Hadiah dari Langit untuk Kejujuran

30 Mar 2012 Hadiah dari Langit untuk Kejujuran

Saya punya kerabat (paman) seorang pensiunan pendidik yang baru saja dipanggil pulang oleh Sang Khalik. Ketika kecil saya kurang akrab dengannya, karena beliau terlalu keras kepada saya. Maklum, saya termasuk anak nakal yang dimanja oleh kakek-nenek yang tinggal berdampingan dengan paman tersebut. Setiap kali mendengar saya sedang minta uang kepada kakek atau nenek, si paman datang dan membentak saya dengan suara seperti geledhek. Saya pun kontan kabur bagaikan angin.

Namun setelah saya beranjak remaja, tepatnya sejak masuk SMA, hubungan kami menjadi dekat. Rupanya paman sangat menyukai orang yang jujur, pemberani dan cerdas. Mungkin saya dianggap memenuhi kriteria tersebut bagai si paman. Ge-er nih yeee 🙂 Memang kenyataannya, sejak itu paman tidak pernah memarahi saya lagi. Sikapnya berubah total menjadi sangat akrab dan penuh humor layaknya kawan sebaya saja. Keakraban ini berlangsung hingga akhir hayatnya.

Di balik keakrabannya dengan saya, sejujurnya ada beberapa sifat paman yang tidak cocok dengan saya. Tetapi sebagai pihak yang muda, saya tidak pernah benturan frontal selain sekali saja ketika merembug penanganan sakitnya nenek saya (ibu paman) ketika beliau masih hidup sekitar 30 tahun silam. Ketika itu saya benar-benar ngotot dan paman mengalah. Ndilalah langkah saya mujur, nenek sembuh, meskipun setahun setelah itu nenek meninggal dalam keadaan sehat. Selain peristiwa yang satu itu, saya lebih memilih tidak komentar. Lagi pula belum tentu kebenaran berpihak pada saya. Saya lebih memilih memelihara keakraban. Terlebih setelah saya hidup sejauh 450 km dari kampung paman. Nyaris tidak pernah ada silang pendapat apapun.

Di kalangan masyarakat di kampungnya, paman adalah orang biasa-biasa saja. Jelas paman bukan orang jahat. Namun oleh sebagian masyarakat yang menggunakan aktivitas ritual explisit sebagai barometer, tentu paman tidak termasuk orang baik. Sifatnya keras dan sangat sensitif, langsung bereaksi ketika menghadapi hal-hal yang menurutnya tidak benar. Dalam hal kerohanian, paman juga tidak pernah tampak ke mesjid meskipun beliau tercatat sebagai warga muslim dan tinggal dekat mesjid. Namun juga tidak bisa dikatakan tidak melakukan ibadah ritual, karena toh tidak ada orang yang tahu apa yang sebenarnya dilakukannya di dalam rumah. Namun yang jelas, kegantengannya menjadikan paman populer di kalangan ibu-ibu. Tetapi paman selalu menjaga kewibawaannya dalam sikap dan tingkah laku keseharian.

Jujur dan tahan menderita

Di kalangan pekerjaannya, paman adalah manusia langka. Kejujuran dan kedisiplinan dijadikan jimat utama sepanjang hidupnya. Awal karirnya adalah guru SD dan SMP. Semua mantan muridnya yang saya kenal, menceritakan betapa paman adalah seorang guru yang menjalankan kedisiplinan dengan harga mati. Bahkan ada mantan murid yang mendramatisir bahwa kedisiplinan paman melebihi militer. Maka tidak heran hampir semua kelas yang pernah dipegangnya meraih prestasi tertinggi dalam segala hal.

Di pertengahan karirnya, paman hijrah menjadi staf di Dinas Pendidikan tingkat kabupaten. Disana paman dikenal sebagai orang yang paling mematuhi peraturan tanpa kompromi, leterleks seperti yang tertulis. Sehingga banyak yang tidak cocok, terutama oknum yang senang “mingar-minger”. Namun demikian, paman tidak terkucil karena kebanyakan teman-temannya menyegani. Mungkin menghormati kejujurannya. Mungkin juga takut gebugannya. Ketika menceritakan tentang keculasan politik dan korupsi, paman menyala-nyala seperti singa hendak menerkam mangsa. Karena status kepegawaiannya adalah guru, mestinya paman pensiun pada usia 60 tahun. Tetapi karena gerah melihat aneka penyimpangan dan keculasan, paman mengajukan pensiun pada usia 55 tahun dan diperbolehkan karena kenyataannya beliau bekerja di kantor, bukan mengajar. Beliau pensiun di penghujung masa Orde Baru.

Paman mengaku dirinya adalah marhaenist sejati. Sejujurnya saya tidak melihat pertanda itu dalam kesehariannya. Karena menurut saya, marhaenist mestinya dekat dengan “wong cilik”. Sedangkan paman belum pernah saya melihatnya demikian. Beliau lebih banyak pergaulannya dengan teman-teman sejawat dan pamong praja. Tapi itu hanya dari kacamata saya. Mungkin banyak sisi lain yang saya tidak tahu. Namun yang pasti, paman adalah salah satu dari sedikit PNS yang berani memasang gambar Bung Karno di rumahnya sejak jaman Orde Lama, nyambung sepanjang jaman Orde Baru, hingga akhir hayatnya. Jangan dianggap enteng lho! Memasang gambar Bung Karno di jaman Orde Baru adalah larangan tak tertulis yang paling diharamkan bagi PNS terutama di pelosok seperti kampung paman.

Sejak sepuluh tahun lalu, bibi, isteri paman, meninggal karena penyakit gula. Paman hidup sendiri karena anak-anaknya sudah tidak di rumah lagi. Sebagian sudah sibuk dengan pekerjaannya dan keluarganya di kota lain. Sebagian lagi kuliah di kota lain lagi. Salah satu anaknya tinggal di kampung yang sama, tapi beda rumah karena sudah berkeluarga.

Selama hidup sendiri, banyak janda yang bersedia meladeninya, tetapi paman menolak dengan berbagai alasan. Intinya, menurut saya, paman sangat mencintai bibi yang telah meninggal, sehingga tidak ada selera untuk nikah lagi. Setiap pagi dan sore harus ke warung untuk mengisi perut. Selebihnya hanya menyendiri di rumah. Sesekali saya datang menemani. Paman kelihatan sangat senang. Bahkan beberapa kali paman minta saya ajak mengikuti kesibukan saya. Namun hanya satu dua kali saya kabulkan. Maklum, saya tidak tega mengajak orang setua paman mengimbangi kesibukan saya ketika itu yang kebanyakan harus offroad di pegunungan mencari bahan baku minyak nilam.

Apesnya, sejak sekitar 3-4 tahun lalu, kaki paman diserang asam urat. Jadi agak kesulitan untuk berjalan. Sejak itu paman tidak bisa lagi naik sepeda motor. Setiap pergi ke warung harus diantar anaknya yang tinggal sekampung. Beruntung paman punya anak yang sangat setia meskipun di kampung dikenal sebagai pemuda yang ugal-ugalan.

Dalam keadaan seperti itupun, masih banyak janda yang berharap menjadi pendamping hidupnya. Anehnya, paman tetap memilih menyendiri di rumah besar yang “suwung”. Anak-anaknya dan hampir semua kerabat tidak tega dan menyarankan untuk segera memilih pendamping. Paman tetap bersikukuh. Entah apa yang dirasakannya, namun semua orang melihatnya paman sangat menderita kesepian. Tetapi paman selalu mengatakan sangat menikmati.

Hadiah dari Langit

Sejak pertengahan Maret 2012, paman melakukan diet entah karena apa. Tentu saja lemas kurang tenaga. Konon di hari-hari itu, paman banyak menceritakan kerabat, teman dan tetangga yang telah meninggal. Pada tanggal 19 Maret 2012 sekitar pukul 16:00, paman jatuh di kamar mandi. Kebetulan persis di jam itu, saya yang berada pada jarak 450 km dari rumah paman telpon kepada seseorang yang ternyata baru saja menolong paman menggotongnya ke tempat tidur. Jadi saya dapat info yang masih gres bener. Jatuhnya bukan kesandung, sehingga tidak menghantam lantai. Melainkan karena lemas, sehingga tidak ada benturan yang berbahaya.

Di tempat tidur, paman ditemani oleh anak bungsunya yang kebetulan nyambangi karena liburan dan beberapa tetangga yang barusan menolongnya. Konon paman masih lancar bercerita dan mengeluhkan apa yang dirasakannya. Paman juga menolak dibawa ke rumah sakit maupun ke klinik, karena merasa jatuhnya tidak pada posisi yang berbahaya. Rasa sakit yang dikeluhkannya, menurutnya bukan karena jatuh, melainkan terasa sejak sebelum jatuh. Tidak ada yang bisa memaksanya untuk ke rumah sakit. Anaknya yang tinggal sekampung, kakak si bungsu, hari itu kebetulan sedang di luar kota dan baru sampai di rumah paman saat petang.

Konon dalam berkata-kata seperti orang sehat. Namun ada beberapa pesan yang agak aneh yang disampaikan kepada anak-anaknya melalui si bungsu dan kakaknya yang baru datang dari luar kota. Pesannya antara lain, dalam tabungannya ada sejumlah uang, agar kelak jika beliau meninggal dibelikan beras dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Juga memesan agar rumah yang ditinggalinya tidak dijual, tetapi digunakan sebagai tempat berkumpul anak-anaknya.

Malamnya, sekitar pukul 23:00 paman mengatakan ada rasa aneh kepada 2 anaknya yang sedang menungguinya. “Lho kok ada rasa begini yaaa?”. Lantas diam seperti nyaris tidak sadar. Langsung saja kakaknya si bungsu yang paling setia mendampinginya merangkul dan menuntunnya berdoa. Selesai berdoa, paman menghembuskan nafas terakhirnya tanpa melalui sakaratul maut panjang yang menyiksa. Paman telah dipanggil pulang oleh Sang Pemilik Alam Semesta pada usia 72 tahun. Selamat jalan paman… semoga Tuhan YME mengampuni segala dosamu dan memberimu tempat yang baik. Amiiien – amiiien – amiiien.

Barangkali kematian yang sederhana itu hadiah bagi manusia yang jujur dan disiplin. Mudah-mudahan demikian, amiiien – amiiien – amiiien. Tiga tahun terakhir hidupnya, meskipun susah jalan karena asam urat serta pendengaran dan penglihatannya susut pun, paman tidak merasa menderita seperti perkiraan saya dan orang lain. Karena kenyataannya, paman masih mampu melakukan sendiri semua kegiatan di dalam rumah. Artinya, fisik paman masih bisa dianggap normal. Yang perlu bantuan orang lain hanya pergi keluar rumah, harus diantar (dibonceng sepeda motor) kakak si bungsu. Maklum lah usia 70an dan menderita asam urat di kaki. Jadi, sepertinya paman memang mendapat hadiah dari langit untuk kejujuran dan kedisiplinannya.

Namun itu hanyalah pendapat saya pribadi. Saya tidak tahu yang sebenarnya. Setahu saya, sakaratul maut termasuk zona gaib dan yang gaib sepenuhnya rahasia Allah. Tidak ada satu pun makluk yang tahu kecuali atas ijin Allah. Namun secara logika mungkin perlu disurvei, apakah orang-orang culas dan gemar menyalahgunakan wewenang kelak ketika dicabut nyawanya mengalami sakaratul maut yang menyiksa. Apakah sebelum ajal tiba harus dipasung dengan penderitaan yang cukup lama dan menguras biaya. Tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang 🙂

wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
No Comments

Post A Comment