Downsize – Manfaat apa Mudharat?

20 Dec 2010 Downsize – Manfaat apa Mudharat?

Downsize terjemahnya menurunkan ukuran.  Dari bus menjadi angkot, atau truk menjadi pickup, adalah contoh downsize.   Kenapa PO. Lorena tidak men-downsize busnya ke angkot?   Tentu ada alasan teknis dan non teknisnya.   Secara teknis sangat mungkin.   Bus berkapasitas 40 penumpang, sedang angkot 8 penumpang.   Berarti satu bus bisa digantikan 5 angkot.   Tinggal ketangguhannya, apakah angkot mampu menempuh trayek bus setiap hari dalam kecepatan yang sama.   Juga apakah garasi di setiap pool cukup untuk memarkir angkot yang jumlahnya 5 kali bus.   Semua itu bisa diperhitungkan sebelum dilaksanakan penggantian beneran.   Yang tidak bisa ditawar justeru biasanya masalah non-teknis.   Apakah aturan DepHub mengijinkan kendaraan sekelas angkot untuk transportasi umum jarak jauh?   Apakah penumpang mau naik kendaraan kelas angkot dari Bogor ke Malang?

Namun ada pula yang kendalanya di masalah teknis.   Misalnya, apakah mungkin truk-truk raksasa di pertambangan digantikan dengan mobil pickup?  Kalo hanya menghitung bebannya saja, tentu sangat mungkin.  Truk raksasa berdaya angkut 100 ton.   Sedang pickup 1 ton.  Sehingga 1 truk bisa digantikan 100 pickup.  Padahal harga truk raksasa jauh di atas harga 100 pickup.  Nah .. ginian kalo rembugnya dengan sales penjual pickup Kijang, tentu dalam seminggu deal dan minggu depan ratusan pickup Kijang baru berduyun-duyun memasuki wilayah pertambangan.   Lebih gurih lagi jika setelah deal, sang boz dapat suvenir penghargaan dari penjual pickup, entah berupa segeluntung rumah mewah atau sebutir Land Cruiser.  Hari itu sang boz sekeluarga menengadah ke atas mensyukuri apa yang didapatnya, seolah pahala dari langit atas kecerdasanya melakukan downsizing.

Keesokannya di lapangan berantakan karena tidak ada satupun pickup Kijang yang mampu menembus jejak truk raksasa.  Jangankan Kijang, kendaraan 4WD pun kesulitan karena lobang-lobang yang harus dilalui cukup untuk mengubur Kijang.  Agar bisa dilalui, jejak tersebut harus dibikin jalan beneran.  Jadi harus ada tembahan biaya untuk bikin jalan.   Belum lagi sopirnya, 100 kali lebih banyak.   Selain semua harus dibayar, manajemennya juga harus disesuaikan untuk mengelola sopir sebanyak itu.   Itulah mudharatnya bagi downsizing yang sembrono.

Pada pertengahan dekade 90an, kata downsizing tiba-tiba menjadi sangat populer di seluruh dunia.  Bukan di dunia transportasi atau pertambangan.   Tetapi di dunia IT.   Yang di-downsize mainframe (MF), diganti dengan komputer kecil.   Karena saat itu awal hadirnya teknologi canggih pada komputer-komputer kecil (PC).   PC yang selama 2 dekade sejak kehadirannya hanya dikenal sebagai kalkulator dan mesin ketik, tiba-tiba hadir dengan OS berpenampilan GUI yang berkemampuan multiprogramming dan multitasking serta dilengkapi processor Pentium I yang cukup cepat (di atas 100MHz) dan harddisk berukuran di atas 1GB, tapi masih dengan harga PC.   Hal ini memberikan inspirasi para pakar programming untuk menghadirkan aplikasi-aplikasi bisnis yang lebih serius dari sekedar word processing dan spread sheets.   Terlebih dukungan sarana networking dengan protokol internet (TCP/IP) yang jauh lebih mudah dan luwes dibanding SNA milik IBM, juga menginspirasi para pakar networking untuk mengembangkan distributed computing.

Partai non-GUI ternyata lebih dulu siap.   Mereka menghadirkan kembali Unix yang memang sejak awal merupakan OS multiuser, multitasking dan multiprogramming yang sempurna.   OS berbahanbaku C ini bahkan memicu munculnya gagasan open system, dengan dalih bahwa processor apapun selama sang produsen mampu menyediakan C compiler, tentu bisa kawin dengan Unix.  Sesama Unix tentu bisa berbagi aplikasi, yang ujung-ujungnya membebaskan pengguna dari ketergantungan platform komputer tertentu.   Sungguh sebuah gagasan yang jitu dan pro konsumen, tentu saja didukung sepenuhnya oleh semua pihak, termasuk kalangan ilmuwan.   Hati kecil saya tetap “ngeyel”, bukan jaminan menyediakan C-compiler bisa mengawini Unix dengan mulus.   Tidak hanya dalam hati, tetapi juga dalam berbagai diskusi maupun tulisan, entah ada yang membaca atau tidak.

Ringkas cerita, akhirnya gagasan open system ini resmi menjadi standard dan meluncur ke publik di pertengahan dekade 90an dan dibarengi dengan slogan downsizing yang segera populer.  Targetnya satu, mengganti MF dengan komputer kecil.  Tentu serta merta menggantikan topologi network dari centralized system ke distributed system dan model komputasinya dari direct transaction ke client/server.   Isu utamanya karena MF sangat mahal dan PC sangat murah..  Memang betul!   Satu unit DASD saja (baca harddisk) yang cuma 1GB bisa ratusan juta rupiah.   Padahal butuhnya puluhan GB.  CPU-nya tentu puluhan milyar.   Yang lebih parah lagi software-nya, rata-rata milyaran untuk setiap paket fungsi.   Pengguna yang bodoh dikadalin sekalian.   Banyak barang-barang yang tidak pernah digunakan tapi dibayar penuh, baik hardware maupun software.   Sungguh menyakitkan.   Setiap orang menjadi tahu boroknya bisnis MF dan banyak yang “gemes”.

Namun… terlepas dari mahalnya MF maupun culasnya para pedagang MF, tetap saja downsize ada yang manfaat dan ada pula yang mudharat.   Sebagian besar sangat jelas manfaattnya.   Bisnis yang tidak bersifat mission-critical dan/atau tidak mengharuskan terpusat seperti perminyakan, manufaktur dll serentak seluruh dunia membuang MF dan menggantikannya dengan distributed PC.   Ada yang ke Unix dan ada pula yang ke Windows atau Macintosh .  Kebanyakan mereka benar-benar menikmati manfaatnya.

Sedangkan di dunia layanan finansial, pemerintahan dan reservasi penerbangan rata-rata ambil nafas dulu.   Mereka yang sehari-hari menghadapi bisnis mission-critical, tentu sangat cermat menghadapi gejolak tersebut.  Mereka sudah terbiasa memprioritaskan stabilitas ketimbang  biaya, karena mereka hidup dari stabilitas.  sehingga tidak mudah terbawa arus.  Hanya beberapa “negara tertinggal” dan “korup” saja yang mengabaikan soal ini.   Karena di negara-negara non-korup, orang tidak pernah berpikir adanya celah untuk mendapat keuntungan pribadi di tengah hiruk-pikuknya situasi.  Justeru yang ada rasa was-was dan kehati-hatian menjaga stabilitas.   Apapun iming-iming downsizing, mereka tak akan beranjak sebelum benar-benar yakin sistem mereka aman.   Ibarat pedagang Pasar Induk, lebih baik overhead membayar preman daripada dagangannya raib.

Terlebih dunia perbankan, bukan saja mission-critical, tetapi juga harus centralized.   Untuk menjadi nasabah Bank XYZ, kita bisa saja mendaftar di cabang Bogor.   Tetapi kita bukan nasabah cabang Bogor, melainkan nasabah Bank XYZ.   Manakala kita di Surabaya atau Ujung Pandang, kita harus mendapat layanan cabang disana sama persis dengan ketika kita di Bogor.   Bisnis model begini, IT-nya harus terpusat.  Database seluruh rekening harus terpusat.   Jika terpecah dan tersebar, maka akan terjadi pembebanan network yang tidak normal.   Logik aplikasinya pun menjadi rumit.

Setelah melalu berbagai pengkajian serius para profisional, disimpulkan distributed processing tidak cocok untuk dunia mereka yang mission-critical.   Selain model mereka harus centralized, platform hardware dan software yang ditawarkan sama sekali tidak memenuhi kriteria mission-critical.   Tidak aman, tidak tangguh untuk 24×7 dan tidak mumpuni untuk operasi batch skala besar dan kritis.  Akhirnya mereka bersikukuh tetap mempertahankan MF meskipun dibilang mahal.   Maka kita bisa lihat, tidak pernah kedengaran ada bank atau airline atau pemerintahan yang melakukan downsizing …  .

Bagaimana Indonesia?

Seperti halnya di belahan jagad lain, Indonesia pun heboh dilanda slogan downsizing.   Bedanya, di Indonesia sama sekali tidak menimbang apakah bisnisnya mission-critical atau bukan.   Bukan berarti kru IT Indonesia bodoh.   Tetapi justeru para bos yang tidak mau mendengar suara bawahan.  Kita sangat maklum di Indonesia tidak terbiasa mempercayai apalagi menghormati profesionalisme bangsa sendiri.   Para bos kita lebih mendengar suara orang asing.   Apesnya mereka itu sales yg misinya jualan.   Akhirnya terjadilah revolusi IT besar-besaran.   Semua berlomba dulu-duluan downsizing… termasuk perbankan.    Hanya BCA, BII, KPTI DKI, Garuda, KS dan Indocement yang tetap bertahan dengan MF hingga hari ini.   Oh iya…pemerintah pusat Indonesia tidak ikut downsizing… karena nggak ada yang di-downsize… masih manual 🙂

Apa yang terjadi setelah downsize?    Untuk jagad non-mission-critical tidak ada kabar yang signifikan.   Mungkin karena langsung disusul “krismon” dan kehancuran rezim Orba jadi banyak berita IT terabaikan.   Saya pun lebih fokus mengamati yang mission-critical, karena memang dari sana saya lahir.   Lagi pula untuk yang non-mission-critical, saya sangat mendukung downsize dan open system.

Di jagad mission-critical, khususnya perbankan… benar-benar  hancur berantakan.   Transaksi antarcabang dan ATM gangguan melulu.   Konsolidasi data juga brantakan.   Networknya hamburadul.  Sampai-sampai ada bank plat merah yang saking frustrasinya mengatasi kinerja network sampai akhirnya memasang 2 antena VSAT berhadapan di satu atap gedung.  Kritik pedas pun datang silih berganti dari sejumlah nasabah yang merasa dirugikan.   Padahal bank tersebut dulunya ketika masih MF selalu jadi panutan bank lain.

Situasi seperti itulah yang dulu bolak-balik saya katakan kepada para bos.   Bukannya dicerna malah marah sampai akhirnya saya memilih menjadi self-employed hingga hari ini.   Jika para bos masih hidup, mau tidak mau harus mengakui kebenaran yang saya usulkan.   Mereka ternyata hanya mampu bertahan 2 tahun dengan distributed system.   Menjelang dan memasuki tahu 2000, mereka kembali merencanakan boyongan meninggalkan distributed system.   Kita bisa lihat sekarang,  …. 🙂   Bank mana yang masih dengan distributed system?    Semua sudah kembali ke centralized system.    Benar-benar mudharat distributed system untuk perbankan.

Pelajaran yang Sangat Berharga

Proyek downsizing yang memakan waktu sekitar 3 tahun dan dibiayai besar-besaran ternyata sama sekali tidak sempat dinikmati.   Belum sampai jalan 2 tahun harus kembali lagi ke centralized.   Tentu memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.   Setidaknya perlu waktu 2 tahun.   Jadi total waktu yang diperlukan untuk mondar-mandir sekitar 7 tahun.   Padahal 7 tahun adalah waktu yang cukup panjang dan sangat potensial untuk mengembangkan IT yang ada sesuai dengan laju pertumbuhan teknologi yang cenderung exponensial ketimbang linier.   Kita bisa lihat perbedaannya dengan bank-bank yang tidak ikut downsize.   IT mereka sudah melejit jauh meninggalkan bank-bank pandir tersebut.

Bahkan kalo mau menghitung total kerugian yang diderita bank-bank pandir itu, seharusnya berlipatganda.   Selain ketertinggalannya selama 7 tahun dan kerugian dari kegagalan investasi proyek downsize dan re-upsize, juga gangguannya terhadap laju bisnisnya.   Berapa tuh total semua?    Dan siapa yang bertanggungjawab?   Mereka mungkin sedang enak-enakan menikmati pensiun ganda.   Sebagian mungkin sudah bercampur tanah.   Kalo yang mereka remas-remas bank plat merah… jelas rakyatlah yang menanggung kerugian.   Inilah pelajaran berharga bagi bos-bos yang sekarang berkuasa agar tidak mencontoh kepandiran pendahulunya.

Ada yang Aneh Saat Kembali Centralized System

Rupanya kegagalan downsizing belum dianggap pelajaran berharga bagi para penentu kebijakan saat itu.   Saat mereka menyadari kekeliruan tsb (menjelang tahun 2000), bukannya sewot sama sang penyebar slogan dan diri sendiri yang pandir.   Mereka sepertinya masih alergi dengan MF.   Bahkan ada seorang bos mau dipotret di ruang komputer, dia nanya pada staf sebelahnya: “Apakah mesin di latarbelakang saya ini MF?”.   Sang staf jawab: “Bukan pak.  Emang kenapa?”.   Jawab sang boz: “Malu ah.. ntar dibilang nggak modern”.   Dalam hati saya… astaghfirullah… makluk ini bener-bener seperti katak dalam tempurung.   Lah wong Citibank, BOT, ADB, HSBC dan semua bank multinasional lainnya malah sedang bangga menggelar geographically dispersed parallel sysplex (GDPS) yang hanya bisa dilakukan dengan MF, kok ini malah pikirannya terbalik 180 derajat.  

Karena rata-rata masih anti MF, saat kembali ke centralized mereka mencari alternatif non-MF.   Ternyata hal ini sudah diantisipasi oleh IBM sejak heboh downsizing.   IBM telah memodernisir dan meningkatkan kapasitas minicomputer-nya, System/38 dan System/36, menjadi AS/400 yang mirip MF    Bakatnya sudah ada, karena S/38 sudah berbasis 48-bit, sekalian saja didongkrak menjadi 64-bit.   Sementara MF saat itu (pra 2000) masih 32-bit, dan yg digunakan untuk addressing hanya 31-bit, karena 1 bit dikorbankan untuk indikator agar bisa jalan bimodal dg 24-bit untuk menjamin kompatibilitas aplikasi-aplikasi legacy yang dibangun di era 70an .  Namun demikian, virtual memory-nya tidak kalah.   MF didukung dengan fitur hardware dan OS, meskipun hanya 31-bit, tetapi virtual memory yang dibangkitkan berganda.   Setiap job dijatah minimum satu virtual memory utuh mulai dari address 0 s/d 2**31 yang dinamakan address space.  Bahkan setiap job juga disediakan virtual memory tambahan khusus untuk data yang disebut data space, sebanyak yg diperlukan (max 2**14) dan setap dataspace utuh dari address 0 s/d 2GB.

 
Bak bocah rewel dibagi kembang gula…  AS/400 ini rupanya diterima bulat-bulat.   Yang penting bukan MF.  Apalagi AS/400 mengenalkannya dengan istilah 64-bit.   Sedangkan 64-bit nya MF kurang sosialisasi.   Maka menjelang dan memasuki tahun 2000an berduyun-duyun boyongan ke AS/400.   Lagi-lagi tanpa melihat asbabunnuzul dan lain sebagainya.   Yang bikin heran… kala itu direktur bank pun konsen dengan istilah 64-bit, OOP, open system compliant dlsb   Padahal bisnisnya banking, bukan IT..   Tentang 64-bit sudah dijelaskan di atas dan ada gambarnya.  OOP kan sebenarnya urusan programming dan compiler.  Komputer apa saja selama ada compiler yg mendukung OOP ya tentu bisa OOP.   Padahal saat itu sudah era System z yang tentunya sudah open system compliant.  Bahkan sejak era ESA/390 (pra 2000) sudah open edition.  Simak evolusi berikut ini.

Padahal sebenarnya sejak hadirnya arsitektur z/Series pada tahun 2000, MF sudah full 64-bit dan tetap mempertahankan esensialitas fitur teknologi multiple virtual storage (MVS).   Sehingga kapasitas virtual memorinya semakin jauh di atas komputer 64-bit lainnya.

Namun apa mau dikata… mereka tetap pilih AS/400 ketimbang kembali ke MF.   Alasannya klasik, “MF mahal”.   Mereka tidak pernah nanya kenapa.   Mereka tetap tidak menyadari bisnis yang ditanganinya tidak sekedar harus centralized, tetapi juga harus mission-critical compliant dan MF merupakan satu-satunya pilihan.

Apa Kaitannya MF dengan Komputasi Mission-Critical? 

MF adalah satu-satunya teknologi komputer yang mission-critical compliant.  Ini dikarenakan beberapa hal sbb:

  1. MF memilik tingkat keamanan tertinggi.   Tidak saja aman dari korupsi data oleh gangguan sekuritas, tetapi juga stabilitas.    Hardware MF dilengkapi dengan sejumlah pengaman yang kokoh untuk proteksi dan recovery.   Proteksinya ada 2 lapis, proteksi memori dan operasi privilege.   Sedangkan recovery-nya berlapis baik di CPU maupun device.  Demikian pula software MF, tidak hanya soal sekuritas umum saja yang berkaitan dengan password, autentikasi dan enkripsi.  Tetapi juga banyak memanfaatkan semua fitur proteksi dan recovery yang disediakan hardware dengan jitu.   Selain overhead-nya minimum, tingkat keamanan yang dicapai maximum.   
  2. Skala kapasitasnya paling panjang, mulai sejengkal di atas entry-level midrange hingga kapasitas tertinggi.   Hal ini untuk menjamin kenyamanan pengguna.  Volume bisnis silakan dipacu, tidak perlu repot mikir pergantian platform yang berbiaya tak terukur dan beresiko tinggi.  Kurang disk bisa tambah disk, kurang CPU power bisa tambah processor, kurang memori bisa tambah memori, semua tanpa merubah platform.  MF tidak akan kehabisan skala.   Tidak perlu ada konversi OS, apalagi program palikasi.   
  3. Dilengkapi teknologi GDPS untuk menyelenggarakan live backup dengan konfigurasi mirip network, dibentang antar kota antar propinsi (AKAP).   Ini adalah cara jitu untuk disaster recovery otomatis dan paling akurat.   

Ketiga poin di atas merupakan syarat mutlak untuk mencapai kategori mission-critical compliant dan hanya ada pada MF.

Topik-topik terkait

  1. Komputer Mainframe
  2. OS Mainframe
  3. GDPS – Konfigurasi Sistem Komputer Antar Kota Antar Propinsi
  4. Mainframe z/Enterprise, Cara Jitu Beternak Server
  5. Capacity Planning untukVirtualisasi
  6. Mainframe Solusi Paling Jitu untuk e-Gov
  7. Web Server Sederhana Berbahanbaku Rexx untuk z/OS
  8. Virtualisasi dengan z/VM makin Heboh

wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
3 Comments
  • Anonymous
    Posted at 04:06h, 21 December Reply

    Downsizing menjadi distibuted processing kadang tidak memikirkan overhead yang harus ditanggung untuk syncronizing, integration dan consolidation, belum lagi resources duplication.
    Beberapa tahun lalu, ketika suatu bank di Indonesi masih menggunakan distributed system berencana mengubah system perhitungan bunga menjadi bunga harian; mereka harus menyebarkan personeelnya ke setiap cabang untuk menerapkan system baru.Apa yang kemudian terjadi? Karena ada satu cabang yang gagal mengupgrade systemnya, maka seluruh cabang yang lain terpaksa harus fallback. Dan upgrade system mereka terdunda.
    salam(dc)

  • Anonymous
    Posted at 21:47h, 10 January Reply

    Kenyataan sekarang mereka sudah kembali dg sistem terpusat. hanya saja ga pake MF. Apakah mereka harus ke MF pak? Seberapa urgent harus ke MF.

    -bud

  • Deru Sudibyo
    Posted at 13:38h, 11 January Reply

    Pak @dc
    Betul banget pak. Maaf baru sempat mereply setelah cukup banyak yg queue 🙂 Itulah akibat para exekutif yang sudah tidak berkecimpung langsung di lapangan (bahkan ada yg sama sekali nggak tahu) IT terlalu nafsu turun tangan. Saya juga bingung ketika itu, para juragan yang sehari-hari paper-work dan high level tiba2 bicara tentang bit, port, client/server, bandwidth dll istilah teknis lapangan. Bukankah terminologi mereka itu TCO, ROI, BEP dll? Tentu saja akibatnya ya sesat he he 🙂

    Pak @bud
    Jika mereka ingin sistemnya memenuhi syarat untuk mission-critical ya harus merencanakan migrasi ke MF. Atau jika keharusan mission-critical comliant itu menjadi aturan main perbankan yang didukung dengan peraturan bank sentral seperti di negara-negara lain, mau nggak mau ya harus diikuti.

    Mereka yang menggunakan basis AIX atau Linux mungkin tidak perlu kerja keras. Cukup rehost saja sistem mereka ke MF. Silakan simak http://deru.blogspot.com/2010/12/mainframe-zenterprise-cara-jitu.html. Yang belum jelas adalah mereka yang memakai AS/400 (System i). PowerVM mestinya mensupport i/OS. Tapi khusus PowerVM untuk zBX belum ada penjelasan resmi dari IBM. Saya sudah tanyakan lewat berbagai group diskusi internasional, jawabnya sama. Banyak yang menunggu harap-harap cemas :(.

    salam
    DS

Post A Reply to Deru Sudibyo Cancel Reply