Contoh Jitu Dahlan Iskan Mengingatkan “Priyayi”

23 Mar 2012 Contoh Jitu Dahlan Iskan Mengingatkan “Priyayi”

“Priyayi” adalah kaum ksatria pemegang wewenang. Satu-dua ada yang amanah seperti Bima yang berani bertarung melawan raksasa Waka yang meresahkan rakyat karena suka memangsa manusia. Namun lebih banyak yang suka menyalahgunakan wewenang untuk mengumbar napsu demi kesenangan pribadi, keluarga dan golongannya seperti para ksatria Korawa. Mereka biasanya menutup mata tidak peduli dengan apa yang diderita orang-orang kecil. Dalam dongeng wayang “carangan”, cara Antasena mengingatkan Gatotkaca ketika keblinger menzalimi rakyat, atau cara Bima mengingatkan Arjuna ketika keblinger menyiksa panakawan, umumnya nggak pake ba bi bu, langsung hantam kromo melayangkan bogem mentah ke wajah sang priyayi keblinger tersebut.

Rupanya cara seperti itu masih efektif hingga hari ini di negeri ini. Menteri BUMN, Dahlan Iskan “ngamuk” membuka gratis gerbang tol Semanggi yang konon ditutup selama berbulan-bulan tanpa petugas. Entah para priyayi Jasamarga malu atau marah, yang jelas amukan Dahlan Iskan sangat jitu. Terbukti setelah peristiwa itu, gerbang Semanggi menjadi lancar. Silakan simak berita ini. Mungkin harus demikian cara mengingatkan para priyayi bedebah negeri yang sangat melazimkan budaya “budeg picek”, “tarsok” dan “cuek bebek”.

Budaya “budeg picek”, “tarsok” dan “cuek bebek”

Seorang pemimpin harus bisa menempatkan diri agar memuaskan semua pihak. Untuk itu, pemimpin harus memiliki kelembaman yang cukup untuk mencerna masukan dari segala penjuru agar tidak salam dalam membuat keputusan. Barangkali pelajaran inilah yang mengawali lahirnya budaya “budeg picek”, “tarsok” dan “cuek bebek”. Kelembaman yang mestinya terukur hanya sekedar untuk mencerna masukan, kebablasan menjadi seperti buta tuli kedap seperti software yang hanging. Mungkin karena dipengaruhi sifat konservatif takut resiko. Kalo gini aja jalan ngapain “legan golek momongan” cari penyakit? Lagipula umumnya masukan yang cerdas datangnya dari bawah yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. Namun yang terjadi di gerbang tol Semanggi, priyayi Jasamarga lupa bahwa masukan itu datang dari atas, yang artinya penyakit sudah datang. Maklum, saking lazimnya budaya “budeg picek” dan “tarsok” sampai kecerdasannya tersumbat dalam menimbang resiko.

Kelanjutan budaya “budeg picek” dan “tarsok” adalah “cuek bebek”. Terlebih manakala situasinya terbalik, gagasan atau keputusan yang datang dari atas. Nggak usah jauh-jauh soal kenaikan BBM atau TDL yang pasti sudah disiapkan seabreg argumentasi. Wong petugas lapangan PLN saja tidak merasa bersalah sedikitpun ketika memutus arus tanpa pemberitahuan. Pemutusan bergilir memang ada pengumumannya. Tetapi pemutusan arus karena hal lain, semisal ada perbaikan atau perawatan, yang penting petugas naik ke tiang dan arus diputus. Tidak ada seorang nasabahpun diberitahu. Mesin fotokopi yang kadung “mejen” mengeluarkan setengah halaman, ya harus berhenti pada posisi itu. Mesin cuci yang sedang tanggung ngucek ya harus berhenti dengan kucekan di dalamnya. Tidak ada petugas PLN yang salah. Yang salah konsumen, kenapa tidak memasang UPS untuk mesin fotokopi, mesin cuci dan peralatan elektrik/elektronik yang lain?

Dahlan Iskan diharapkan peduli produk lokal

Semoga langkah tegas Dahlan Iskan tidak hanya sebatas ngamuk di gerbang tol Semanggi. Selangkah lebih maju lagi ke arah aset. Semoga ada dalam agenda Dahlan Iskan untuk mengingatkan para priyayi BUMN untuk tidak terlalu berpihak kepada produk impor. Meskipun hanya sebatas BUMN, lumayan jika produk lokal diberi tempat yang adil disana. Ini bukan ngomongin barang-barang sekelas spidol atau makanan, melainkan aset berteknologi tinggi yang umumnya produk impor, termasuk yang dimiliki atau dipakai BUMN. Produk lokal di kelas itu belum banyak. Terlebih produk lokal sering kali tidak diberi kesempatan. Tentu gairah para rekayasawan lokal untuk membangunnya pun mati sebelum lahir. Mending membantu industri manca negara membangun produk.

Kenapa pasar lokal tidak adil pada produk lokal? Alasan yang paling lazim adalah corporate guarantee. Tentu saja aura korporasi produk lokal kalah dengan merek impor yang hadir beberapa dekade sebelum kita. Tapi kenapa industri Korea yang hadir belakangan kok maju? Kenapa industri Malaysia, Thailand, China, India dll maju? Karena mereka mengabaikan alasan corporate guarantee.

Mungkin saja alasannya tidak sekedar itu. Sudah bukan rahasia umum lagi, transaksi memasukkan aset tentu mendatangkan cipratan berkah bagi sejumlah priyayi tertentu. Memasukkan aset yang harganya mahal, tentu cipratannya lebih gurih ketimbang yang harganya murah. Karena nilai transaksinya lebih tinggi. Produk impor tentu lebih mahal dan lazim mahal. Produk lokal pun bisa dibikin mahal, tetapi tidak lazim, sehingga tidak menarik. Terlebih pemainnya tidak bersedia main ciprat-cipratan. Makin tidak menarik.

Di Korea, Malaysia, Thailand, China, India dll, transaksi pengadaan aset mungkin saja ada cipratan. Namun sejauh yang saya dengar hanya sekedar cinderamata, makan bersama atau berkunjung ke tempat wisata tertentu. Mungkin saja ada yang langsung kocek “pecingan” (bahkan ada yang mirip bagi hasil usaha bersama) seperti di kita, tapi saya belum pernah dengar. Namun seumpama ada pun, rasanya keadilan menilai kualitas produk tidak bisa disumbat habis dengan “pecingan”. Bahkan jika dalam kontes ada produk lokal, rasa solidaritas nasionalisme mereka muncul dominan.

Jika saja sikap pasar kita seperti Korea, Malaysia, Thailand, China, India dll, insya Allah akan bermunculan industri dari segala penjuru Nusantara. Para rekayasawan sejati Nusantara banyak yang menunggu hadirnya keadilan pasar. Mohon beribu maaf, bukan berarti kita mau “kolokan” minta dibela atas nama solidaritas nasionalisme meskipun produk kita tidak berkualitas. Bukan pula berharap keberpihakan untuk menjadikan produk lokal tuan rumah di negeri sendiri. Masih terlalu jauuuuuh yak? Yang diharapkan sederhana, hanya keadilan. Tolong produk lokal, di tingkat hitech sekalipun (jika ada), jangan diabaikan atau dianaktirikan. Produk lokal yang sudah tampak kualitasnya, hargailah sesuai kualitas dan fungsinya. Produk lokal yang belum ketahuan kualitasnya, berilah kesempatan adu fungsi dan kualitas (technical benchmark) melawan produk lain yang dianggap memiliki kualitas standar dan/atau mengikuti prosedur yang adil.

Kita tidak menutup mata, produk lokal juga ada yang berkualitas rendah atau belum berkualitas. Produk yang demikian harus membuka diri seluas-luasnya untuk menerima kritik membangun guna memperbaiki kualitas. Jangan “mbudeg micek” terhadap kritik atau komentar publik yang jeli. Sebaliknya, publik yang mengatasnamakan golongan nasionalis juga jangan “kolokan” latah asal bela “waton suloyo” mencaci kritikus. Senasionalis apapun, produsen meja lokal yang kakinya dipasangi kauskaki dan sepatu memang harus dikritik jika tidak ingin ditertawakan industri furnitur lain dan dianggap tidak ngerti soal meja. Demikian pula mobnas Esemka, harus segera mencabut free-lock hub yang terpasang di roda depan jika tidak ingin dikatakan tidak tahu soal otomotif.

Kritikus memang ada yang asal ngritik. Tapi ada kritikus yang mengkritik karena kepedulian. Biasanya di balik kritiknya yang tajam, mereka juga menawarkan solusinya. Kritikus seperti ini bukan pengkhianat bangsa, justru sebaliknya, pendukung bangsa yang harus dirangkul. Apalagi identitas dirinya ditampilkan, menandakan dia sangat bertanggungjawab atas apa yang diucapkan atau ditulisnya. Boleh jadi dia memiliki kepakaran yang cukup berbobot di bidang tersebut. Yang harus diabaikan justru mereka yang berkoar-koar mengkritik tanpa asal-asalan atau menentang kritik mengatasnamakan cinta produk lokal tapi faktanya yang dipakainya barang-barang impor.

Nah.. pejabat semacam Dahlan Iskan sangat diperlukan untuk mendobrak keadilan pasar, meskipun sebatas lingkungan BUMN, guna memberi angin segar bagi para rekayasawan sejati Nusantara mengumbar kreativitasnya. Jika Dahlan Iskan jeli, saya jamin dalam beberapa hari beliau akan menemukan mana-mana produk lokal berteknologi tinggi yang siap tanding melawan produk impor, dan priyayi-priyayi bedebah BUMN mana yang menampiknya.

BRI bangga BERINDONESIA

Sungguh nasionalis sejati BRI dengan slogan barunya “Bangga BERENDONESIA“. Patut diacungi 2 jempol. Pasalnya, saya sendiri makin bingung. Setiap saat saya hitung satu demi satu apa yang harus saya banggakan, namun apa daya masih belum ketemu. Peringkat korupsinya? Mahalnya pendidikan? Premanismenya? Kemacetan lalulintasnya? Rusaknya jalanan? Beras berpemutihnya? Bakso tikusnya? Makanan berformalinnya? Keberpihakannya pada produk dan pakar asing? Apanya donk?

Saya nggak mau munafik. Saya telah berusaha sekuat tenaga dan pikiran. Namun kebanggaan itu belum saya temukan. Oleh karena itu terus terang saya salut BRI bangga berIndonesia. Bagi saya, yang ada dan pasti, saya cinta Nusantara. Semua produk yang saya bangun menyiratkan aura kecintaan saya kepada Nusantara.

Bila bukan kita, siapa lagi yang akan memberikan “sesuatu” buat Indonesia? Demikian kalimat awal slogan tersebut. Bisakah saya artikan sejak diluncurkannya slogan tersebut BRI telah membuka diri untuk menerima produk lokal dan mendukung kreativitas rekayasawan lokal? Maklum saya pertanyakan karena apa yang saya alami membawa NSI ke BRI tempo hari justru kebalikannya.

wpuser
dewi.sekarsari@yahoo.com
No Comments

Post A Comment