Bagaspati – Gambaran Kasih Sayang Seorang Ayah

21 Dec 2012 Bagaspati – Gambaran Kasih Sayang Seorang Ayah

Bagaspati adalah tokoh fiksi pawayangan yang berupa seorang pendeta di padepokan Argabelah (baca: Agrobelah) yang berujud raksasa. Tentu selain sakti juga memiliki sifat ganas sebagaimana raksasa pada umumnya. Konon semula dia adalah manusia biasa dari kasta ksatria, berubah menjadi raksasa gara-gara dikutuk oleh Bhatara Guru, dewata penguasa kahyangan Suralaya. Yaaah namanya juga dongeng, berubah ujud, baik sementara maupun permanen ya gampang saja. Jangankan cuman manusia berubah raksasa yang pada dasarnya secara anatomi masih mirip. Kadang manusia berubah menjadi binatang atau sebaliknya juga ada, wong cuman dongeng.

Tulisan ini tidak membahas keseluruhan soal dongeng Bagaspati. Melainkan sekedar mencermati salah satu pesan yang melekat dalam diri Bagaspati dalam perannya sebagai seorang ayah bagi anaknya, Dewi Pujawati (baca: Dewi Pujowati). Bagaspati merupakan gambaran umum kasih-sayang seorang ayah pada anaknya.

Dewi Pujawati, meskipun anak raksasa, ternyata cantik molek bak bidadari. Meskipun cantik, nyaris tidak ada cowok yang berani mendekat. Maklum, ayahnya raksasa yang tentu dianggap ganas. Terlepas raksasa maupun bukan, umumnya orangtua mengutamakan sifat protektif pada anak perempuan dan hal itu tentu hal yang paling menyebalkan bagi si anak. Padahal sifat protektif justru merupakan wujud kasih sayang yang nyata, jangan sampai sang anak terjerumus ke dalam lembah kesengsaraan, terlebih kenistaan.

Perbedaan yang paling mencolok antara ayah dan ibu dalam memproteksi anaknya, pada umumnya ibu lebih memilih menasihati dengan kelembutan, sebagaimana sifat kaum hawa. Sedangkan ayah umumnya lebih tegas dan terkesan mendikte. Maklum sifat lelaki memang demikian. Namun demikian, parameter yang dicermati oleh ayah lebih teliti ketimbang ibu. Hal ini karena wawasan ayah umumnya lebih luas, mengingat perannya sebagai pelindung dan pengupaya nafkah utama keluarga.

Dalam cerita pawayangan, tolok ukur umum dalam mengevaluasi calon jodoh anaknya adalah “bibit – bebet – bobot“. Bibit atau benih adalah faktor genetika. Diupayakan calon jodoh setidaknya terbebas dari faktor genetika yang negatif, seperti penyakit menurun, sifat buruk dsb. Bibit sangat penting karena berpotensi mempengaruhi perkembangan keturunan dari faktor biologis yang sulit diatasi. Bahkan jika mungkin yang dicari adalah bibit unggul seperti memiliki sifat kejeniusan.

Bebet atau kelompok masyarakat atau kerabat darimana calon jodoh berasal. Misalnya agama, ras, kesukuan atau adat-istiadat dan sebagainya. Pada umumnya agama merupakan harga mati. Sedangkan ras, kesukuan atau adat-istiadat hari ini bukan lagi masalah, namun ada plus minusnya. Plusnya adalah kebhinekaan. Minusnya adalah jika salah satu atau kedua pihak memiliki sukuisme yang tinggi, akan sangat menyulitkan dalam pergaulan keseharian dan rentan terjadi kesalahpahaman.

Bobot adalah tingkat kemumpunian. Jaman sekarang populer dengan istilah “matre”. Umumnya, kekayaan, jabatan/kekuasaan atau setidaknya tingkat pendidikan. Semua ini ujungnya adalah kesiapan ekonomi. Sepertinya istilah “matre” kental dengan kenistaan. Tetapi jika dicermati ada benarnya juga. Orangtua mana sih yang suka melihat anaknya menderita kekurangan? Kesan nista muncul karena mungkin ada sebagian kecil orangtua yang berharap sedekah rutin dari anaknya. Tapi umumnya tidak demikian. Umumnya sekedar jangan sampai anaknya kelak mengalami kesulitan ekonomi.

Dalam pewayangan, parameter seorang ibu umumnya cukup bibit – bebet – bobot di atas. Namun seorang ayah kadang berlebihan dalam memilih calon suami anak perempuannya, terutama dalam hal bobot. Sering digambarkan berupa sesumbar, menantuku adalah siapa saja yang mampu menandingiku. Bobot dalam cerita wayang kental bernuansa kesaktian. Mungkin jaman dulu kesaktian merupakan potensi utama. Maklum belum ada hukum dan HAM, sehingga makin sakti seseorang makin mudah meraih kekuasaan maupun kekayaan.

Bagaspati pun demikian. Kewibawaannya sebagai brahmana dan kesaktiannya yang sangat kondang dengan ajian Candabirawa (baca: Condobirowo) yang sulit tertandingi seakan menjadi benteng kokoh bagi Dewi Pujawati putrinya. Tidak sembarang pria berani mendekati sang putri. Bahkan para raja pun harus berpikir dua tiga kali untuk berani meminang Dewi Pujawati.

Tidak ada ayah membelenggu anaknya

Tongkrongan Bagaspati yang ditakuti dan disegani seolah merupakan batu panghalang bagi putrinya untuk mendapatkan jodoh. Andaikan kita jadi tetangganya, pasti komentar kita, kapan putrinya akan ketemu jodoh jika harus sebobot dengan sang ayah. Ternyata tidak demikian. Bagaspati ternyata mampu membuka diri bersikap lunak manakala dianggap sudah waktunya. Terbukti dia menerima kehadiran sang Narasoma (baca: Norosomo) ketika usia Pujawati dianggap sudah harus memasuki jenjang pernikahan. Terlebih Pujawati tampak benar-benar jatuh hati kepada Narasoma itu. Meskipun sebenarnya Bagaspati kurang sreg. Karena meskipun pemuda itu tampan, ketajaman bhatin Begawan Bagaspati meraba ada tanda-tanda kurang baik pada diri Narasoma yang tampak sedikit angkuh.

Bagaspati lantas sibuk berolah bhatin mencermati Narasoma, menimbang antara sikap keangkuhannya dan rasa cintanya kepada Pujawati. Akhirnya tibalah saatnya Bagaspati menyimpulkan, bahwa Narasoma memang angkuh dan tidak cocok dengannya. Tetapi cinta Narasoma kepada Pujawati benar-benar sangat kuat sehingga dapat diharapkan kelak akan menggantikannya menjadi pelindung terbaik bagi putrinya.

Dugaan Bagaspati ternyata benar. Diam-diam Narasoma mendekati Bagaspati ketika Pujawati tidak sedang bergabung, dan berkata bahwa dia sangat mencintai Pujawati meskipun harus menderita seumur hidup. Bagaspati lantas bertanya kenapa harus menderita. Jawaban Narasoma sangat menyinggung perasaan Bagaspati. Dia akan menderita seumur hidup karena di satu sisi dia tidak mampu berpisah dengan Pujawati. Namun disisi lain dia harus menanggung malu karena menjadi menantu seorang raksasa, miskin pula.

Berkorban demi kebahagiaan anak

Kontan saja adrenalin Bagaspati naik. Sudut bibirnya kedutan dan tangannya gemetar. Andaikan bukan Narasoma yang sangat dicintai anaknya, tentu sudah ditelan hidup-hidup. Bagusnya akalnya masih bekerja dengan baik. Sadar bahwa kemarahannya jika tidak dihentikan akan berakibat fatal bagi anaknya. Akhirya Bagaspati hanya menghela napas panjang sambil ngelus dada.

Lantas berkata: “Heh Narasoma, sombong sekali kamu… Kalau saja anakku tidak jatuh cinta padamu, niscaya kamu sudah kubantai habis disini. Sekarang berkatalah jujur… apa yang akan kamu lakukan terhadap anakku seandainya aku lenyap?”. Dengan polos Narasoma menjawab: “Wahai raksasa, andaikan kamu tidak ada, anakmu akan kujadikan satu-satunya istri yang aku cintai dan aku lindungi dengan segnap jiwaku”. Bagaspati bertanya sekali lagi: “Wahai pemuda congkak, apakah kata-katamu itu sebuah sumpah seorang ksatria?”. Narasoma menyahut: “Betul, itu adalah sumpahku, semoga kamu dan jagad seisinya menjadi saksi”.

Bagaspati lantas memanggil putrinya, Dewi Pujawati yang sedang tidur seraya menyampaikan nasihat yang lengkap dan padat yang dilantunkan dalam tembang sinom sbb:

Ngger cah ayu sutaningwang
Rungokna pitutur iki
Nggayuh urip ing bebrayan
Winengku uga mengkoni
Ywa nganti lirwa ing wajib
Mring garwa setya mituhu
Dadya tepa tulada
Nggonira amardi siwi
Pangestuku mbanyu mili tumrap sira

Dalam budaya Jawa, pernyataan atau nasihat atau pesan yang dianggap penting umumnya dilantunkan dalam tembang atau kidung, agar mudah diingat. Apalagi untuk sejenis dongeng atau pentas, seperti cerita Bagaspati ini, intinya bukan tokoh fiksi Bagaspati, Narasoma maupun Pujawati, melainkan justru nasihat Bagaspati di atas yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Sehingga akan lebih mudah dihafal jika berupa tembang. Terjemahan bebasnya adalah sbb:

Ngger cah ayu sutaningwang
anak cantik anakku
Rungokna pitutur iki
(baca: rungokno pitutur iki)
dengarkanlah nasihat ini
Nggayuh urip ing bebrayan
berencana hidup berkeluarga (itu)
Winengku uga mengkoni
(baca: winengku ugo mengkoni)
(artinya) dimiliki dan memiliki
Ywa nganti lirwa ing wajib
(baca: ywo nganti lirwo ing wajib)
jangan pernah melupakan kewajiban (sebagai isteri)
Mring garwa setya mituhu
(baca: ming garwo setyo mituhu)
kepada suami harus setia dan patuh
Dadya tepa tulada
(baca: dadyo tepo tulodo)
jadilah teladan
Nggonira amardi siwi
(baca: nggoniro amardi siwi)
dalam mendidik anak-anakmu (kelak)
Pangestuku mbanyu mili tumrap sira
(baca: pangestuku mbanyu mili tumrap siro)
restuku kepadamu bagaikan air mengalir (tak pernah berhenti)

Dalam nasihatnya, Bagaspati wanti-wanti agar Pujawati tidak pernah sekalipun melupakan kewajibannya sebagai isteri, serta benar-benar setia dan mematuhi sang suami. Baktinya kepada suami itu kelak akan menjadi teladan dalam mendidik anak-anaknya. Narasoma ikut mencatat nasihat tersebut.

Kepada Narasoma pun, Bagaspati juga memberikan pesan yang adil. Jika putrinya sendiri dituntut untuk setia dan patuh kepada suami, maka menantunya juga harus setia dan melindungi. Pesan ini juga dilantunkan dalam tembang sinom sbb:

Ngger cah bagus mantuningwang
Mulane sira sun tampi
Sambut silaning akrama
Anggarwa lan nini Dewi
kudu sumanggem ngayomi
dadya sesulihe ulun
ywa pisan gawe cidra
lan kuciwane nak mami
ulun bakal manuksma mring jroning karma

Terjemahan bebasnya adalah sbb:

Ngger cah bagus mantuningwang
anak cakep menantuku
Mulane sira sun tampi
(baca: mulane siro sun tampi)
makanya saya terima
Sambut silaning akrama
(baca: sambut silaning akromo)
dalam acara pernikahan ini
Anggarwa lan nini Dewi
(baca: anggarwo lan nini Dewi)
mempersunting nona Dewi (Pujawati)
kudu sumanggem ngayomi
(kamu) harus sanggup melindungi
dadya sesulihe ulun
menjadi penggantiku
ywa pisan gawe cidra
(baca: ywo pisan gawe cidro)
jangan pernah menjahati
lan kuciwane nak mami
dan mengecewakan anakku
ulun bakal manuksma mring jroning karma
(baca: ulun bakal manuksmo mring jroning karmo)
saya akan mengawasi (dari dalam bhatin) perbuatanmu

Dalam pagelaran wayang, karena dilengkapi dengan gamelan, pesinden dan wiraswara, maka dua pupuh kidung sinom di atas umumnya dilantunkan dalam gendhing dengan irama yang sesuai. Namun tanpa gamelan juga tidak masalah dengan kidung macapat. Berikut ini contoh lantunan macapat sinom dengan lara pelog.

Setelah kedua mempelai memahami dan menyanggupi untuk melaksanakan nasihat sang ayah tanpa syarat, lantas Bagaspati meresmikan pernikahan putri tercintanya melalui upacara singkat yang hanya disaksikan oleh para cantrik Argabelah. Selesai peresmian, Bagaspati menyuruh Pujawati tidur kembali. Pujawati pun bergegas ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Bagaspati percaya bahwa Pujawati anak yang patuh kepada ayahnya.

Setelah Pujawati pulas tidur dan para cantrik kembali ke asramanya, Bagaspati melanjutkan percakapannya dengan Narasoma. Kali ini sangat serius. Intinya adalah mewariskan seluruh kesaktiannya termasuk ajian Candabirawa kepada sang menantu nan congkak. Narasoma pun menerima warisan itu dengan gembira. Seusai prosesi pewarisan, Bagaspati berkata: “Heh Narasoma yang congkak… kuwariskan seluruh kekuatanku kepadamu dengan ikatan sumpahmu akan mencintai dan melindungi anakku dengan nyawamu seumur hidupmu. Jika kelak engkau berkhianat, maka engkau akan menerima kutukanku hancur lebur dengan kenistaan tanpa hargadiri”. Selesai berucap, Bagaspati lantas menghembuskan napas yang terakhir kalinya. Narasoma pun segera memusnahkan jenazahnya dengan membakarnya.

Pagi-pagi Dewi Pujawati bangun tidur lantas mencari sang ayah sambil membawakan minuman hangat seperti yang biasa dilakukannya sehari-hari. Namun kali ini sang ayah tidak tampak di ruangan semedi seperti biasanya. Pujawati lantas menanyakannya kepada Narasoma. Narasoma menjawab: “Isteriku sayang… kamu tidak perlu menanyakan ayahmu lagi. Mari ikut bersamaku pulang ke negeriku Mandaraka (Madras)”. Pujawati berdalih: “Iya kangmas, tapi aku harus ketemu dengan ayah dulu, setidaknya untuk berpamitan”. Narasoma pun mengingatkan: “Sayangku, bukankah ayahmu semalam telah menasihatimu untuk mematuhiku?”. Sambil meneteskan airmata Pujawati berkata: “Iya kakangmas, kalau begitu aku hanya menurut apa maumu”. Pujawati pun lantas diboyong Narasoma ke Mandaraka tanpa sepengetahuan para cantrik.

Meskipun congkak, Narasoma adalah manusia, dimana pada kondisi tertentu rasa kemanusiaannya juga muncul. Hatinya menangis hancur lebur demi melihat Pujawati yang tampak tersipu-sipu menutupi kesedihan yang sangat mendalam. Namun kecongkakannya berusaha menutupinya dengan bercanda dan melawak meskipun wagu dan ganjen. Sesampainya di Mandaraka, Narasoma dinobatkan menjadi raja oleh ayahnya yang sudah renta dengan jejuluk Prabu Salyapati (baca: Salyopati). Dewi Pujawati juga dinobatkan menjadi permaesuri dan untuk mengenang kesetiaannya yang tanpa syarat, Narasoma memberinya alias Dewi Setyawati (baca: Dewi Setyowati).

Dengan tambahan warisan kesaktian Bagaspati, tentu Prabu Salyapati (Narasoma) merupakan raja yang digjaya tak terkalahkan. Namun dosa tetaplah dosa. Meskipun berusaha menepati sumpahnya untuk setia seumur hidup kepada Pujwati, namun tetap saja harus menanggung kekecewaan. Kesaktian Salyapati tidak ada artinya ketika berhadapan dengan raja Hastinapura Prabu Pandu Dewayana (baca: Pandu Dewoyono), sehingga terpaksa harus menyerahkan Dewi Madrim, adik kesayangannya, sebagai putri boyongan. Kekecewaan kedua muncul dengan kematian Madrim dalam patibrata (upacara membakar diri) sebagai ujud kesetiaan kepada suaminya ketika Prabu Pandu meninggal. Kekecewaan ketiga adalah lahirnya putra bungsu Borisrawa (baca: Borisrowo) yang berujud raksasa seperti kakeknya (Bagaspati). Kekecewaan terakhir adalah dalam perang Bharatayudha, dimana dia harus mati di tangan Yudhistira (baca: Yudhistiro) anak sulung Prabu Pandu. Kekecewaan terakhir ini sekaligus merupakan kutukan karena dia membohongi isterinya tidak jadi ikut perang, tetapi ternyata berangkat juga setelah Pujawati tidur. Di peperangan Salyapati tewas dengan dada pecah terkena tombak Yudhistira.

Topik-topik terkait pewayangan

  1. Ajaran KeTuhanan dalam Lakon BIMA SUCI
  2. Wayang tidak Sepenuhnya Teladan
  3. Rupa Mencerminkan Watak
  4. Pemerintah Kera untuk Negeri Kere
  5. Yudhistira bukan Pemimpin Baik
  6. Raja Gemar Mengeluh, Raja Demen Curhat

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
1Comment
  • ANTON HARI
    Posted at 07:08h, 24 December Reply

    Rasulullah bersabda: “Bukan termasuk dari kami orang yang tidak menyayangi yang kecil dan menghormati yang besar.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash)

Post A Reply to ANTON HARI Cancel Reply