Awan Cumulonimbus Hadir di Jagat IT

17 Jan 2013 Awan Cumulonimbus Hadir di Jagat IT

Bicara soal jagat IT hari ini, sepertinya yang pertama kebayang adalah ruang komputer yang dipenuhi dengan aset IT yang mencakup infrastruktur, platform, software sistem dan kontens termasuk di dalamnya software aplikasi dan data. Pihak pengguna mengakses dari kantor dan bahkan sebagian orang bisa melihat fisik benda yang diaksesnya. Networknya intranet atau bahkan koneksi khusus seperti SNA atau bahkan BSC. Sedangkan pihak luar (jika ada) mungkin memiliki akses melalui internet.

IT model seperti ini sering kita jumpai di perkantoran, misalnya di bank, asuransi, instansi pemerintah, perindustrian dll. Kita tidak nyadar bahwa sejak memasuki abad milenium ini banyak perusahaan atau organisasi yang sepertinya memiliki IT tetapi jika kita kunjung kesana, kita tidak jumpai satu server pun. Ternyata disana tidak ada ruang komputer. Yang ada workstation, desktop, laptop dan piranti sejenis yang bertengger di setiap meja kerja karyawan. Dimana mereka menaruh servernya? Di awan?

Benar! Di awan. Karena kalo kita lihat diagramnya, semua akses baik internal maupun external, semua menuju ke gambar awan, seperti pada gambar di sebelah ini. Orang-orang di kantor atau di organisasi tersebut tidak ada yang peduli dimana server mereka, seperti apa rupanya dan siapa yang menjaganya. Yang penting semua server jalan dan berproduksi secara normal. Infrastruktur dan bahkan sejumlah software tertentu seperti OS dan pendukung sistem lainnya sama sekali bukan aset mereka. Namun mereka mendapat layanan IT seperti halnya organisasi lain yang memiliki aset IT di kantornya. Yang mereka lakukan hanyalah membayar layanan IT Inilah yang lantas dikenal sebagai komputasi awan atau cloud computing.

Cloud computing adalah model layanan komputasi dimana pengguna atau nasabah tidak perlu memiliki seluruh aset IT. Sebagian aset disediakan penyelenggara layanan (provider), mulai dari yang paling bawah (komputer, piranti komunikasi dll) hingga lapisan tertentu. Ada yang sebatas infrastruktur (infrastructure as a service atau IaaS) seperti komputer, network dll. Di luar itu adalah aset nasabah yang mencakup OS, software pendukung dan aplikasi dan kontens. Ada yang sebatas platform (PaaS) yang mencakup IaaS plus OS dan software pendukung sistem, seperti server, DB engine, sekuriti dll untuk mewujudkan platform siap pakai. Nasabah cukup menyediakan software aplikasi dan kontens saja. Ada pula yang tuntas hingga software (SaaS), dimana nasabah tidak perlu memiliki aset IT apapun selain kontensnya. Sepertinya tinggal pakai.

Provider kadang juga masih dipecah lagi sesuai kemampuan dan strategi masing-masing pengusahanya. Ada yang di mata nasabah tampaknya menyediakan layanan SaaS, ternyata PaaS-nya ditanggung oleh pihak lain. Dia hanya menyediakan software aplikasi. Pihak penyedia PaaS juga boleh saja merupakan persekutuan dari beberapa penyedia bahan dasar. Ada yang hanya menyediakan network saja (NaaS). Ada pula yang hanya menyediakan back-end server saja (BaaS), database saja (DBaaS) dsb. Di sisi IT banyak peran ganda, menjadi penyedia bagi nasabah sekaligus menjadi nasabah bagi penyedia lain, sehingga membentuk semacam awan yang tidak transparan bagi nasabah yang berada di mata rantai terakhir, yaitu pengguna sistem informasinya.

Ketidaktransparanan disini tidak berkonotasi negatif, karena sebenarnya nature dari bisnis IT memang demikian sejak awal. Dari dulu IT selalu digotong oleh banyak vendor. Bedanya, jaman dulu pengguna IT membangun sendiri sistem IT-nya dari nol, sehingga harus memikirkan sedetil-detilnya hingga onderdil terkecil. Vendor datang menawarkan produk, bukan solusi. Efisiensi dan efektivitas sistem yang dibangun mutlak menceminkan kecerdasan sang pengguna.

Evolusi menuju cloud computing

Namanya juga nasabah adalah raja, bodoh pun nggak mau rugi, apalagi yang pinter. Vendor yang bisanya hanya datang membawa barang dagangan kurang diperhatikan. Yang diharapkan, selain barang juga ikut menyumbang saran bagaimana membangun sistem sesuai dengan kebutuhan. Vendor yang umumnya lebih menguasai teknologi, tidak hanya siap dengan sumbang saran saja. Barang dagangannya pun banyak yang dikemas ulang menjadi rangkaian solusi, meskipun masih bersifat solusi parsial. Misalnya paket office system, di dalamnya sudah mencakup text editor, word processor, spreadsheets, email client, penyunting slide, penyunting gambar atau foto, sarana publisher untuk berbagai jenis publikasi termasuk web dll, bahkan jga disediakan database engine sederhana sekeder untuk menyusun database sistem perkantoran.

Contoh lain misalnya, kemasan communication server sudah mencakup semua network platform (SNA, APPN dan TCP/IP) serta dilengkapi dengan berbagai utiliti seperti APPC, BDT, FTP, SNMP dan sejumlah server agar menjadi siap pakai. Produk-produk layanan interaktif yang semula memiliki sekuriti sendiri juga diakurkan dengan sekuriti milik OS seperti RACF, ACF2, TopSecret maupun Firewall.

Bahkan dalam mengemas paket solusi kadang ada yang melibatkan produk dari vendor lain demi mewujudkan efektivitas solusinya. Misalnya, kemasan produk software aplikasi core banking system (CBS) yang awalnya individualis, dilengkapi dengan aplikasi web yang flexible untuk berbagai server, baik yang komersil dan vendor tertentu maupun public domain. Penyedia layanan telekomunikasi juga menyediakan layanan hosting.

Vendor-vendor software dan hardware komputer berskala besar sekelas midrange hingga mainframe juga mulai merubah metoda pemasarannya. Terutama mainframe, yang dijual bukan lagi hardware per box maupun software per paket, tetapi besarnya layanan yang dimanfaatkan oleh pengguna. Setiap produk dipasang “argo” dan pengguna membayar sesuai “argo”. Meteran yang digunakan adalah million instruction per second (MIPS) yang dikonsumsi. Kebijakan ini terbukti mendapat sambutan hangat dari masyarakat pengguna. Demi skalabilitas, pengguna berani memulai dengan midrange atau bahkan mainframe, toh biayanya akan disesuaikan dengan MIPS yang dikonsumsi.

Langkah-langkah seperti inilah yang membidani hadirya gagasan cloud computing. Orang-orang yang punya modal berani nekat menyelenggarakan usaha layanan komputasi untuk sistem informasi berskala menengah ke atas. Meskipun harus menggunakan infrastruktur berskala besar dan ada masa tunggu sebelum mendapat nasabah, toh ada faktor biaya yang berbanding lurus dengan konsumsi. Tentu tidak akan seberat hal yang sama jika dilakukan sebelum ada kebijakan “bayar sesuai argo”.

Perkembangan cloud

Cloud computing akhirnya menjadi metoda bisnis bagi para penyedia layanan komputasi yang menarik. Dalam mencari nasabah, jauh lebih mudah ketimbang model konvensional. Setidaknya, calon pengguna yang buta IT pun bisa diberi pemahaman yang akhirnya tertarik menjadi nasabah. Lihat saja sekarang, perorangan, bisnis kelas gurem maupun organisasi kelas bawah, banyak yang sudah memiliki website, baik sekedar untuk presentasi, maupun untuk forum diskusi, bahkan untuk melakukan transaksi jual-beli. Bayangkan, hal serupa tidak mungkin terjadi jika setiap pengguna harus menyiapkan sistemnya sendiri. Boro-boro ada niat, kepikir saja enggak 🙂

Saking menariknya metoda cloud, pemainnya pun makin banyak. Namun, apapun bisnis sangat tergantung bidang ketrampilan dari pakarnya. Demikian pula IT, dari luar tampak hanya satu entitas. Tetapi di dalamnya sangat banyak pembidangan, baik dari sisi aplikasi maupun platform. Akhirnya cloud pun berkembang dengan bidang yang berbeda-beda mulai dari komputasi yang paling umum seperti website, email, e-commerce dll hingga komputasi yang paling khusus seperti banking, ATM dll.

Konsekuensinya, jangkauan luasnya pasar pun beragam pula. Bidang yang paling umum tentu pasarnya adalah publik yang luas. Makin spesifik bidangnya, tentu makin sempit pasarnya. Berdasarkan ini lantas cloud secara umum dibedakan dalam beberapa kategori, antara lain public cloud, community cloud dan hybrid cloud sbb:

  1. Public cloud
    adalah cloud yang paling umum, ditawarkan kepada siapa saja, baik perorangan maupun organisasi. Umumnya habitatnya di internet dan fungsinya komputasi ringan seputar presentasi, forum diskusi, perkantoran maya (e-office atau cyberoffice) hingga jual-beli (e-commerce). Tingkat layanannya umumnya SaaS dimana nasabah tidak perlu urun aset apapun. Biayanya sangat murah, berbasis “argo” atau bahkan gratis. Pihak penyedia mencanangkan pendapatannya secara tidak langsung dari iklan atau sponsor.
  2. Community cloud
    adalah cloud spesifik yang dibangun untuk kelompok pengguna tertentu yang memiliki kesamaan kepentingan atau kemiripan bisnis. “ATM bersama” merupakan merupakan contoh kategori ini, meskipun kehadirannya sebelum istilah cloud merakyat. Paket aplikasi CBS dan kartu kredit (KK) juga sejak lama dipersiapkan untuk layanan kategori ini. Bahkan ada kode bank, sehingga satu server bisa untuk beberapa bank. Dengan perencanaan dan perancangan yang cerdas, cloud kelompok ini tentu lebih efisien ketimbang model konvensional IT per individu. Setidaknya cloud bisa mereduksi redundancy dan mengoptimasi utilsasi tiap komponen sistem. Misalnya bank-bank kecil mungkin merasa tidak layak menggunakan mainframe, baik dari sisi investasi maupun skala. Tetapi mereka sadar bahwa IT perbankan sangat membutuhkan esensialitas mainframe karena aplikasinya bersifat “mission-critical“. Jika beberapa bank kecil tersebut secara bersama-sama gotongan menggunakan mainframe, tentu total skalanya menjadi layak tanpa merubah nilai investasi, bahkan bisa jadi lebih murah, namun bisa menikmati esensialitas mainframe.
  3. Hybrid cloud
    adalah kombinasi antara cloud publik dan komunitas atau kelompok. Situasi ini sangat alami. Katakanlah ada cloud komunitas bank-bank kecil. Mainframe-nya merupakan aset utama cloud yang digotong bersama. Namun untuk internet-banking-nya, masing-masing bisa memilih. Ada yang memilih server-nya ditanam di mainframe untuk menjamin update-nya realtime. Ada pula yang memilih layanan publik karena alasan tertentu.

Mainframe menjadi Cumulonimbus

Bagaimana kiat mainframe (MF) dalam menyikapi dunia cloud? Tentu bagaikan ketiban duren. MF yang dimaksudkan disini adala IBM zSeries dan kompatibelnya (jika ada). Bagaimana tidak? Kemampuannya melakukan virtualisasi sejak generasi S/370 dekade 1970an untuk sistem produksi yang notabene sangat kritis.

Hari ini virtualisasi MF semakin dahsyat. Dengan z/VM, komputer dari platform apa saja dapat divirtualkan dalam MF. Demikian pula interkoneksinya. Koneksi channel-to-channel (CTC), baik FICON, ESCON maupun konvensional sejak generasi VM/390 sudah menjadi obyek virtualisasi. Kini kehebatan hypervisor z/VM menyediakan sarana hypersocket untuk membikin virtual LAN. Dengan demikian peternakan server berikut infrastruktur jaringannya bisa divirtualkan dalam MF seperti yang saya tulis di posting ini. Dengan kencanggihan teknologinya tersebut, MF zEnterprise dan zBX yang beroperasi dengan z/VM bak dinosaur raksasa mampu menelan puluhan hingga ribuan cloud menjadi awan comulonimbus.

Dino-comulonimbus diharapkan menjadi primadona IBM dalam bisnis berbasis cloud. Baik public-cloud maupun community-cloud tidak ada masalah, sama sedapnya menjadi makanan sang dino. Keunggulan yang paling nyata adalah kesederhanaan infrastruktur fisik. Tidak ada lagi untaian kabel listrik maupun kabel data yang seperti bakmie yang sering kita saksikan di ruang server konvesional. Tidak ada lagi rak besar kadang server yang memenuhi ruangan. Untuk konfigurasi minimal, cukup satu sepasang box MF zEnterprise dan zBX serta satu box harddisk atau DASD yang bisa ditempatkan di gedung lain atau di kota atau provinisi lain melalui koneksi FICON. Sehingga manajemen pengelolaannya jauh lebih sederhana dan murah dibandingkan konfigurasi fisik maupun virtual tanggung pada kelas midrange dan PC.

Untuk konfigurasi optimal, bisa disusun lebih dari satu host MF yang juga ditempatkan antar kota antar provinisi membentuk konfigurasi IT paling aman. Keamanan ini akan dinikmati oleh seluruh cloud yang ada di perut dino, dan merupakan esensialitas MF yang hingga saat ini belum tertadingi. Diagram sebelah kanan menggambarkan konfigurasi cumulonimbus-cloud berbasis MF yang mencakup gabungan sejumlah public-cloud dan community-cloud dalam satu sistem. Konfigurasi, infrastruktur dan manajemen jauh lebih sederhana dengan kelebihan jaminan keamanan.

Salah kaprah?

Cloud computing yang sebenarnya model bisnisnya para penyedia layanan IT, kini menjadi heboh juga di kalangan pengguna. Mungkin “cloud” dianggap istilah keren dan menarik perhatian. Sehingga banyak salah kaprah, pengguna IT tertarik menyelenggarakan cloud sendiri, dan… muncullah model baru yang disebut “private-cloud” atau cloud pribadi, dimana penyedia dan nasabah adalah organisasi yang sama, yaitu organisasi pengguna. Jadi… pengguna harus berinvestasi menyeluruh mirip model konvensional. Satu esensi cloud yang paling utama terabaikan.

Logisnya, dalam organisasi pengguna private-cloud ada yang berperan sebagai penyedia cloud dan pemakai cloud. Konsekuensinya, kelompok pemakai cloud berhak berinisiatif memesan layanan cloud sebagaimana mereka berhadapan dengan penyedia cloud di luar organisasi. Manakala mereka perlu aplikasi tertentu, tentu mereka berharap bisa memilih dari layanan SaaS yang ada. Namun jika mereka merasa perlu membuat aplikasi tertentu yang akan mereka bangun sendiri, maka layanan yang diharapkan adalah PaaS sesuai dengan platform pilihannya.

Apakah benar ada organisasi yang seperti itu? Mohon maaf, saya bukan pakar manajemen, sehingga mohon dimaklum tidak bisa menjawab. Namun berdasarkan pengalaman, memang ada organisasi yang beberapa kelompok anggotanya boleh menyelenggarakan IT sendiri-sendiri. Di dunia perbankan umumnya selalu ada divisi IT. Namun di beberapa bank lokal di negeri kita, sejumlah divisi atau bagian atau unit kerja, seperti Divisi Audit, Divisi Personalia, Divisi Umum dll boleh menyelenggarakan IT sendiri-sendiri untuk keperluan kerja mereka sendiri di luar otoritas Divisi IT. Mereka mengundang vendor dan bikin lelang pengadaan tanpa sepengetahuan Divisi IT. IS nya pun mereka bangun sendiri (dengan vendor) tanpa Divisi IT ikut cawe-cawe.

Nah… untuk organisasi yang seperti itulah private-cloud sangat bermanfaat. Kenapa? Tentu saja! Setidaknya kelompok-kelompok yang ingin menyelenggarakan IS sendiri tidak perlu pusing mikirin pengadaan infrastruktur sendiri, dengan asumsi Divisi IT telah membangun private-cloud dengan layanan minimal IaaS. Syukur-syukur layanannya hingga SaaS, sehingga setiap kelompok pemakai bisa langsung memilih aplikasinya.

Yang bertentangan dengan konsep cloud adalah sisi investasi. Cloud menggariahkan pengguna karena tidak harus menanggung total investasi IT, baik dari sisi hardware, software maupun SDM. Namun dengan private-cloud, tentu investasi tidak ada bedanya dengan model konvensional. Bahkan bisa melebihi jika skala kapasitas cloud terlalu berlebihan demi flexibilitas. Oleh karena itu harus dilakukan capacity planning yang sangat jitu untuk menyusun private-cloud yang optimum.

Ada pihak-pihak yang berpendapat private-cloud sebaiknya di-outsource-kan agar tidak usah memikirkan investasi total seperti itu. Namun saya yakin tidak efektif jika pihak outsourcer hanya menangani private-cloud tersebut. Sebaliknya, jika pihak outsourcer menangani lebih dri satu private-cloud dari sejumlah nasabah, tentu teknis penyelenggaraannya bukan lagi private-cloud, melainkan community-cloud. Sehingga private-cloud menjadi sekedar istilah atau asumsi dari penggunanya saja.

Cumulonimbus-cloud untuk e-Gov

Secara teknis, private-cloud juga sangat bermanfaat untuk menyederhanakan IT yang berkonfigurasi tersebar (distributd system) maupun terpecah/terbagi (decentralized system). Terlebih cumulonimbus-cloud berbasis mainframe (MF) yang fisiknya menjadi satu host. Jadi ingat dengan e-Gov di negeri ini yang berpulau-pulau di tingkat pemerintah pusat dan decentralized di tingkat pemkab/pemkot. Upaya mengintegrasikan sistem yang sudah salah arah dan salah konsep seperti itu bukan pekerjaan mudah. Selain sulit, juga sangat mahal dan makan waktu.

Namun hadirnya cumulonimbus-cloud berbasis MF setidaknya memberikan harapan. Istilah cloud disini ikutan salah kaprah. Intinya adalah mewujudkan sebuah hosting center berbasis MF, sehingga konfigurasinya mirip campuran community-cloud dan public-cloud seperti pada gambar di atas. Seluruh e-Pemkot, e-Pemkab, e-Pemda dan e-Pempus di-hosting dalam satu box di cumulonimbus-cloud ini. Bukan berarti otomatis mereka akan integral. Namun setidaknya mengkoneksi satu server dengan yang lainnya bukan lagi masalah fisik, karena cukup dilakukan dengan command “define vlan” di z/VM console. Tidak harus menyiakan infrastruktur fisik yang konyol seperti benang ruwet. Sharing akses antar server terhadap data dan database juga tidak melibatkan sarana fisik apapun di luar box MF. Cukup dengan command “link rw” atau “link rr” ke disk volume dimana data dan database yang akan di-shared berada. Tahapan selanjutnya adalah sama saja, harus mencermati setiap logik aplikasinya dan melakukan perubahan di tingkat programming.

Akan lebih bagus lagi jika model decentralized system yang tidak seragam antar pemkab/pemkot, juga antar pemprov, diseragamkan terlebih dulu. Karena pada dasarnya sistem pemerintahan negara kesatuan tentu berformat tunggal. Sedangkan negara serikat saja berupaya menyeragamkan format pemerintahannya, setidaknya di tingkat e-Gov, demi kesederhanaan pengelolaan dan pengembangan IT mereka. Setelah keseragaman tercapai, maka model konfigurasi sistemnya otomatis bukan lagi decentralized, melainkan berubah menjadi distributed system. Artinya, antara e-Pemprov satu dengan lainnya sama persis sistemnya. Yang berbeda hanya datanya. Demikian pula e-Pemkab atau e-Pemkot, satu sama lain sama persis.

Setelah menjadi distributed system, manakala ada pemekaran daerah, maka dengan mudah daerah yang baru disiapkan e-Gov nya. Cukup dengan membangkitkan virtual machine untuk server-server terait dan clone semua aplikasinya. Datanya saja yang kosong. Awalnya mungkin mengambil data yang sudah ada dan memang harus dibagi, seperti data SDA, penduduk dll. Data lain akan diisikan sambil jalan berdasarkan mekanisme transaksi normal. Hal ini sama seperti ketika dibuka pasar swalayan baru, sistemnya langsung komplit. Data daftar barang mungkin bisa langsung diisikan sesuai dengan isi gudang perdana.

Bukan berarti e-Gov model decentralized system seperti yang kita punya itu benar. Sebagai tahapan awal pun sudah salah. Namun tidak bisa kita pungkiri, itulah yang ada sekarang. Itu semua akibat interpretasi otonomi kita berlebihan, jika tidak mau dibilang sebuah kebodohan. Dan memang bukan kebodohan, karena di balik semua ini tentu ada pihak yang sangat bahagia. Karena jika dari awal sudah distributed, tentu proyeknya pengembangan dan perawatannya hanya sekali saja. Lantas didistribusikan ke seluruh target. Tentu tidak sebahagia jika setiap target bikin proyek sendiri-sendiri.

Kebodohannya baru tampak setelah integrasi diperlukan. Pilihannya hanya satu di antara dua, yaitu diperbaiki atau dibuang dan bikin yang baru dengan tahapan yang benar. Namun jika yang dipilih memperbaiki boleh jadi akan makan waktu lebih lama dan biaya lebih mahal ketimbang bikin baru sama sekali. Nantinya jika hadir auditor utusan Ratu Adil mempertanyakan biaya yang sudah keluar selama ini kemana saja, tentu menjadi soal yang lebih sulit ketimbang kalkulus tingkat tinggi. Nah … hadirnya cumulonimbus-cloud merupakan kesempatan terbaik sebelum utusan Sang Ratu Adil “ngejawantah”, apapun pilihan kita.

Tertarik bisnis Cumulonimbus Cloud?

Saya tertarik!!! Bagaimana anda? Cloud yang lain kemampuannya paling hanya sebatas platform populer, seperti Linux, Windows dan Mac. Memang ada yang lebih dari itu. Tapi tidak mungkin mencakup MF. Artinya, manakala ada konsumen yang perlu layanan MF, penyedia lapak tidak akan sanggup melayaninya. Paling-paling melacurkan profesionalismenya untuk membelokkan konsumen ke layanan yang tersedia demi bisnisnya.

Jika lapak kita MF, selain kita mampu memberikan layanan-layanan yang umum seperti lapak cloud yang lain, kita juga mampu memberikan layanan khusus MF, baik mentahnya LPAR System z di tingkat IaaS, maupun platform z/OS, z/TPF, z/VM atau z/VSE di tingkat PaaS, hingga software dan aplikasinya seperti core banking system, kartu kredit dan sebagainya di tingkat SaaS. Kita juga bisa memberikan solusi kepada konsumen yang seharusnya sudah memerlukan MF tetapi belum ke MF karena kurangnya dan subyektivitas informasi. Selain itu, terlepas apapun kontens dan aplikasi konsumen, yang paling penting lapak kita adalah lapak yang paling aman dengan skalabilitas paling tinggi, sehingga memudahkan kita mengelolanya. Konsumen boleh saja memilih platform populer seperti Linux, Windows atau Mac OS. Tetapi kinerja dan keamanannya akan mengikuti batas z/VM. Konsumen senang karena sistemnya aman. Kita penyedia lapak juga senang karena pengelolaannya sederhana dan murah.

Menarik kan? Sayangnya modal saya hanya technical skill dan knowledge saja. Penggelaran lapak awan, tentu memerlukan dukungan finansial yang serius. Terlebih karena berbasis MF, meski sejumlah pengkajian mengatakan TOC dan ROI MF lebih baik secara keseluruhan, namun untuk cloud, modal awalnya tetap lebih tinggi dibanding non-MF. Karena lapak cloud yang sebenarnya bisa dimulai dari skala Intel Xeon, dengan MF terpaksa harus mengikuti skala entry-level MF yang puluhan bahkan ratusan kali skala Xeon. Tentu diperlukan dana puluhan kali Xeon pula, meskipun konsumennya masih sepi. Kemenangannya kelak setelah konsumennya membludak sehingga skalanya harus didongkrak menjadi ratusan kali Xeon. Yang jelas mengoperasikan dan merawat satu MF jauh lebih sederhana ketimbang 50 unit server kecil.

Saya yakin cloud berbasis MF ini sangat menarik. Sayangnya dukungan finansialnya tidak cukup. Nah… barangkali ada pemain kelas kakap yang tertarik untuk menggelar lapak cloud berbasis MF, sila baca penawaran saya disini.

Topik-topik terkait

  1. Menyimak e-KTP
  2. e-Gov untuk Mencegah Kejahatan
  3. Mainframe – Solusi Paling Jitu untuk e-Gov
  4. Agromatika – Jembatan ke Nusantara Hari Esok
  5. Agromatika – Konten Utama e-Gov Nusantara
  6. Merenungi e-Global
  7. Misteri Seputar IT
  8. Menyimak e-Gov jiran
  9. Memilih Konfigurasi IT
  10. Mengenal Seputar SDM IT
  11. e-Gov Menjadikan Pemerintah Swalayan Tuntas

mm
Deru Sudibyo
deru.sudibyo@gmail.com
No Comments

Post A Comment