa mencari layanan pembunuh bayaran semudah memanggil taksi? Apa bisa titip pesen kepada sembarang orang untuk mencarikan? Bisa bocor donk? Belum lagi melawan gejolak psikis penolakan bhatinnya. Tentu sibuk banget. Kenapa setan bisa masuk?

***

MOHON MAAF, KOMENTAR YANG NGAWUR ATAU MENGARAH KE KONFLIK SARA PASTI DIHAPUS

wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
5 Comments
  • along
    Posted at 22:16h, 07 November Reply

    salam,,,mohon maaf mbak…mungkin perlu lebih spesifik lagi belajarnya,,,contoh untuk zakat penjual pulsa itu kan ada nisabnya,,,jika sudah sampai nisab baru dikeluarkan zakat…

    • mm
      Deru Sudibyo
      Posted at 04:40h, 16 November Reply

      Ini mengomentari bagian yg mana ya? Ataukah hanya mau ngajarin? Tolong dikutip bagian yg dikomentari, biar nyambung.

  • febrian
    Posted at 09:35h, 14 May Reply

    Aslm wr wb

    Same like me, awalnya juga aku banyak protes & itu aku cr tau terus sampai sekarang sampai aku mentok pada pemahaman

    “Hidup hanya sementara, tidak lain tidak bukan hanya ujian & akhirat yg kekal adalah tujuan kita”

    Terlepas oknum muslim yg melenceng tidak ada ajaran dr rasul kita jgn terprovokasi, krn ajaran ALLAH itu tidak salah & yg akan d tanya itu kita, bukan mereka (terserah pemahaman & bid’ah mereka)

    Jd mau bilang bank syariah menurut saya itu tetep riba (terserah mereka), nikah mut’ah menurut saya zinah (terserah mereka) dll & soal warisan yg hanya 1/8 mungkin tidak adil untuk istri tp coba jika istri trsbut nikah lagi & dapet suami yg meres duit apa tidak dzalim untuk anak2 mereka, wallahualam

    Waslm wr wb

  • Abu & Ali Channel
    Posted at 11:01h, 09 September Reply

    Justru konsep harta gono gini itulah letak kedzaliman nya…dan Kali dirunut, konsep itu berasal dari hukum buatan belanda.

    Dalam Islam yg sy pelajari, tidak dikenal harta bersama, atau harta hobo gini akibat pernikahan… karena pernikahan itu akad akan halalnya istri untuk digauli suami bukan akad perpindahan harta atau akad kerja sama mendapatkan harta.

    Harta suami akan tetap menjadi harta suami, harta istri tetap menjadi harta istri, daliknya sangat jelas

    Jika pakai konsep harta bersama tersebut, maka kewajiban memberi nafkah akan menjadi tidak jelas, apakah suami atau istri karena semua yg di dapat selama perkawinan menjadi harta bersama. Ini konsep dzalim.

    Akan Makin tampak dzalim nya, jika kasusnya istri kerja jadi TKW Dan suami ongkang2 di rumah…tidak perlu susah2, jika sudah dirasa cukup, tinggal ceraiin istri nya dapat separuh harta dan kawin lagi…

    Namun kalo konsep harta terpisah sebagaimana ajaran Islam diterapkan, maka kedzaliman seperti kasus di atas tidak akan mungkin terjadi. Suami tetap wajib memberi nafkah, sementara hasil jerih payah istri tetap menjadi hak nya istri

    Jadi kalopun terjadi meninggal dunia, maka YG dibagi adalah harta yg meninggal bukan harta bawaan.

    Contoh dzalim berikut nya
    Istri kerja gaji 100jt per bulan, suami kerja gaji 5jt per bulan.
    Pernikahan hanya berumur 1 tahun
    Jika menggunakan konsep harta bersama, maka saat bercerai, maka suami mendapatkan 1260jt x 50%=630jt

    Padahal aslinya dalam setahun suami hanya menghasilkan 60jt…

    Nah disitulah letak konsep dzalim harta bersama….
    Jika mengikuti Qur’an maka jelas…harta istri 1200jt tetap jadi milik istri, harta suami 60jt tetap jadi milik suami, Dan dikurangi nafkah bulanan, katakanlah 12jt setahun, maka harta suami menjadi 48jt

    • mm
      Deru Sudibyo
      Posted at 21:54h, 10 September Reply

      Harta gono-gini tetap ada karena Islam memperbolehkan adat yang berlaku. Tentu hanya jika adat tsb tidak zalim. Pelaksanaan pembagiannya bisa dengan damai atau putusan hukum. Minimal isteri mendapat 1/8 dari harta suami. Jadi… dari contoh kasus yang anda sampaikan, harta suami bukan 48juta, melainkan 42juta karena yang 6juta adalah hak isteri.

Post A Reply to febrian Cancel Reply